Senin, 10 Desember 2007

Cinta Erich Fromm Kepada Rabiah al-Adawiyah

( Pendekatan Psikologi Sastra)*
Oleh: Muhammad Walidin, M. Hum.


A. Pendahuluan
Cinta sudah berumur ribuan tahun setua umur manusia itu sendiri. Manusia mencari cinta karena ia merasa terpisah dalam kesendiriannya dan berhasrat ingin mencapai kebersatuan dengan yang lainnya. Maka, Kisah-kisah cinta anak manusia, hingga kini terpahat pada dinding dinding legenda sejarah manusia; Romeo dan Juliet di Barat, Qais dan Laila di Timur, Galuh dan Ratna di Indonesia, bahkan Roro Mendut dan Pronocitro di pulau Jawa, mencerminkan bahwa cinta bukanlah perkara parsial seorang anggota bangsa, tetapi perkara universal yang selalu dirasa oleh individu setiap benua.
Sejalan dengan perasaan cinta yang menggelora, ada pula anak manusia yang mengabadikan cintanya khusus untuk sang Khaliq. Orang-orang seperti ini dalam Islam dikenal dengan nama sufi, dalam agama Hindu konsep ini ditemukan pada ajaran Vedanta, pada komunitas Kristen dikenal dengan nama asketisme Kristen. Mereka yang terlibat dalam masalah ini, secara total hanya mencintai sang Khaliqnya saja tanpa menyisakan sedikitpun ruang untuk mencintai hal lainnya.
Apakah ada hubungan percintaan antara Rabi’ah al-Adawiyah dan Erich Fromm seperti tertera pada judul di atas? Tentu saja tidak, Rabi’ah al-Adawiyah merupakan mistika wanita sufi produk mistisme dunia Timur. Ia sufi pertama yang memperkenalkan dan mempraktekkan konsep cinta (mahabbah) hanya kepada satu sang Kekasihnya. Ia dilahirkan di pusat kebudayaan Islam, kota Basrah pada tahun 713 Masehi. Sementara itu, Erich Fromm adalah produk rasionalisme dunia Barat, yang dilahirkan tahun 1800 di Frankfurt Jerman. Ia adalah psikolog yang bekerja berlandaskan sintesa teori Freud dan Marx.[1] Bentangan lokus dan tempus yang begitu jauh membuat kedua insan ini tidak mungkin bertemu. Tapi mereka dipertemukan dalam satu hal; yaitu kesinambungan masalah cinta walau dalam dua lapangan yang berbeda. Yang satu aplikan cinta, sementara yang lain teoritikus cinta.
Berangkat dari asumsi bahwa pecinta, baik itu kepada sesama manusia atau kepada Tuhan, memiliki unsur psikologi manusiawi yang sama, maka tulisan ini bertendensi untuk meyelidiki perasaan cinta Rabi’ah al-Adawiyah kepada Tuhannya dengan meminjam teori psikologi Erich Fromm.

B. Di balik Seni Mencintai Erich Fromm
Membaca buku The Art of Loving[2] karya psikolog bermazhab Frankfurt Erich Fromm, menambah keyakinan kita bahwa cinta adalah unsur inherensial dari mahluk yang bernama manusia. Artinya, secara dini manusia dalam kehidupannya sudah dibekali dengan sebongkah embrio cinta yang ia rasakan semenjak ia lahir hingga ia tumbuh dewasa.
Cinta pertama yang diperoleh oleh manusia adalah cinta alturistik sesorang ibu. Si ibu memberikan cintanya kepada anak karena ia adalah anaknya tanpa membutuhkan penilaian lebih lanjut apakah sang anak patut dicintai atau tidak. Setiap anak akan mendapatkan cinta ibu karena baginya anak adalah hal yang terpenting. Sikap alturistik (memandang bahwa orang lain lebih penting dari dirinya sendiri) didapatkan manusia dari ibu dengan sangat mudah bahkan tanpa syarat.
Segera setelah lepas dari masa bayi, manusia akan berkenalan dengan cinta ayah yang tidak lagi bersifat alturistik tapi lebih pada rasa simbiotik. Sang ayah akan memberikan cintanya karena ada hal-hal lain yang harus dicintai. Bila sang anak berhasil memenuhi harapan ayahnya (seperti prestasi dll), maka sang ayah akan memberikan cintanya. Dengan demikian cinta ayah didapat dengan diperjuangkan dan diusahakan. Hal itu berarti cinta ayah adalah cinta bersyarat yang harus dipenuhi syarat-syaratnya bila ingin meraihnya.
Bertolak dari pengalaman manusia berjuang untuk memperoleh cinta ayah yang bersyarat, maka pada fase selanjutnya manusia harus selalu bersinggungan dengan syarat-syarat untuk mendapatkan cinta dari sesuatu/seseorang yang dicintainya, baik itu cinta orang tua dan anak, cinta persaudaraan, cinta erotik, dan cinta Tuhan.
Untuk memenuhi syarat-syarat mendapatkan cinta tersebut, Fromm-dengan kacamata psikologinya-mengajak kita untuk mengatahui cinta ditinjau dari aspek ontologisnya. Erich Fromm mendefiniskan cinta sebagai kekuatan aktif yang bersemayam dalam diri manusia; kekuatan yang mampu meleburkan tembok yang memisahkan manusia dengan sesamanya. Cinta mampu mengatasi problem keterpisahan dan isolasi manusia tanpa mengorbankan integritas serta keunikan diri masing-masing (nilai paradoksal cinta: become one yet remain two). Dari kata-kata; kekuatan aktif, mampu melebur, mampu mengatasi, dapat diketahui bahwa cinta adalah sesuatu aktivitas aktif dan bukan sesuatu yang pasif, maka dikatakan mencintai bila seseorang melakukan elemen-elemen cinta;
1. Cinta adalah memberi bukan menerima.
Perlu sedikit dibedakan beberapa arti memberi memberi, pertama, memberi sebagai tindakan eksploitatif dengan mengorbankan segala sesuatu untuk beberapa target. Kedua, memberi sebagai tindakan non-produktif yang dianggap sebagai tindak pemiskinan, dan ketiga, memberi sebagai tindakan produktif yang menimbulkan rasa bahagia luar biasa antara keduanya.
Berkaitan dengan sesuatu yang diberikan bahwa memberi bukan hanya bersifat material belaka, tetapi juga kenyataan diri manusia itu sendiri, seperti kegembiraan, kesedihan, pemahaman, dan kejenakaan. Pemberian semacam ini mempu memperkaya orang lain lewat pengingkatan perasaan hidup.
Memberi ibarat meniupkan secercah kehidupan kepada orang lain yang memancar kembali padanya. Memberi sejati akan menghasilkan yang diberi berlaku sebagi pemberi pula, artinya memberi bukan transaksi antara subjek dengan objek, tetapi antara subjek dengan subjek. Demikian pula dengan cinta, ketika cinta diberikan kepada orang lain, maka ia menghasilkan cinta serupa yang membuat anda dicintai pula. Bila hal itu tidak terjadi, maka perlu ditanyakan mungkin cinta itu impoten.

2. Cinta adalah perhatian dan tanggung jawab
Seorang ibu mencintai anak dengan perhatiannya yang tak pernah putus selama 24 jam. Seorang Gardener memiliki perhatian yang besar pada bunga yang ditanamnya. Ia sanggup menunggu bunga yang mekar pada jam 12 malam karena bunga itu hanya mekar setahun sekali pada jam 12 malam. Seorang peternak juga memperhatikan binatang ternaknya, karena mereka mencintai. Dengan demikian, mencintai seseorang adalah memberikan perhatian dan bukan menuntut perhatian. Clara Ortega (lahir 1955) menulis surat pada kekasihnya “Semua yang kusukai, setengah kenikmatannya akan hilang apabila engkau tidak ada di sana untuk menikmatinya bersamaku”. [3]

3. Cinta adalah penghargaan
Tanpa rasa menghargai, cinta akan berubah menjadi dominasi. Menghargai seseorang berarti tidak memaksakan agar ia menjadi anda, biarkan ia tumbuh apa adanya dengan mempelihatkan cara-cara tumbuh yang benar.
4. Cinta adalah pemahaman
Banyak orang yang karena keegoisannya ingin agar orang lain memahami dirinya. Kalau itu yang terjadi, maka ada beberapa cara agar orang lain itu mau memahami dirinya. Pertama; memaksa agar orang lain mengenal kita, merasakan yang kita rasa, berfikir dengan pola fikir. Dalam bahasa Freud, hal seperti ini disebut narsisme dimana terjadi pengalihan libido pada diri sendiri. Orientasi narsistik merupakan orientasi di mana seseorang hanya menganggap riil, benar dan nyata apa yang ada dalam dirinya sendiri, sementara fenomena-fenomena yang ada di luar dirinya dianggap tidak mempunyai realitas, melainkan dialami hanya sejauh berguna atau berbahaya buatnya.
Akan tetapi, cara seperti ini masih cukup halus dari pada cara kedua, Sadisme; yang dengan paksa agar orang memberi tahu apa yang kita inginkan. Hal ini terjadi dalam dunia intelejen dan ilmu pengetahuan. Tetapi ada cara yang lebih elegan, yakni dengan cara ketiga, cinta; sebuah penetrasi aktif ke dalam diri orang lain, dimana keinginan kita untuk mengetahui diserap oleh kebersatuan. Untuk mengetahui Tuhan, orang Barat selalu bertanya tentang keberadaan Tuhan, dan mereka tidak akan mengetahui Tuhan. Tuhan hanya akan dapat lebih diketahui dengan tradisi Timur; union with god. Dengan demikian, berfikir dengan cara pandang orang lain, dan merasakan seperti apa yang dialami orang lain dalam bentuk kebersatuan adalah sebuah cara untuk memahami orang lain dan mencintainya.

Kontribusi penting Fromm setelah membahas cinta dari aspek ontologis, adalah mengurai langkah epistemologis tentang bagaimana meraih cinta itu. Seperti telah diketahui bahwa cinta bukanlah sesuatu yang take for granted. Keberadaannya haruslah dipelajari, dimengerti, diusahakan dan diperjuangkan. Maka Fromm memandang bahwa mencintai sebenarnya adalah sebuah seni. Sebagai seni, mencinta juga harus tunduk pada konsep-konsep seni. Secara umum konsep seni terdiri dari 1) disiplin dalam setiap sendi kehidupan, 2) konsentrasi, 3) sabar, dan penuh perhatian. Meraih cinta, haruslah dengan bertumpu pada ketiga konsep ini.
Dengan demikian mempelajari cinta, sama dengan mempelajari seni lukis, seni patung, seni pahat dan sebagainya. Dalam pelajaran seni tersebut ada dua komponen yang harus dipelajari; teori dan praktek. Olah rasa atas kedua komponen tersebut akan menumbuhkan intuisi yang merupakan pangkal segala penguasaan atas seni. Untuk mencapai penguasaan itu, maka unsur terpenting adalah disiplin, sabar, dan perhatian atas objeknya, dalam hal ini apakah seni mencintai itu. Orang-orang yang gagal dalam berhubungan disebabkan mereka tidak concern/fokus pada cinta, tetapi pada instrumen lain di seputar cinta, seperti, uang, kekuasaan, dan prestisius.

C. Cinta dalam Tradisi Tasawuf
Dalam bahasa Arab, cinta bersinonim dengan kata al-hubb. Al-Qusyairi[4] mengumpulkan beberapa pendapat tentang cinta (al-hubb) sebagai berikut:
1. Cinta/al-Hubb berasal dari kalimat habba-hubban-hibban yang berarti waddahu, mempunyai makna kasih atau mengasihi,
2. Al-hubb berakar dari kata habab al-Maa’, adalah air bah,
3. Cinta dinamakan mahabbah sebab ia kepedulian yang paling besar dari cinta hati,
4. Cinta juga sering dianggap berasa dari kata habb (biji) yang jama’nya habbat, dan habbat al-qalb adalah sesuatu yang menjadi penopangnya. Dengan demikian, cinta dinamai al-hubb sebab ia tersimpan di dalam kalbu.
5. Ada pula yang menyebutkan bahwa kata al-hubb berasal dari kata hibbah, yang berarti biji-bijian dari padang pasir. Cinta dinamai al-hubb dimaksudkan sebagai lubuk kehidupan sebagaimana hubb sebagai benih tumbuh-tumbuhan.
6. Namun, ada pula yang mengatakan bahwa cinta berasal dari kata hibb, yakni tempat yang di dalamnya ada air, dan manakala ia penuh maka tidak ada tempat bagi lainnya. Demikian pula dengan hati saat diluapi cinta oleh cinta, tak ada tempat lagi dihatinya selain bagai kekasih.

Beberapa definisi di atas meneguhkan kita akan makna cinta. Kiranya makna tersebut sejalan pula dengan pengertian-pengertian lain. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,[5] cinta diartikan sebagai suka sekali, sayang benar, kasih sekali, terpikat, ingin sekali, berharap sekali, atau khawatir. Sementara itu, dalam Kamus Psikologi[6] cinta merupakan perasaan khusus yang menyangkut kesenangan terhadap atau melekat pada objek; cinta bernuansa emosional jika muncul dalam pikiran dan dapat membangkitkan keseluruhan emosi primer sesuai dengan emosi di mana objek itu berada.
Dalam Islam, orang-orang yang ingin mencintai Allah[7] secara total dengan cara mementingkan kebersihan kehidupan batiniah dikenal dengan sebutan sufi. Demi mencapai cintanya terhadap Tuhan, kaum sufi menyisihkan diri dari orang banyak dengan maksud membersihkan hati agar menjadi bening seperti kaca di hadapan Tuhannya.
Ilmu yang mempelajari tentang kesufian dinamai tasawuf. Menurut Ibnu Khaldun di antara pafa sufi menulis sikap rendah hati dan instropeksi tentang apa yang perlu ditinggalkan dan dilakukan, maka ilmu tasawuf pun menjadi ilmu yang tersusun dimana sebelumnya hanya merupakan upaya manusia.[8] Menurut al-Taftazani tasawuf dalam Islam melewati berbagai fase dan kondisi. Meskipun begitu, ada satu asas tasawuf yang tidak pernah diperselisihkan, yaitu moralitas; moralitas berdasarkan Islam.[9] Senada dengan pendapat di atas, al-Junaid melontarkan pandangannya bahwa tasawuf adalah keluar dari budi perangai yang tercela dan masuk kepada budi perangai yang terpuji.[10]
Bila dinilai secara proporsional, tasawuf merupakan salah satu ekspresi nyata dari ajaran dasar Islam di samping Fiqh, Kalam, dan Filsafat. Tidak sulit menjumpai ayat-ayat al-Qur’an dan hadis yang mendorong umat Islam untuk menjalani hidup melalui tasawuf.[11] Maka tidak berlebihan bila ajaran-ajaran yang disampaikan oleh kaum sufi mengandung ajaran inti dari al-Qur’an, yakni mendekatkan diri kepada Allah. Ajaran ini mengarah kepada suatu perbuatan jiwa yang benar-benar suci sehingga memancar keluar dan mewujud sebagai perilaku kehidupan yang anggun.
Fazlurrahman dalam menganalisis perkembangan tasawuf menemukan kenyataan bahwa sejak abad ke-2 H tasawuf menjadi daya tarik istimewa di kalangan sebagaian kaum muslim. Tasawuf juga cukup mempengaruhi percepatan penyebaran Islam dan proses perkembangan pemikiran Islam.[12] Anggapan bahwa tasawuf sebagai penghambat kemajuan Islam perlu pengkajian secara lebih mendalam.
Dari literatur sejarah dijumpai sekian banyak ajaran tasawuf yang pernah dipraktekkan oleh para sufi, seperti Mahabbah (Rabi’ah al-Adawiyah 713-801 M), Ma’rifah (Zunnul Mishri, w. 860 M. dan Al-Ghazali, w 1111 M.), Wihdatul Wujud (Muhyiddin Ibn al-Arabi), Ittihad (Abu Yazid al-Bustani, w. 874 M), Insan Kamil (Abd al-Karim al-Jilli, w. 1365 M), dan lain sebagainya.[13]
Usaha menyingkap tirai yang membatasi diri dengan Allah memerlukan seperangkat sistem yang disusun oleh para ulama dalam tiga tingkat yang dinamakan dengan takhalli, tahalli, dan tajalli.[14] Prosesi ketiga hal tersebut dilalui dengan tahapan yang disebut maqamat, station, seperti muhasabah (introspeksi), taubat, qana’ah (ridla terhadap perolehan), zuhud (tidak bergembira dengan apa yang dimilikinya dan tidak berputus asa bila sesuatu hilang dari padanya), sabar, tawakkal, dan ma’rifat billah (tahap tajalli).[15]

D. Dari Rabi’ah al-Adawiyah Sampai ke Erich Fromm
Setiap kali memperbincangkan sufi, nama Rabia’ah al-Adawiyah akan sulit untuk ditinggalkan. Tokoh sufi kelahiran Basrah Irak[16] ini lahir dari keluarga miskin, menjadi yatim sejak kecil dan pernah dijadikan budak dengan harga enam dirham. Akan tetapi ia dibebaskan tuannya karena melihat Rabi’ah selalu bermunajat kepada Allah di tengah malam.[17] Rabi’ah merdeka dan pergi mengembara dengan bebas. Ada sumber yang menyebutkan bahwa Rabi’ah kemudian mencari nafkah dengan bermain musik seruling, karena konon Rabi’ah pandai bermain seruling. Rabi’ah tidak pernah berpikir untuk berumah tangga. Bahkan akhirnya memilih hidup zuhud, menyendiri, dan beribadah kepada Allah. Ia tidak pernah menikah karena perkawinan baginya adalah rintangan untuk selalu dekat pada Allah. Ia pernah memanjatkan do’a: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari segala perkara yang menyibukkanku untuk menyembah-Mu, dan dari segala penghalang yang merenggangkan hubunganku dengan-Mu”.[18]
Menurut Javad Nurbakhsh, Rabi’ah termasuk sufi yang hidup pada periode akhir kedua dalam sejarah perkembangan tasawuf. Pada periode ini unsur-unsur Islam tasawuf agak berbeda dengan kecenderungan pada periode sebelumnya. Pada periode pertama para sufi mengajarkan untuk takut kepada Allah dengan takut atas siksaannya dengan mengharap kebahagiaan surga. kecenderungan ini berkembang menjadi gerkakan yang mengarah kepada “lari dari dunia”, kehidupan yang asketis.[19] Pada periode kedua para sufi secara filosofis beralih kepada unsur isyq atau kerinduan dan mahabbah atau cinta kepada Allah ditambah dengan asketisme dan praktek zuhud yang luar biasa.[20]
Perasaan yang disuarakan para sufi pada periode kedua adalah ibadah yang bukan disebabkan oleh takut pada siksa neraka dan berharap memperoleh ganjaran surga, melainkan semata-mata lantaran cinta dan ibadah yang memang berhak diperoleh Allah. Konsep cinta ini merupakan pendekatan terhadap Tuhan dengan cara yang lebih merdeka.
Dengan penuh gelora Rabi’ah mengaku “Aku bersumpah demi keagungan-Mu bahwa aku beribadah kepada-Mu bukan lantaran mengharap surga atau takut siksa neraka. Aku beribadah kepada-Mu semata demi keluhuran-Mu”.
Margareth Smith menyitir syair Rabi’ah: “Tuhanku, jika aku menyembah-Mu lantaran takut api neraka, bakarlah aku di dalamnya. Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga, jauhkanlah aku daripadanya. Akan tetapi jika aku menyembah-Mu lantaran Dirimu, jangan Engkau sembunyikan dari keindahan-Mu yang abadi.[21]
Perasaan cinta yang meresap ke dalam lubuh hati Rabi’ah menyebabkan ia memberikan hidupnya semata-mata untuk beribadah kepada Allah. Hati Rabi’ah telah dipenuhi oleh perasaan cinta kepada Allah, sehingga tidak menyisakan sedikitpun untuk mencintai yang lain termasuk nabi Muhammad. Cinta Rabi’ah kepada Allah merupakan cinta suci dan murni lagi sempurna seperti tertuang dalam syairnya:
Aku mencintaimu dengan dua cinta, cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu.
Cinta karena diriku, adalah keadaanku senantiasa mengingat-Mu.
Cinta karena diri-Mu, adalah lantran keadaan-Mu menyingkap tabir
Hingga Engkau kulihat
Baik untuk ini untuk itu bukanlah bagiku
Tapi bagimulah segenap pujian
Buah hatiku, hanyalah Engkau yang kukasihi
Taburi ampunan pada pembuat dosa yang datang kehadirat-Mu
Engkaulah harapanku, kebahagiaanku, dan kesenanganku
Hatiku enggan mencintai selain Engkau.[22]

Dari syair di atas, dapat diketahui bahwa Rabi’ah merupakan pelopor yang memperkenalkan cita ajaran mistik dalam Islam, yakni terbukanya tabir penyekat alam ghaib sehingga sang sufi dapat mengalami, menyaksikan, dan berhubungan langsung dengan Tuhan. Perasaan mistik bersatu dengan Tuhan merupakan emosi yang sangat personal, tak tergambar dan konatif.[23] Oleh karena itu, para sufi (termasuk Rabi’ah) membahasakan pengalaman personalnya dengan bahasa puisi agar lebih universal dan dapat dimengerti orang lain.
Cita-cita watak sufisme serta tujuan utamanya yang menjadi inti ideal ajaran tasawuf memang telah diungkapkan oleh Rabi’ah. Bahkan ruh utama pendorong kehidupan batin para sufi juga telah digelar secara indah dan jitu oleh Rabi’ah, yaitu cinta rindu pendorong kegandrungan untuk bertemu muka atau bahkan bersatu dengan Tuhan. Cinta rindu atau syauq yang menimbulkan kegelisahan hati antara takut dan harap yang memuncak dalam penghayatan sakar (mabuk cinta) adalah ruh kehiudpan batin para sufi. Mahabbah pada Tuhan dan bentuknya yang murni dan bahkan ekstrim emosional ini tentu memandang kecil dan bahkan merendahkan terhadap apa saja selain Allah. Inilah hal mahabbah dalam ajaran Rabi’ah.[24]
Menurut Abd al-Hakim Hasan sebagai dikutip Simuh, Rabi’ah telah memulai membukakan konsep cinta kepada Allah menurut ajaran tasawuf yang sesungguhnya. Konsep ini belum pernah ada pada tasawuf yang sesungguhnya sebelum masa Rabi’ah.[25] Dengan kata lain, Rabi’ah mencari jalan lain untuk mengatasi kesendirian (dalam bahasa Fromm; rasa keterpisahan) dengan cara yang belum pernah dilakukan oleh pencari Tuhan sebelumnya, yaitu dengan Mahabbah.
Menurut Fromm, dasar kebutuhan manusia akan cinta terletak dalam pengalaman keterpisahan serta kebutuhan untuk mengatasi ketakutan yang disebabkan oleh kesendirian. Bentuk relegius dari cinta yang disebut dengan cinta Tuhan secara psikologis tidaklah berbeda. Cinta Tuhan ini juga berasal dari kebutuhan untuk mengatasi keterpisahan serta kebutuhan untuk meraih kesatuan.[26]
Secara primitif, manusia telah belajar mengatasi keterpisahan dirinya dari surga (ketika Adam dikeluarkan darinya). Selanjutnya mereka mengatasinya dengan cara mencari sembah-sembahan dari alam. Setelah mampu berfikir lebih tinggi, manusia mengolah apa yang disediakan alam ke tahap antropomorfis. Mereka menciptakan totem-totem untuk disembah. Dalam tahap penyembahan Tuhan secara antropomorfis ini, ditemukan suatu perkembangan dalam dua dimensi. Dimensi pertama adalah berkenaan dengan karakter kelelakian atau keperempuanan pada Tuhan, sementara dimensi kedua berkenaan dengan tingkat kematangan yang telah dicapai manusia dan yang menentukan karakter Tuhannya serta karakter cinta yang ia curahkan kepadanya.
Menurut penelitian penting Bachofen dan Morgan pada pertengahan abad ke-19, ada suatu tahap matriarkhal dalam agama yang mendahului tahap patriarkhal. Dalam tahap matriarkhal, makhluk tertinggi adalah ibu. Ibu merupakan Dewi dan sekaligus otoritas dalam keluarga dan masyarkat. Konsep cinta ibu adalah cinta tanpa syarat, melindungi dan menghubungkan. Karena tak bersyarat, maka ia tidak dapat diatur dan kontrol. Kehadiran cinta ibu memberikan kebahagiaan pada pribadi yang dicintai dan ketiadaannya menghadirkan rasa kehilangan dan putus-asa yang mendalam. Seorang ibu akan mencintai anak-anaknya karena mereka adalah anak-anaknya dan bukan karena mereka baik, taat untuk memenuhi perintah-perintahnya, maka berarti cinta ibu mendasarkan diri pada prinsip kesamaan.[27]
Tahap berikutnya dalam evolusi kemanusiaan adalah tahap patriarkhal. Dalam fase ini, ibu diturunkan dari kedudukannya dan ayah menggantikannya sebagai makhluk tertinggi. Aspek patriarkhal dalam agama membuat cinta Tuhan seperti cinta ayah. Cinta ayah adalah cinta bersyarat, ia mencintai anak-anaknya karena ia patuh pada perintahnya. Dalam konteks ini, Tuhan itu adil dan tegas, Dia memberi hukuman dan pahala. Dia berhak memilih bangsa yang Ia sukai, Ia mengusir Adam, membuat banjir pada kaum Nuh, dan meminta Ibrahim menyembelih Ismail. Baik kebudayaan Indian, Mesir, Yunani maupun agama Kristen, Yahudi dan Islam, semuanya merupakan representasi dari dunia patriarkhal dengan Dewa-Tuhan lelakinya.[28]
Dalam rangka itulah, cinta Tuhan harus direngkuh, dipahami, dan perjuangkan agar Ia menjatuhkan pilihannya pada pribadi yang berusaha untuk mendapatkannya. Tradisi tasawuf dalam mencari Tuhan sebenarnya adalah seni mencintai Tuhan yang adiluhung. Proses takhally, tahally, dan tajally merupakan teori mencintai yang semakna bahkan lebih dahsyat dari apa yang diungkapkan oleh Fromm.
Diakui bahwa revolusi rohaniah kaum muslimin terhadap kondisi sosio-politik yang ada merupakan sebagain faktor eksternal dari kemunculan tasawuf.[29] Mereka tidak puas dengan kehidupan saat itu yang lebih berorientasi pada dunia. Para sufi, dalam hal ini Rabi’ah, mengalihkan potensi cintanya pada dunia ke cinta terhadap Tuhan.
Dalam kondisi yang demikian, Rabi’ah bertekad memutuskan tali hubungannya dengan dunia. Hal ini ia lakukan dengan prinsip seni yang pertama, yaitu kedisiplinan. Setiap usaha tidak akan mencapai hasil yang sempurna tanpa disiplin. Sungguh kedisiplinan ini tidak mudah dijalankan. Rabia’ah telah menjalankan kedisiplinannya dalam mencintai Tuhan dari masa kecil hingga ia meninggal. Dalam malam ia berdoa sampai terdengar oleh tuannya, “Ya. Allah, Engkau tahu bahwa hasratku adalah untuk dapat mematuhi perintah-Mu dan mengabdi kepada-Mu. Tetapi Engkau telah menyerahkan diriku ke bawah kekuasaan seorang hamba-Mu”.[30] Menjelang matinya, Rabi’ah menolak didampingi siapapun, sekalipun orang yang berkeinginan mendampinginya adalah orang yang saleh. Rabi’ah berkata kepada mereka: “Bangunlah dan keluarlah! Lapangkanlah jalan untuk utusan Allah (malaikat) yang akan datang menjemputku”.[31]
Tidak ada satupun alasan yang dapat mengubah kedisiplinan Rabi’ah untuk mencintai Tuhan. Tidak kemiskinan, tidak kesenangan dan tidak pula pertolongan orang lain. Ia hanya menginginkan keberduaannya dengan Tuhan sampai maut menjemputnya.
Konsentrasi atau pemusatan perhatian merupakan syarat yang diperlukan dalam mempelajari suatu seni. Kebudayaan sekarang membawa manusia pada pola kehidupan yang berantakan, sehingga konsentrasi jarang sekali ditemukan di zaman sekarang ini. Di zaman ini orang melakukan banyak hal sekaligus; membaca, mendengar radio, merokok, makan ,dan minum.[32]
Syair Rabi’ah seperti yang disitir Hamka menunjukkan bahwa ia hanya berfikir dan konsentrasi tentang kekasih-Nya. Ia bersyukur sekali karena ia punya dua cinta. Cinta pada dirinya karena dengan dirinya ia selalu mengingat kekasih-Nya, dan cinta kepada kekasih-Nya yang telah menyingkap tabir keindahan tak terperikan. Akan sulit menemukan orang yang tidak mencintai hal lain selain Allah. Banyak hal lain dalam hidup ini yang perlu dicintai, tetapi bagi Rabi’ah hanya satu yang patut dicintai. Bahkan ketika ia mengatakan bahwa ia cinta dirinya, hal itu tidak lain karena dirinya itu mempunyai kemampuan untuk mencintai Tuhannya.
Syarat lain untuk mempelajari seni adalah penuh perhatian (supreme concern).[33] Orang-orang yang gagal dalam berhubungan disebabkan mereka tidak concern pada cinta, tetapi pada instrumen lain di seputar cinta, seperti uang, kekuasaan, dan prestisius.
Membicarakan masalah perhatian, harus dikembalikan lagi pada pembicaraan awal tentang elemen-elemen cinta, yaitu cinta adalah memberi bukan menerima, dengan demikian cinta adalah aktifitas aktif tidak pasif. Apa yang diberikan Rabi’ah untuk menunjukkan kwalitas perhatiannya kepada Tuhan? Ia telah memberikan kenyataan dirinya sebagai manusia itu sendiri, berupa kebahagiaan, kesedihan, dan pemahaman akan objek yang dicintainya. “Bagimulah segala puji-puji. Buah hatiku, Engkaulah yang kukasihi. Engkaulah harapanku, kebahagiaanku, dan kesenanganku. Hatiku enggan mencintai selain Engkau”.
Di samping itu, Rabi’ah tak pernah tertarik terhadap instrumen-instrumen di sekitar cinta terhadap Tuhan seperti sebaliknya banyak didambakan orang. “Aku bersumpah demi keagungan-Mu bahwa bahwa aku beribadah kepada-Mu bukan lantaran mengharap surga atau takut siksa neraka. Aku beribadah kepda-Mu semata demi keluhuran dan keagungan-Mu”.
Bahkan dalam syair yang tekenal dan selalu banyak dikutip orang, cinta tanpa pamrih Rabi’ah lebih jelas tergambar. “Tuhanku, jika aku menyembah-Mu lantaran takut api neraka, bakarlah aku di dalamnya. Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga, jauhkanlah aku daripadanya. Akan tetapi jika aku menyembah-Mu lantaran Dirimu, jangan Engkau sembunyikan dari keindahan-Mu yang abadi.[34]
Sebuah hikayat menerangkan bahwa Rabi’ah suatu hari memegang obor di tangan kanan dan kendi di tangan kiri. Di tengah orang-orang yang sedang berkerumun dia datang sambil berteriak lantang: “Mana surga! Biar aku bakar surga dengan obor ini lalu musnah, dan kusiram neraka dengan kendi ini lalu padam. Lalu apakah bila surga dan neraka tidak ada, Tuhan tidak layak disembah?”[35]
Mencinta, bagi Rabi’ah adalah memahami bahwa Tuhan yang dicintainya adalah memang patut untuk dicinta, karena Tuhan telah menamakan dirinya sendiri dengan al-wadud (Yang Maha Cinta) dan al-rahman al-rahim (Yang Maha Sayang dan Kasih). Ia tidak bertendensi apa-apa ketika mencintai Tuhannya. Yang terpenting adalah dalam proses mencintai itu ada aktifitas aktif dan bukan aktifitas pasif. Aktifitas aktif itu ditunjukkan dengan perilaku-perilaku konkret dari elemen-elemen cinta, seperti memberi, memahami, dan bertanggung jawab. Rabi’ah mendedikasikan dirinya secara total untuk mencintai Tuhan karena cinta Tuhan harus diraih, diperjuangkan, dipahami, dan didapat.
Dalam pandangan Fromm, tampaknya usaha-usaha yang dilakukan Rabi’ah adalah dalam rangka mencapai cinta Tuhan yang patriarkhal. Dengan usaha dan prestasi yang dilakukan, Tuhan akan memberikan cintanya dan memilihnya untuk menjadi kekasih-Nya. Rabi’ah membuktikan bahwa orientasi cinta adalah cinta itu sendiri dan bukan instrumen lain. Rabi’ah memberikan cintanya pada Tuhannya bagai meniupkan secercah kehidupan kepada orang lain yang memancar kembali kepadanya. Hal ini membuktikan bahwa mencintai sebagai aktifitas aktif menjadikan antara pecinta dan yang dicintai sebagai subjek, bukan salah satunya bertindak sebagai objek. Cinta Rabi’ah pada Tuhannya adalah cinta yang berhasil, potent, dan ia hidup dalam cahaya cinta sang Kekasihnya.

C. Penutup
Menurut Fromm, bentuk relegius dari cinta yang disebut dengan cinta Tuhan secara psikologis tidaklah berbeda. Satu hal yang pasti adalah bahwa hakekat cinta kepada Tuhan itu setaraf dengan hakekat cinta kepada manusia. Cinta antarsesama manusiapun sejalan dengan perkembangan cinta manusia terhadap Tuhan. Cinta kepada Tuhan dimulai dari masa manusia belum mengenal apa-apa dan masih tergantung pada unsur atau kekuatan di luarnya. Kemudian manusia mengenal cinta Tuhan yang matriarkhal yang disebut dengan Dewi-Dewi. Prinsip cinta matriarkhal ini adalah kesamaan. Semua makhluq akan mendapatkan cinta tanpa syarat karena mereka adalah anak-anak-Nya.
Segera setelah menginjak besar, manusia harus mendapatkan cinta Tuhan yang patriarkhal dengan perjuangan. Inilah yang dilakukan oleh para sufi, dalam hal ini Rabi’ah al-Adawiyah. Ia berusaha memahami bagaimana mencintai Tuhan dan bukan bagaimana agar dicintai. Ia mempersembahkan dirinya secara total dalam mencintai dengan potensi cinta yang aktif. Baginya cinta adalah cinta, tidak perlu teologi dosa dan pahala, tak perlu surga atau neraka untuk dapat mencintai.
Rabi’ah berhasil menampilkan konsep cinta yang telah membawanya bersatu dengan Tuhan. Dengan potensi cinta yang ada, ia berhasil mengatasi keterpisahan dan memenuhi kebutuhan untuk meraih kesatuan.











Biblografi
Ahmad, Jamil, Seratus Muslim Terkemuka, terjemahan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994).

Asfari. MS dan Otto Soekanto, Mahabbah Cinta Rabi’ah al-Adawiyah, (Jogjakarta: Bentang, 2002)

Ayyub AR, “Perkembangan Pemikiran Tasawuf Rabi’ah al-Adawiyah”, dalam Adabiyya, (Banda Aceh: Fak. Adab, 2002).

Exley, Helen, (ed.), To My Very Special Love, (Jakarta: Gramedia, 1995)

Fromm, Erich, The Art of Loving, terj. Syafi’ Alaelha, (Jakarta: Fesh Book, 2002).

Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemikiran, ( 1990).

Khaldun, Ibnu, Muqaddimah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986).

Madjid, Nurcholis, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1995).

Nata, Abudin, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Press, 1993).

Nurbakhsh, Javad, Wanita-Wanita Sufi, (Bandung: Mizan, 1996).

Qandil, Abdul Mun’im, Figur Wanita Sufi, terj. M. Royhan Hasbullah dan M. Sofyan Amrullah, (Surabaya: Progressif, 1993).

Qammah, Khadijah Abdul Fattah, Syahidah al-isyq al-Ilahy, Rabi’ah al-Adawiyah, (Cairo: Dar al-Wafa’, tt).

Quzwain, M. Chotib, Mengenal Allah, Suatu Studi Mengenai Ajaran Tasawuf Saikh Abd. Al-Samad al-Palinbani, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985).

Rahman, Fazlur, Islam, terj. , (Jakarta: Bulan Bintang, 19..).

Rafi’ie, Abd. Halim, Cinta Ilahi Menurut al-Ghazali dan Rabi’ah al-Adawiyah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997).

Al-Taftazani, Abu al-Wafa’ al-Ghanimi, Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad Rofi’ Ustmani, (Bandung: Pustaka, 1997).

Smith, Margareth, Reading from the Mystics of Islam, (London: Mountan, 1950).

Simuh, Tasawuf dn Perkembangan dalam Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1996),

Surur, Thaha Abdul Baqir, Rabi’ah al-Adawiyah, (Kairo: Dar al-Fikr al-Araby, 1957).
Syukur, Amin, Menggugat Tasawuf, (Jogjakarta, Pustaka Pelajar, 1999).






Biodata Penulis
Penulis adalah dosen tetap pada Fakultas Adab Jurusan Bahasa dan Sastra Arab IAIN Sunan kalijaga Jogjakarta. Menyelesaikan jenjang S-1 pada fakultas yang sama, dan sedang melanjutkan pendidikan jenjang S-2 di Fakultas Ilmu Budaya, Program studi Ilmu Sastra Universitas Gadjah Mada Jogjakarta. Umur 28 tahun masih lajang.
* Disampaikan pada diskusi ilmiah civitas akademika UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 11-12-2005 di Gedung Rektorat UIN Sunan Kalijaga.
[1] http/www. Erich Fromm. Com.
[2] Erich Fromm, The Art of Loving, terj. Syafi’ Alaelha, (Jakarta: Fesh Book, 2002).
[3] Helen Exley (ed.), To My Very Special Love, (Jakarta: Gramedia, 1995)

[4] Asfari MS dan Otto Soekanto, Mahabbah Cinta Rabi’ah al-Adawiyah, (Jogjakarta: Bentang, 2002), hlm. 49-50. Al-Qusyairi adalah tokoh sufi utama abad V H, karyanya Risalah al-Qusyairiyah menjadi rujukan karena lengkap secara teoritis dan praktis. Ia terkenal dengan pembela theologi ahlussunah wal jama’ah yang mampu mengkompromikan syari’ah dan hikmah. ia berusaha mengembalikan tasawuf pada landasannya al-Qur’an dan al-Hadis. Lihat: Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 1999)
[5] 1989: 168
[6] 1988: 263 Terj. Dari The Pinguin Dictionary of Psikology
[7] QS 2; 165, 3; 31, 5; 54
[8] Ibnu Khaldun, Muqaddimah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), hlm. 136.
[9] Al-Taftazani, Abu al-Wafa’ al-Ghanimi, Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad Rofi’ Ustmani, (Bandung: Pustaka, 1997), hlm. 10.
[10] Dalam Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemikiran, ( 1990), hlm. 13.
[11] QS 1: 115, 2: 31, 8: 17, 24: 34, dan 64:40-41.
[12] Fazlurrahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1984), hlm. 204.
[13] Ayyub AR, “Perkembangan Pemikiran Tasawuf Rabi’ah al-Adawiyah”, dalam Adabiyya, (Banda Aceh: Fak. Adab, 2002), 154.
[14] Takhalli ialah membersihkan diri dari sifat tercela. Sifat inilah yang menjadi penghalang utama manusia dalam berhubungan dengan Allah. Tahalli adalah mengisi jiwa dengan berbagai sifat terpuji. Prosesi ini dilakukan setelah membersihkan diri dari sifat tercela yang mengotori jiwanya. Tajalli mempunyai arti merasakan rasa ketuhanan yang sampai mencapai kenyataan Tuhan, yaitu merasa dekat denganAllah tanpa ada pemisah, karena telah meninggalkan sifat-sifat kemanusiaan. Lebih dari itu ahli sufi dapat merasakan bersatu dengan Allah (Baca: .
[15] Urutan-urutan maqam ini sering sekali berbeda. Al-Ghazali, misalnya, dalam al-Arba’in Fi Ushul al-Din membuat urutan sebagai berikut: taubat, takut dan harap, zuhud, sabar, sykur, ikhlas, tawakkal, cinta, ridha, dan ingat mati (Baca secara detil dalam Dr. M. Chotib Quzwain, Mengenal Allah, Suatu Studi Mengenai Ajaran Tasawuf Saikh Abd. Al-Samad al-palinbani, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), hlm78-113). Lihat pula: Abu Bakar M. Kalabadzi, Ajaran-Ajaran Sufi, (Bandung: Pustaka, 1985) dan Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973) , hlm. 63.
[16] Abudin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Press, 1993), hlm. 17.
[17] Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka, terjemahan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 72.
[18] Abdul Mun’im Qandil, Figur Wanita Sufi, terj. M. Royhan Hasbullah dan M. Sofyan Amrullah, (Surabaya: Progressif, 1993), hlm. 7.
[19] Bahkan Hasan Basri, guru spiritual Rabi’ah, yang hidup pada abad I paruh ke II (lahir di Madinah 642 M menginggal di Basrah 782 M) masih mengembangkan pendekatan takut (khauf) dan harap (raja’) dalam kesufiannya. Setelah masa Rabi’ah, yakni abad ke III-IV H, tasawuf bercorak kefana’an (ekstase), kesatuan hamba dan khaliq, seperti ma’rifah, wihdatul wujud, dan ittihad.
[20] Javad Nurbakhsh, Wanita-Wanita Sufi, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 2-3.
[21] Margareth Smith, Reading from the Mystics of Islam, (London: Mountan, 1950), hlm. 12.
[22] Mustafa Kamil as-Syaibi, As-Silah Bain at-Tasawuf wa al-Tasayyu, (Kairo: Dar al-Ma’arif, t.t.), hlm. 300. Syair ini merupakan syair yang paling sering dikutip oleh peneliti dan pengamat tasawuf. Dari syair inilah Rabi’ah ditempatkan sebagai pencetus konsep mahabbah dalam tasawuf..
[23] Menurut Ludwig Wittgenstein, pengalaman relegius bersifat konatif, yakni pengalaman yang dialami secara langsung antara subjek dengan objek, berlangsung dalam taraf tak sadar, dan karenanya berlangsung tanpa bahasa. Tetapi, saat subjek membahasakan pengalaman relegiusnya, maka aspek konatif itu masuk ke aspek reflektif, yakni pengalaman relegius yang telah terabstraksi ke pola inderawi. Perpindahan ini dalam bahasa relegius berlangsung dengan jalan analogi. (baca: Abdul Wachid B.S., Relegiusitas alam: dari Surealisme ke Spiritualisme D. Zawawi Imron, (Jogjakarta: Gama Media, 2002), hlm. 172.
[24] Simuh, Tasawuf dn Perkembanga dalam Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1996), hlm. 32.
[25] Ibid., hlm. 36.
[26] Fromm, The Art…, hlm. 107.
[27] Ibid., hlm. 110.
[28] Walaupun demikian, karena kerinduan akan cinta ibu tidak dapat dilenyapkan dari kehidupan manusia, maka gambaran cinta ibu yang penuh kasih tidak pernah dapat dibuang sepenuhnya dari bangunan keagamaan yang patriarkhal tersebut. Dalam agama Yahudi, unsur ibu dimasukkan, khususnya dalam berbagai aliran mistik. Dalam agama Katolik, ibu dilambangkan dengan perawan suci Maria. Dalam Islam, keseimbangan sifat maskulin dan feminin dalam diri Tuhan tergambar dalam asma al-husna (nama-nama Tuhan) yang 99 buah.
[29] Amin, Menggugat Tasawuf…hlm. 27.
[30] Jamil, Seratus Muslim…., hlm. 51.
[31] Qandil, Figur Wanita …., hlm. 7
[32] Fromm, The Art…, hlm. 178.
[33] Idem., hlm. 179.
[34] Smith, Reading from…, hlm. 12.

[35] Thaha Abd al-Baqir Surur, Rabi’ah al-Adawiyah, (Kairo: Dar al-Fikr al-Araby, 1957), hlm. 66.

Kamis, 06 Desember 2007

MEMAKNAI HUBUNGAN AL-MUTANABBY DAN TIGA PENGUASA ABBASIYAH

Muhammad Walidin[1]


ABSTRACT
A research entitled on “Reading al-Mutanabbi> and Its relation to the Three Caliphs of Abbasid: A Semiotic Analysis” aims to describe semiotically a relation between al-Mutanabbi> and the three Caliphs of Abbasid. The relation shows the role and succes of al-Mutanabbi> as an outstanding Arabian poet. The research results in showing the relation between al-Mutanabbi> and the three caliphs of Abbasid determined by some factors, namely the character of al-Mutanabbi>, i.e. loyal, stiff, helpful, smart, polite, and arrogant; the characteristics of the poetries, i.e. diplomatic, contradictive, hyperbola, pars pro toto; and the pattern of the relation created, i.e. patronage, friendship, and mutual relation. Although the character is an important element to maintain the quality of the relation, the special characteristic of the al-Mutanabbi>‘s poetries is the most significant element to create the good relation with the three caliphs. In addition, the characteristics of al-Mutanabbi>‘s poetries are needed by the caliphs to increase their image in front of their public and enemies.

Key word: al-Mutanabbi>, semiotic, hermeneutic, matrix, hypogram.


PENGANTAR

1. Latar Belakang Masalah
Hubungan yang terjalin antara Indonesia dengan negara-negara Arab telah terjalin sejak lama. L.W.C. van den Berg (via al-Gadri, 1988: 56) mengatakan bahwa orang Arab yang pertama datang ke Indonesia berasal dari pantai Teluk Persia dan pantai laut Merah. Hubungan antar kepulauan ini mencapai puncaknya pada zaman Kerajaan Abbasiyah di Mesopotamia dengan ibu kota Baghdad (sekitar tahun 800-1300) yang menjadi pusat ilmu, kebudayaan, dan perdagangan Dunia Islam. Dari daerah inilah asal sebagian besar orang Arab pertama yang sampai di Indonesia dan melakukan asimilasi kebudayaan dengan penduduk setempat.
Pengaruh Arab di Indonesia tampak pada beberapa hal, seperti kekuatan politik (berdirinya kesultanan di seluruh nusantara) pendidikan (berdirinya lembaga pendidikan), bahasa (absorbsi bahasa Arab ke dalam Bahasa Indonesia), dan juga kesusasteraan (adopsi syair atau hikmah untuk justifikasi ajaran agama atau lainnya ).
Salah satu penyair Abbasiyah yang karyanya juga dikenal di Indonesia adalah al-Mutanabbi>. Penggalan puisinya tertulis pada dinding perpustakaan nasional di Jakarta. Al-Mutanabbi> (915-965 M) adalah penyair Arab yang hidup pada periode Abbasiyah ketiga (Hamori dalam Ashtiany, 1990: 300). Ia dikenal sebagai penyair handal dalam bidang puisi penegiris (madh, panegyric), satu ragam puisi pujian yang digunakan untuk menyanjung sesuatu atau seseorang. Dengan kemampuannya tersebut, ia mencari perlindungan pada para penguasa Abbasiyah dan mendapatkan penghidupan yang layak dari profesinya sebagai penyair istana. Kesuksesannya mendampingi para penguasa tersebut ditentukan oleh karakter dan karakteristik puisinya sehingga ia tetap dipertahankan sebagai penyair istana oleh para penguasa yang menjadi pelindungnya.
Hamori (1990:300) menyebutkan bahwa hubungan yang dibangun antara para penguasa dan al-Mutanabbi> tidaklah mudah bahkan sangat rentan pecah. Ia memiliki karakter arogan, peka, dan ambisius, sementara pelindungnya adalah raja yang sedianya selalu dilayani dan tidak memerlukan orang dengan karakter negatif seperti al-Mutanabbi>. Lalu, bagaimana Ia mampu membangun hubungan yang baik dengan tiga penguasa Abbasiyah bila karakternya justru menjadi ancaman bagi dirinya dan orang lain. Barangkali terdapat faktor lain atau ‘hal lain’ yang mempengaruhi hubungan baik mereka di samping permasalahan personalitas tersebut.
Penomena di atas menggugah keingintahuan penulis untuk membaca al-Mutanabbi> secara komprehensif, tidak saja berdasarkan biografi melainkan juga berdasarkan puisi yang ia hasilkan. Pertimbangan tersebut didasarkan pada pendapat Courthope (via Hudson, 1960: 65) bahwa puisi merupakan ekspresi pikiran imajinatif dan ‘perasaan’ dalam bahasa metris. Perasaan yang tertuang dalam bait-bait puisi dapat menggambarkan banyak hal, termasuk karakter penyairnya atau kekuatan puisi melalui gugusan tanda yang melingkupinya. Dengan pembacaan secara semiotis, dapat diketahui faktor-faktor yang mampu menciptakan hubungan baik antara al-Mutanabbi> dan tiga penguasa tersebut.

2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka masalah yang diangkat adalah karakter al-Mutanabbi>, karakteristik puisinya, dan Pola hubungan yang diciptakan. Dengan tiga hal di atas, dapat diketahui hubungan al-Mutanabbi> dengan tiga penguasa Abbasiyah.

3. Tujuan Penelitian
Secara teoritis, penelitian ini dilakukan untuk tujuan pengembangan ilmu sastra khususnya teori semiotik, yaitu mencoba memberikan sumbangan pemikiran bagi kepentingan penerapan teori semiotik terhadap puisi al-Mutanabbi>.
Secara praktis, penelitian ini memberi dasar dalam mengapresiasi puisi al-Mutanabbi> sehingga meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menghargai dan memahami karya sastra Arab. Dari penelitian ini pula diharapkan dapat ditemukan nilai-nilai yang berguna bagi masyarakat sehingga nilai-nilai tersebut mampu menambah wawasan dan penghargaan masyarakat dan peminat sastra Arab di Indonesia terhadap karya dan pribadi al-Mutanabbi> sebagai penyair besar Abbasiyah.

4. Tinjauan Pustaka
Usaha para peneliti untuk lebih memahami puisi Al-Mutanabbi> sudah dimulai dengan memberikan penjelasan (syarah) terhadap antologinya. Tercatat dua buah penjelasan yang penulis temukan selama penelitian ini, yaitu karya Mustofa Subaity> > (Beirut: 1986) dan karya Abdul Wahab Azzam (Cairo, 1944). Walaupun penjelasan tersebut dapat dikatakan sebagai karya ilmiah tapi sebenarnya ia hanya mendeskripsikan arti perbait dari setiap puisi, terutama pada kosa kata yang sulit dengan memberi padanan katanya. Dengan demikian, pemaknaan yang ditawarkan para penjelas (pensyarah) tidaklah melalui suatu metode tertentu.
Penelitian dengan mencari konsep dalam puisi-puisi al-Mutanabbi> telah dilakukan oleh beberapa peneliti, seperti Abdullah (1996) yang mencari nilai-nilai humanisme dalam puisi-puisi al-Mutanabbi>. Demikian pula Nurain (2004) yang fokus kepada nilai-nilai pendidikan.
Selain buku penjelasan (Syarah) dan penelitian, Al-Mutanabbi> juga dibicarakan di dalam berbagai buku, seperti A. Hamori (1990), al-Hasyim (1966), dan Husein (t.t.). Bila penjelasan (syarah) yang dilakukan oleh para penulis terdahulu menghadirkan puisi Al-Mutanabbi> apa adanya tanpa sentuhan metode sebagai cara memandang sebuah karya sastra, maka penelitian terkini terhadap puisi Al-Mutanabbi> tidak pernah lengkap mengambil satu episode puisi. Bait-bait puisi dipenggal secara paksa dan diambil seperlunya untuk mencari konsep-konsep tertentu. Hal ini tentu mengurangi makna puisi sebagai sebuah keseluruhan (wholeness) yang unsur-unsurnya saling berjalin erat (Hawkess, 1978: 18).
Penelitian ini kemudian menjadi berbeda dan penting karena berusaha melengkapi apresiasi karya Al-Mutanabbi> dengan sebuah metode ilmiah untuk memaknai satu episode puisi secara penuh.
5. Landasan Teori
Teori semiotik yang gunakan dalam menganalisi puisi al-Mutanabbi> ini adalah teori semiotik yang dikemukakan oleh Riffaterre (1978) dalam bukunya Semiotik of Poetry. Ia mengemukakan metode pemaknaan yang khusus terhadap tanda-tanda dalam puisi untuk memproduksi makna tanda-tanda.
Riffaterre (1978), dalam bukunya, mengemukakan empat pokok yang harus diperhatikan untuk memproduksi arti (makna) puisi, yaitu (1) ketaklangsungan ekspresi puisi, (2) pembacaan heuristik dan hermeneutik atau retroaktif, (3) matriks, model, varian, dan (4) hipogram.
Menurut Riffaterre puisi merupakan aktivitas bahasa. Ciri khas puisi adalah mengekspresikan konsep-konsep dan benda-benda secara tak langsung yang disebabkan oleh pergeseran arti (displacing of meaning), penyimpangan (distorting of meaning), dan penciptaan arti baru (creating of meaning).
Rifaterre menyatakan bahwa dalam tindak pembacaan sebuah puisi atau proses dialektika semiosis itu, pembaca akan melewati dua tahap pembacaan. Tahap pertama pembacaan heuristik. Pada tahap ini, pembaca akan menemukan ‘arti’ biasa. Pembaca akan menemukan ‘makna’ pada proses pembacaan tahap kedua, yakni tahap pembacaan dalam tataran semiotik, yang disebut pembacaan retroaktif atau pembacaan hermeneutic.
Sampai pada tahap pembacaan kedua, pembaca sekaligus diarahkan pada pemahaman bahwa teks berawal dari adanya matriks (Riffaterre, 1978: 13) atau disebut juga dengan kernel word (Riffaterre, 1978: 104). Matriks ini memberi makna kesatuan sebuah puisi. Suatu matriks tidak terdapat di dalam teks, tetapi diaktualisasikan lewat model. Model dapat berupa satu kata atau kalimat tertentu. Model inilah yang akan menentukan bentuk-bentuk varian (pengembangan) sehingga menurunkan teks secara keseluruhan.
Di samping matriks, model, dan varian, yang harus diperhatikan dalam memahami makna puisi adalah hipogram (Riffaterre 1978: 23). Hipogram adalah teks yang menjadi latar penciptaan sebuah teks baru, baik berupa dunia semesta (Teeuw, 1983: 65). Hipogram merupakan landasan bagi penciptaan karya yang baru, mungkin dipatuhi, tapi mungkin juga disimpangi oleh pengarang.

CARA PENELITIAN
Metode yang dimanfaatkan dalam penelitian ini tersusun dalam tiga langkah. Langkah pertama adalah pembacaan heuristik dan hermeneutik terhadap tiga puisi panegiris al-Mutanabbi> yang didedikasikan kepada tiga penguasa Abbasiyah. Heuristik merupakan pembacaan tahap pertama yang bermula dari awal hingga akhir teks. Pembacaan dengan model ini baru menghasilkan ‘arti’ dan belum memberikan ‘makna’ puisi sebenarnya. Untuk merebut ‘makna’ tersebut dilakukan pembacaan tingkat kedua, yaitu hermeneutik, sebuah pembacaan berdasarkan sistem sastra. Pembaca melakukan peninjauan dan perbandingan ke arah belakang. Dengan cara itu, pembaca akan mampu memperlihatkan hal-hal yang semula terlihat sebagai ungramatikalitas menjadi himpunan kata-kata yang ekuivalen.
Langkah kedua, pengidentifikasian matriks, model, dan varian dalam tiga puisi yang diteliti. Penentuan matriks ini memberi makna kesatuan sebuah puisi (Riffaterre, 1978: 19). Oleh karena matriks tidak terdapat di dalam teks, maka dicari aktualisasinya lewat model yang diturunkan dan menjadi visible dengan varian sehingga menurunkan inti teks secara keseluruhan.
Langkah terakhir adalah mencari hubungan intertekstual puisi yang diteliti dengan teks lain. Hal ini diperlukan untuk mengetahui konteks dan background sebuah puisi ditransformasikan sehingga makna ketiga puisi ini akan dipahami secara penuh dan optimal.

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Puisi yang menjadi objek penelitian, masing-masing berjumlah lebih dari 40 bait. Dalam sastra Arab puisi ini dikenal dengan nama Qasidah; yaitu jenis puisi yang berjumlah 7-100 bait. Mengingat keterbatasan ruang, maka penulis tidak akan menyertakan teks asli maupun terjemahannya. Dengan demikian, pembahasan yang ditampilkan dalam tulisan ini hanya merupakan hasil analisis saja.
1. Pembacaan Heuristik Puisi Sam’an li Amri Ami>r al-’Arab , Wa Khairu Jali>sin fiz-Zama>ni Kita>bu , dan Laqad Ka>nat Khala’iquhum ‘Ida>ka>

Dalam puisi Sam’an li Amri Ami>r al-’Arab (Mustofa Subaity>, 1986: 150), terbangun adanya citra seseorang (si aku lirik) yang menghindar dari perintah atasannya. Secara diplomatis, tokoh aku menyebutkan argumentasi yang kuat agar penolakan tersebut tidak menyinggung perasaan rajanya. Di antara alasan tersebut adalah: (1) Ketakutannya pada penghasut, (2) Raja tersebut sangat agung dan kuat sehingga tidak memerlukan bantuannya dalam peperangan, dan (3) kekuatan musuh sangat kecil sehingga mereka pasti menang. Dengan alasan tersebut, tokoh aku pergi meninggalkan rajanya menuju perlindungan raja lain.
Dalam puisi Wa Khairu Jali>sin fiz-Zama>ni Kita>bu (Mustofa Subaity>, 1986: 170), terbangun suasana kekecewaan yang dialami oleh seseorang (si aku lirik)> karena perbedaan antara harapan dan kenyataan yang ditemui dalam kehidupan. Tokoh aku mengharapkan ‘sesuatu seperti rambut putih’ atau mahkota, simbol kekuasaan terhadap suatu wilayah. Akan tetapi, harapannya tidak sesuai dengan kenyataan karena seseorang yang menjanjikan wilayah tersebut (si engkau) tidak kunjung memenuhi janjinya. Akhirnya, tokoh aku meninggalkan si engkau menuju perlidungan raja yang lain pula.
Dalam puisi Laqad Ka>nat Khala’iquhum ‘Ida>ka> (Mustofa Subaity>, 1986: 211), tergambar suasana berat hati dan kesedihan seseorang (aku lirik) ketika harus berpisah dengan kekasihnya. Kesedihan tersebut membuat tokoh aku menanggung rindu yang tak tertahankan bahkan selalu berharap agar ia bertemu kembali dengan kekasihnya.
Pembacaan heuristik ini hanya mampu mendeskripsikan makna kebahasaan. Makna sepenuhnya akan didapat setelah melalui proses pembacaan hermeneutik.
2. Pembacaan Hermeneutik Puisi Sam’an li Amri Ami>r al-’Arab , Wa Khairu Jali>sin fiz-Zama>ni Kita>bu , dan Laqad Ka>nat Khala’iquhum ‘Ida>ka> .

Berdasarkan pembacaan tahap kedua pada puisi Sam’an li Amri Ami>r al-’Arab, Wa Khairu Jali>sin fiz-Zama>ni Kita>bu, dan Laqad Ka>nat Khala’iquhum ‘Ida>ka> , ditemukan bahwa tokoh aku dalam puisi-puisi tersebut merujuk pada penyairnya sendiri, yaitu al-Mutanabbi>. Sementara tokoh engkau menunjukkan pelindungnya, yaitu Saif ad-Daulah, Ka>fu>r, dan ‘Ad}ud ad-Daulah.
Untuk mengetahui hubungan yang terjalin antara al-Mutanabbi> dengan para pelindungnya, maka perlu dilihat karakter al-Mutanabbi> sebagai faktor yang mampu mempengaruhi hubungan interpersonal. Pada ketiga puisi tersebut ditemukan karakter-karakter positif dan negatif al-Mutanabbi>. Karakter positif tersebut berupa, berpendirian teguh, suka menolong, bersikap hati-hati, dan setia, cerdas, santun, dan pandai berterima kasih. Adapun karakter negatif yang muncul dalam puisi ini adalah pamrih dan arogan.
Karakter positif al-Mutanabbi> yang dominan dalam puisi Sam’an li Amri Ami>r al-’Arab merupakan potensi yang besar baginya untuk membangun hubungan baik dengan Saif ad-Daulah , terutama karakternya yang setia dan suka menolong menjadikan ia dihargai dan dibutuhkan oleh Saif ad-Daulah sebagai penyair istana. Karakter al-Mutanabbi> yang muncul pada puisi Wa Khairu Jali>sin fiz-Zama>ni Kita>bu secara kontradiktif muncul bersamaan, yaitu santun dan arogan. Kesantunannya terlihat dalam caranya mengungkapkan harapan terhadap janji-janji Ka>fu>r yang telah diberikan kepadanya. Ia memilih sikap pasif sehingga ia tidak berhasil mendapatkan harapannya sebagaimana tergambar dalam matriks puisi ini. Pada bagian lain, ia memuncukan sikap arogan untuk memberi kesan bahwa ia tidak kecewa dengan harapan yang tidak tercapai tersebut. Dalam puisi Laqad Ka>nat Khala’iquhum ‘Ida>ka> tidak ditemukan sama sekali karakter negatif al-Mutanabbi>. Justru yang muncul adalah kepandaiannya dalam mensyukuri kebaikan pelindungnya, ‘Ad}ud ad-Daulah, tanpa tendensi apapun.
Berdasarkan pembacaan tingkat kedua pada tiga puisi ini, karakter positif al-Mutanabbi> lebih dominan dari pada karakter negatif sehingga menjadikan hubungannya dengan tiga penguasa berjalan dengan baik. Kekhawatiran tentang karakter negatifnya pada awal pembicaraan ini yang mungkin dapat merusak hubungannya dengan tiga penguasa dapat ditutupi dengan kontribusinya yang tergambar dalam karakter-karakter positif.
Berdasarkan pembacaan hermeneutik pada ketiga puisi ini, ditemukan pula bahwa karakteristik puisi al-Mutanabbi> mengandung unsur diplomasi yang kuat serta menggunakan bahasa kiasan, seperti kontradiksi, pars pro toto, dan hiperbola.
Karakteristik puisi seperti ini memberikan kontribusi yang penting bagi hubungan keduanya. Kemampuannya berdiplomasi dalam menghadapi masalah seringkali menjadi faktor yang mampu menyelamatkan dirinya dari kesan-kesan negatif yang mungkin dialamatkan kepadanya. Gaya bahasa kiasan yang digunakan dalam puisi ini, seperti kontradiksi dan hiperbola menjadikan puisinya memiliki nilai estetika yang tinggi. Ketika ia membandingkan tiga penguasa tersebut dengan raja-raja lainnya akan tampak perbandingan yang sangat kontradiktif, apalagi dengan dukungan gaya bahasa hiperbola yang bersifat menyangatkan objek yang sedang menjadi pembicaraannya. Karakteristik puisi seperti ini sangat dibutuhkan oleh para penguasa-penguasa Abbasiyah karena berfungsi meningkatkan citra diri mereka baik di depan rakyat, lawan politik, ataupun raja-raja lain yang menjadi seterunya. Akibatnya, para penguasa tersebut berusaha mempertahankan hubungan baik dengan al-Mutanabbi> dengan pola yang terbangun, yaitu pola pelindungan, pola simbiosis mutualisme, dan persahabatan.

3. Matriks, Model, Varian Puisi Sam’an li Amri Ami>r al-’Arab , Wa Khairu Jali>sin fiz-Zama>ni Kita>bu , dan Laqad Ka>nat Khala’iquhum ‘Ida>ka>

Matriks atau inti puisi tidak tertulis secara eksplisit di dalam teks puisi. Oleh karena itu, identifikasi matriks dicari melalui aktualisasinya pada model dan visibilitasnya di dalam varian-varian.
Model dalam puisi Sam’an li Amri Ami>r al-’Arab adalah ‘Sekalipun pekerjaan itu lebih pendek dari seharusnya’. Baris puisi ini menjadi model karena sifatnya yang puitis dan hipogramatik. Artinya, segala tindakan penolakan si aku bersumber dari baris puisi ini.
Model di atas ditransformasikan ke dalam wujud varian-varian yang menyebar ke seluruh puisi, yaitu (1) ‘Tidak ada yang menghalangi kecuali penghasut’, (2) ‘Ia adalah besi dan yang lainya adalah kayu’, (3), ‘Wahai pedang tuhan, bukan pedang makhluqnya’, dan (4) “Perkataan musuh memperdayai Dumasytuq bahwa Ali adalah berat dan kronis’, dan (5) ‘Seandainya engkau menghukum dengan benci dan cinta’.
Pencarian model dan varian-varian puisi Sam’an li Amri Ami>r al-’Arab di atas merupakan jalan untuk menentukan matriks puisi ini. Adapun matriks puisi ini adalah upaya melepaskan diri oleh seseorang (tokoh aku atau al-Mutanabbi>) dari perintah sang raja Arab (atau Saif ad-Daulah) karena rasa kecewa yang pernah dialami ketika bersamanya.
Baris puisi yang memiliki nilai puitis, bersifat hipogramatik, dan monumental pada puisi Wa Khairu Jali>sin fiz-Zama>ni Kita>bu adalah ‘Dalam jiwaku ada kebutuhan dan dalam dirimu terdapat kecerdasan’. Baris ini menjadi model karena segala kekecewaan si aku (al-Mutanabbi>) bersumber dari ‘kebutuhan’nya yang tidak dipenuhi oleh si engkau (Ka>fu>r) yang memiliki ‘kecerdasan’ untuk membaca ‘kebutuhan’ si aku.
Model di atas ditransformasikan ke dalam wujud varian-varian yang menyebar ke seluruh puisi, yaitu (1) ‘Aku pernah bercita-cita’, (2) ‘Diriku bagaikan bintang’, (3) ‘Teman yang paling baik di dunia adalah buku’, dan (4) ‘Sedang antara yang kuharap dan yang engkau berikan terdapat penghalang’.
Setelah diketahui model dan varian-variannya, matriks puisi ini dapat ditentukan, yaitu ‘perasaan seseorang (tokoh aku) yang kecewa karena harapannya tidak sesuai dengan kenyataan’. Matriks tersebut merupakan gambaran kekecewaan al-Mutanabbi> terhadap janji Ka>fu>r untuk memberikannya sebuah wilayah kekuasaan.
Baris puisi yang puitis dan monumental dalam puisi Laqad Ka>nat Khala’iquhum ‘Ida>ka> dan menjadi model adalah ‘Aku akan pergi dan telah engkau stempel hatiku dengan cintamu’. Baris puisi ini, selain puitis juga karena ia menjadi hipogram bagi keseluruhan bait-baitnya. Artinya, segala kesedihan si aku diakibatkan oleh perpisahannya dengan si engkau yang telah mencintai si aku dengan sungguh yang diibaratkan seperti ‘stempel’.
Model ‘Aku akan pergi dan telah engkau stempel hatiku dengan cintamu’ diekspansi ke dalam wujud varian-varian yang menyebar ke seluruh puisi, yaitu (1) ‘Semoga ada korban untukmu siapa yang melalaikan panggilanmu’, (2) ‘Engkau telah membebaniku dengan perasaan terima kasih yang panjang dan berat’, (3) ‘Andaikan si tidur membicarakan tentang kemurahanmu’, dan (4) ‘Engkau di antara kekasihku begitu istimewa dengan rindu tak tertanggung’.
Setelah diketahui model dan varian-variannya, diketahui pula matriks puisi ini, yaitu penderitaan seseorang akibat perpisahan yang memutuskan hubungannya dengan sang kekasih. Matriks ini merupakan gambaran hubungan mesra antara al-Mutanabbi> dengan ‘Ad}ud al-Daulah.
4. Hubungan Intertekstual Puisi al-Mutanabbi> dengan teks lain
Memahami hubungan al-Mutanabbi> dengan ketiga penguasa dalam puisi gubahan terakhir ternyata akan mendapatkan maknanya yang penuh setelah dihubungkan dengan teks-teks lain. Hubungan yang terjalin dengan Saif ad-Daulah pada puisi Sam’an li Amri Ami>r al-’Arab berhipogram kepada puisi Wafa>‘ukuma> ka ar-Rab’i. Dari unsur-unsur yang ditransformasikan dapat diketahui bahwa hubungan yang baik tetap ingin dipertahankan oleh al-Mutanabbi> walaupun mereka tidak bersama lagi. Hubungan al-Mutanabbi> dengan Ka>fu>r tidak bertahan lama setelah diketahui transformasi unsur-unsur puisi Kafa> bika da>‘an ke dalam puisi Wa Khairu Jali>sin fiz-Zama>ni Kita>bu. Sementara itu, hubungannya dengan ‘Ad}ud ad-Daulah berjalan sangat baik sehingga ia mengalami kesedihan luar biasa ketika akan berpisah. Ekspresi kesedihan tersebut ditransformasikan dari unsur-unsur yang terdapat pada puisi Asafi> ‘Ala> at-Taudi>‘.
Dengan sifat intertekstualitas teks-teks di atas diketahui bahwa teks transformasi biasanya berfungsi sebagai penegasan terhadap suatu masalah yang terdapat dalam teks hipogramnya. Dengan cara memahami intertekstualitas teks, hubungan yang terjalin antara al-Mutanabbi> dengan tiga penguasa Abbasiyah dapat dilihat secara holistik dan komprehensif.

KESIMPULAN
Pembacaan terhadap tiga puisi panegiris al-Mutanabbi> yang didedikasikan kepada tiga penguasa Abbasiyah secara semiotis menunjukkan bahwa hubungan yang terjalin antara al-Mutanabbi> dengan tiga penguasa Abbasiyah ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu karakter al-Mutanabbi> (setia, teguh pendirian, suka menolong, cerdas, sopan, dan juga arogan), karakteristik puisi (diplomasi, kontradiksi, hiperbola, pars pro toto), dan pola hubungan yang diciptakan (perlindungan, persahabatan, simbiosis-mutualsime). Walaupun karakter al-Mutanabbi> merupakan unsur penting dalam menjaga kualitas hubungan, tetapi karakteristik puisinya yang istimewa merupakan unsur yang paling signifikan dalam menciptakan hubungan baik dengan para penguasa tersebut. Karakteristik puisi al-Mutanabbi> diperlukan oleh para penguasa untuk meningkatkan citra mereka di depan rakyat dan musuhnya. Dalam interaksinya dengan ketiga penguasa tersebut, al-Mutanabbi> melakukan pola hubungan dalam bentuk perlindungan, persahabatan, dan simbiosis-mutualisme. Ketiga faktor di atas dapat menjelaskan hubungan yang terjalin antara al-Mutanabbi> dengan para pelindungnya dalam suatu waktu tertentu sekaligus menunjukkan peran, fungsi, dan keberhasilan al-Mutanabbi> sebagai penyair Arab yang besar.


DAFTAR PUSTAKA
Ashtiany, Julia. 1990. Abbasid Belles-Lettres. USA: Cambridge University Press

Azam, Abdul Wahhab. 1944. Di>wa>n Abi> at-T}ayyib al-Mutanabbi>. Cairo: Lajnah at-Ta’li>f wa at-Tarjamah wa an-Nasyr.

Cahmamah, Siti. 1994. “Keberadaan Bahasa Arab dalam Bahasa Indonesia: Tinjauan atas Sumbangannya bagi Perkembangan Bahasa Indonesia”. Makalah Seminar untuk Seminar Pekan Budaya Arab. Yogyakarta: IMABA UGM.

Al-Gadri, Hamid. 1988. Islam dan Keturunan Arab Dalam Pemberontakan Melawan Belanda. Bandung: Mizan

Hawkes, Terence. 1977. New Accents Strukturalism and Semiotics. Methuen & Co Ltd.

Al-Hasyim, Yosep. 1966. Abu> T}ayib al-Mutanabbi> Dira>sah wa Nusu>s. tt. Al-Maktab at-Tija>ry al-Tiba>’y wa at-Tauzi>’

Husen, Thoha. t.t. Ma’a al-Mutanabbi>. Kairo: Dar al-Ma’arif.

Hudson. 1965. An Introduction To The Study of Literature. London: George G. Harrap & Co. Ltd.

Pradopo, Rahmat Djoko. 1997. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Riffaterre, Michel. 1978. Semiotiks of Poetry. Bloomingtoon: Indiana University Press

Subaiti, Mustofa. 1986. Syarah Di>wa>n Abi> T}ayyib al-Mutanabbi>, Juz II, Beirut: Da>r al-Kutub al-‘ilmiyyah

Syamsul Hadi. 2003. Kata-Kata Serapan Dari Bahasa Arab yang Terdapat Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Desertasi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada

Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia

[1] Fakultas Adab Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Rabu, 05 Desember 2007

SILANG SENGKETA SASTRAWAN DINASTI UMAYYAH

Oleh: Muhammad Walidin



A. PENDAHULUAN
Bila berbicara tentang kesusastraan pada masa Umayyah, maka berbagai referensi akan membahas tiga penyair besar masa itu, yaitu al-Farazdaq, Jarir dan al-Akhtal. Ketiganya hidup semasa bahkan terlibat dalam dialog-satiris dalam puisi-puisi hija’ yang terus berlanjut hingga alAkhtal meninggal di tahun (w. 92 H/710 H), al-Farazdaq di tahun 110 H/728 M, dan disusul enam bulan kemudian oleh Jarir di tahun yang sama.
Para penyair ini, hidup pada zaman yang tepat dan pas untuk mengeksplorasi kemampuan mereka dalam membuat puisi hija. Situasi sosial politik masa Umayyah yang berbeda dengan masa sebelumnya, diduga menjadi faktor pendukung yang baik bagi perkembangan sastra, khususnya bagi kepenyairan ketiga tokoh ini. Dinasti yang berpusat di Damaskus ini, memberikan keluasan bagi para penyair untuk mengekspresikan talenta sastra dengan munculnya partai-partai politik, mazhab dan sekte, masalah identitas kebangsaan. Namun di balik permasalahan makro tersebut, ketiga penyair memiliki permasalahan mikro, yaitu permasalahan pribadi yang melibatkan ketiganya dalam verbal contest yang tiada berakhir.
Tulisan ini akan menyorot silang sengketa atau baku caci antara ketiga penyair besar; Jarir dengan al-Farazdaq dan al-Akhtal. Namun, memahami ketokohan ketiganya selayaknya harus diiringi dengan pemahaman latar belakang sosilogis dan politis di mana mereka pernah hidup dan berkarya. Hal ini menjadi penting mengingat seorang tokoh tumbuh dalam sebuah sebuah lingkungan untuk menjawab tantangan yang terjadi dalam masyarakatnya.
B. KONDISI UMUM PEMERINTAHAN DINASTI UMAYYAH
Masa pemerintahan dinasti umayyah, di mana ketiga penyair ini hidup, dimulai dari tampilnya Mu’awiyah bin Abi Sufyan memimpin pemerintahan yang bersifat monarkhi tahun 41 H/661 M yang berpusat di Damaskus hingga pemerintahan Marwan bin Muhammad tahun 132 H/750 M.[1]
Tidak jauh berbeda dengan masa awal Islam, kehidupan masyarakat pada masa ini tetap dipengaruhi oleh ruh agama yang bersumber dari al-Qur’an, baik dari aspek kehidupan intelektualitas maupun aspek politik. Di samping itu, terdapat pula aspek-aspek yang berpengaruh secara luas baik bagi kepentingan Islam secara umum maupun bagi perkembangan sastra secara khusus. Aspek-aspek tersebut disebabkan oleh semakin luasnya wilayah kekuasaan, penyebaran orang Arab ke berbagai daerah taklukan dan proses terjadinya penyerapan kebudayaan baru, pertumbuhan partai-partai politik, munculnya fanatisme golongan.
Secara detil, kita akan mengetahui bahwa faktor-faktor di atas berpengaruh kuat terhadap perkembangan bahasa dan sastra.
1. Sistem Pemerintahan
Berbeda dengan sistem pemerintahan Islam di masa Khulafa’ rasyidin yang berasaskan ‘musyawarah’ untuk segala macam problem ummat termasuk di antaranya masalah suksesi, sistem pemerintahan yang diletakkan oleh Mu’awiyah berasaskan monarki absolut. Suksesi atas dasar musyawarah diganti dengan ‘putra mahkota’ yang akan melanjutkan kekuasaan berikutnya. Sistem ini diyakini lebih aman daripada sistem musyawarah karena akan menghindarkan perbedaan pendapat dan meminimalisir kecenderungan perpecahan. Akan tetapi, fakta menunjukkan bukti sebaliknya. Sistem ini justru membangkitkan kemarahan pihak-pihak lain seperti puak Qurais dll. Hingga munculah fanatisme golongan yang didukung oleh para penyair maupun orator. Implikasinya, muncul puisi-puisi pujian yang mendukung seseorang dan muncul pula puisi-puisi politik.
2. Munculnya primordialisme
Pada masa ini muncul fanatisme golongan yang memuji kelebihan golongan tertentu, seperti golongan Adnaniyah dan Qahtaniyah. Yang pertama, adalah penyokong dinasti Umayyah. Kedua kelompok ini terlibat dalam pertikaian sepanjang masa pemerintahan dinasti ini. Fanatisme golongan ini menghidupkan kembali tradisi jahiliyah yang sangat gandrung dengan persatuan kelompok dengan puisi-puisi ‘fakhr’nya, yang dilantunkan di pasar- pasar sastra, sehingga mereka membuat suq al-marbad di Basra dan suq al-Kinasah di Kufah.
Bersamaan dangan fanatisme golongan, muncul pula fanatisme kebangsaan (arab oriented). Daerah-daerah taklukan yang berbahasa non-Arab, seperti Irak dengan bahasanya Persia, Damaskus dengan bahasa Romawi, dan Mesir dengan bahasa Qibti dipaksa untuk memakai bahasa Arab dalam berbagai keperluan administrasi kenegaraan. Belum merasa cukup dengan usaha ini, orang-orang Umawiyah mengirim putra-putranya untuk dididik di pedalaman Badui untuk mendapatkan cita rasa bahasa Arab yang murni. Mereka memotivasi perkembangan sastra dengan menghormati para penyair. Tentu saja hal ini berpengaruh besar bagi perkembangan bahasa puisi khususnya.
3. Hedonisme
Setelah kuatnya konstruksi negara secara internal, dinasti Umayyah melakukan ekspansi ke wilayah-wilayah sekitar untuk menyebarkan Islam. Seiring dengan kemakmuran yang tercipta akibat hasil harta rampasan dan pajak, banyak orang terutama pejabat, yang menduplikasi peradaban negara taklukan dan masuk ke dalam budaya baru, yaitu hedonisme. Istana-istana diisi oleh para penyanyi, seperti Quraid, Jamilah, dan Salamah. Para pejabat tidak segan memberikan hadiah yang diambil dari Bait al-Mal untuk keperluan membayar pujian yang didedikasikan pada mereka.
4. Partai Politik dan Sekte Agama
Munculnya partai-partai politik pada masa ini dipicu oleh peristiwa arbitrase yang dilakukan dalam perang Siffin dan berlanjut dengan peristiwa-peristiwa lain. Zainal Abidin[2] mencatat empat partai yang eksis pada masa ini. 1) Partai Umawy, 2) Partai Aly, 3) Partai Khowarij, dan 4) Partai Zubair (mereka adalah pengikut Abdullah bin Zubair yang keluar dari pemerintahan umawiyyah pada masa Yazid bin Mu’awiyah dan mendirikan khilafah sendiri, akan tetapi partai ini paling pendek umurnya, dengan terbunuhnya Abdullah pada masa Abdul Malik bin Marwan. Sementara di bidang agama juga terjadi perpecahan yang dikenal dengan aliran ilmu kalam, yaitu Qodariyah, Jabbariyah, Mu’tazilah dsb. Baik partai politik maupun aliran keagamaan yang tumbuh pada masa ini memiliki para penyair dan orator yang membela keyakinan mereka dan membalas serangan para pesaingnya.
Tidak pelak lagi, Damaskus sebagai pusat pemerintahan dan para pejabat menjadi basis bagi pertumbuhan sastra yang berorientasi politis. Hubungan khalifah dan pejabat dengan para penyair bersifat simbiosis mutulaisme. Khalifah berusaha mendekatkan para penyair dengannya untuk meminta bantuan mereka menyerang dan bertahan dari serangan musuh. Sementara para penyair mendapatkan kehormatan dengan menemani khalifah dalam setiap majelis dan memperoleh kesenangan. Damaskus, telah menjadi tempat favorite bagi para penyair pujian.
Sementara di Irak, kecenderungan puisi politik, fanatisme kesukuan dan mazhab lebih mendominasi. Hal ini disebabkan oleh banyak peperangan dan fitnah. Lalu muncul puisi-puisi satiris dan politis yang dibawakan oleh para penyair di al marbad Basrah dan al Kinasah Kufah dan di masjid-masjid di kedua kota itu sebagaimana mereka berkumpul di pasar Ukkaz pada masa Jahiliyah.
Sementara di kawasan Hijaz, berkembang juga puisi politik dan fanatisme golongan sebagaimana di Syam dan Irak, hanya saja juga masih terdapat puisi dengan jenis al-ghazal atau percintaan. Berkembangnya puisi politik di kawasan ini disebabkan ketakutan Mu’awiyah dan khalifah sesudahnya terhadap daya destruktif dan ancaman orang-orang Quraisy terhadap pemerintahannya. Taktik politik Mu’awiyah adalah menyibukkan mereka dengan pemberian harta, meracuni dengan kultur foya-foya agar mereka lupa dan tidak berfikir untuk melakukan kudeta. Lalu, lagu, santai, foya-foya, dan mengagumi keindahan menjadi alat politik yang jitu untuk menidurkan suku Quraisy dari keterjagaan politik.
Di sisi yang lain, penduduk Hijaz melihat ini sebagai peluang untuk lebih menikmati hidup. Setelah Gerakan Dakwah Islam melemah di kawasan ini dan diikuti dengan lemahnnya pengawasan pemerintah karena pusat pemeritahan berpindah ke Damaskus, banyak pemuda Makkah dan Madinah yang cenderung berfoya-foya sehingga meluaslah jenis puisi ghazal ini.[3]
C. KONDISI KESUSASTRAAN MASA UMAYYAH
Para khalifah Umayyah berasal dari keturunan Arab yang murni. Mereka memahami sastra, meresapi puisi bahkan menghiasi retorikanya dengan gaya bahasa yang indah. Dapat disebutkan di sini, para khalifah yang memiliki perhatian kuat terhadap pertumbuhan sastra antara lain, Mu’awiyah, Abdul Malik bin Marwan, Hisyam bin Abdul Malik, bahkan di antaranya adalah adalah seorang penyair, seperti Walid bin Abdul Malik.[4] Perhatian para khalifah ini, memiliki dampak yang sangat bagus dalam aktivitas kesastraan. Para khalifah dinasti Umayyah menganggap bahwa pujian seorang penyair yang didedikasikan kepadanya merupakan bukti keberpihakan penyair itu dan kabilahnya kepada sang khalifah. Bagaimanapun, penyair pada masa itu, tak ubahnya seperti koran, televisi, radio pada saat ini, yang memiliki kekuatan politis dan mampu membentuk public opinion yang sangat kuat.
Setiap penyair tidak terlepas dari fungsi politis ini. Mereka mendukung partai, baik secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Ada juga yang harus berlaku munafiq dengan mengatakan sesuatu yang tidak diyakini, menentang perasaan sendiri demi penguasa dan keselamatan, atau demi mengharapkan pemberian hadiah dari para khalifah dan pejabat. Puisi telah menjadi potret atau cermin carut-marut, riuh-rendah silang pendapat yang terjadi antarpartai dan kelompok. Perbedaan pendapat yang tajam antara penyair dinasti Umayyah dan penyair Bani Hasyim. Di samping kedua kelompok penyair yang bertikai di atas, masih terdapat lagi para penyair yang menyokong aliran pemikiran dan mazhab yang berbeda.
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa terdapat beberapa faktor yang berpengaruh kuat terhadap perkembangan bahasa dan sastra. Di antaranya adalah:
1). Munculnya aliran-aliran politik dan sekte-sekte agama yang berimplikasi pada rekruitmen penyair sebagai pembela keyakinan bagi masing-masing kelompok. Di sini, adu retorika dalam bahasa satiris berubah menjadi pertikaian atau verval contest yang ramai.
2). Banyak peperangan dan fitnah yang terjadi di sentaro negeri. Peristiwa-peristiwa ini diabadikan dalam puisi secara detil, bahkan terkadang para penyair juga terlibat dalam pertikaian tersebut.
3). Perhatian para khalifah terhadap puisi begitu besar, bahkan beberapa khalifah adalah juga penyair yang selalu memotivasi perkembangan puisi, mengkritik dan menjadi penikmat puisi yang loyal.
4) Menghidupkan kembali fanatisme kesukuan. Masing-masing suku mengunggulkan diri sendiri dengan puisi ‘fakhr’ dan menjatuhkan yang lainnya dengan puisi satire. Maka terjadilah pertikaian antara bani Adnan dan orang-orang Yaman, antara bani Rabi’ah dan bani Mudar, bani Qais dan bani Tamim. Pertikaian itu dilokalisir dalam pasar al-marbad di Basrah dan pasar al-kinasah di Kufah.
5) Adanya politik azaz manfaat antara khalifah dan para penyair. Di satu pihak para khalifah memanfaatkan penyair untuk dijadikan aparat hegemoni, di pihak lain para penyair mendapatkan fasilitas kemewahan yang berlimpah dan kedudukan yang mulia selama mereka mampu diajak berkompromi untuk berkompetisi dengan verbal contest dalam puisi pujian dan satire. Dengan alasan ini, banyak orang yang menjadikan penyair sebagai profesi yang menjanjikan karena puisi mereka bisa ditukar dengan uang untuk kebutuhan hidup. Di samping itu, terdapat faktor lain yang menjadikan perkembangan sastra pada masa ini lebih baik, yaitu ;
6). Munculnya majelis-majelis kritik sastra. Pada masa ini, terdapat para ahli bahasa dan sastra yang biasa menimbang puisi dan menganalisisnya. Akibatnya, para kritikus ini menempatkan satu penyair di atas yang lain yang berimplikasi dengan usaha para penyair untuk memperbaiki puisinya agar tidak menjadi bahan pelecehan bagi para kritikus.[5]

D. PERKEMBANGAN JENIS PUISI MASA UMAYYAH

Di samping memiliki persamaan dengan jenis puisi masa Jahiliyah dan pra-Islam, jenis puisi masa Umayyah berkembang orientasi/tujuannya sebagai tindakan reaktif atas problematika zamannya. Sebagaimana dijelaskan di atas, situasi politik masa Umayyah mengalami perkembangan yang berbeda dengan masa sebelumnya. Munculnya aliran-aliran politik, mazhab-mazhab agama, fanatisme kesukuan dan kebangsaan telah melahirkan jenis-jenis puisi baru, yaitu 1) Puisi politik, 2) Puisi pertikaian individual, dan 3) Puisi cinta vulgar dan lembut.[6]
Yang dimaksud dengan puisi politik adalah seni verbal contest yang mendukung suatu partai politik tertentu dalam menghadapi partai lawannya. Para penyair menjadi penyambung aspirasi resmi bagi setiap kelompok dengan makna-makna yang mengandung argumentasi agama dan kepentingan kelompok yang disampaikan dengan gaya bahasa yang tegas, kuat dan tajam. Salah satu contohnya adalah puisi Ka’ab bin Ju’ail dari kelompok Mu’awiyah berhadapan dengan Najasyi, penyair dari kelompok Ali.
Sementara puisi pertikaian individual adalah puisi satire di mana satu satu individu membanggakan diri dan kaumnya sambil mencela dan mengejek individu lainya. Sebagai reaksi, individu yang dicela membalas dengan membela diri dan membanggakan kaumnya disertai dengan celaan bagi penyair lawannya. Adapun penyair yang terkenal dalam hal ini adalah al-Akhtal, al-Farazdaq, dan Jarir, yang akan kita bahas nanti.
Sedangkan puisi cinta dengan bentuknya yang vulgar diciptakan oleh penyairnya secara eksplisit. Ia melukiskan kisah cinta yang manis, pertemuan, dan kebersamaan dengan kata-kata yang jelas dan tidak menyembunyikan fakta cerita dalam ketaklangsungan ekspresi puisi. Di antara penyair dari jenis adalah Umar bin Abi Rabi’ah. Sebaliknya, terdapat puisi cinta yang diekspresikan oleh penyairnya dengan cara yang sangat lembut. Penyair tipe ini hanya disibukkan oleh satu objek saja, yaitu kekasihnya. Dalam hidupnya, ia tidak mengetahui apapun selain kekasih satu-satunya yang kemudian dituangkan dalam puisi-puisinya. Ia tidak peduli dengan tantangan, kesengsaraan yang menghadangnya dalam proses percintaan tersebut. Penyair yang terkenal dengan jenis ini adalah Jamil Busainah, Qais Lubna, dan Qais ‘Amir (al-Mulawih) yang terkenal dengan Laila Majnun.
E. PUISI-PUISI PERTIKAIAN ANTARA JARIR DENGAN AL-AKHTAL DAN AL-FARAZDAQ.

Sebelum mengkaji puisi-puisi yang menggambarkan silang sengketa antara ketiga penyair besar Umayyah, terlebih dahulu akan diterangkan biografi singkat dan latar belakang kepenyairan al-Akhtal, al-Farazdaq dan Jarir.
Ketiga penyair ini hidup dalam masa yang sama. Mereka berinteraksi satu sama lain terutama dalam masalah yang berkaitan dengan puisi. Dari tahun kelahiran, dapat diketahui kepastian tentang kegiatan interaktif ketiganya. Al-Farazdaq merupakan penyair yang paling tua, ia lahir pada tahun 19 H. Pada urutan kedua terdapat al-Akhtal yang lahir tahun 20 H, dan yang paling muda adalah Jarir yang lahir pada tahun 30 H. Namun, dari tahun kematian, al-Akhtal menempati urutan pertama, yaitu pada tahun 92 H, disusul al-Farazdaq tahun 110 H di Basra, dan pada tahun yang sama lebih enam bulan, Jarir juga menutup usia hidupnya di Yamamah.
Al-Farazdaq, yang bernama lengkap Abu Firas bin Gholib lahir di Yamamah (Arab Timur)[7], suatu tempat dekat Basrah pada masa akhir pemerintahan Umar bin Khatab. Ia berasal dari sub-suku Mudjasyi dari klan bani Tamim, dibesarkan dari keluarga terdidik dan mulia yang nantinya banyak tergambar dalam puisi-puisinya. Al-Farazdaq memiliki talenta berpuisi sejak usia masih kecil. Puisinya dinilai kaya dengan ungkapan-ungkapan indah, diksi terpilih dan uniq, dan memiliki kedalaman makna serta cenderung mengikuti gaya puisi Jahiliyah yang murni. Para ahli sastra dan bahasa memuji al-Farazdaq dengan sebuah kalimat: “Kalau bukan karena puisi al-Farazdaq, maka akan hilanglah 1/3 bahasa Arab”.[8]
Al-Akhtal bernama lengkap Abu Malik Ghiyas bin Ghaus al-Taghliby al-Nasrany (beragama Kristen). Ia dilahirkan di sebuah tempat bernama Hirah (Sergiopolis) sebuah tempat di utara Siria. Ia tumbuh di bawah asuhan ibu tiri yang justru tidak mendidiknya dengan baik sehingga ia sudah kenal dengan khamar sejak kecil. Bakat kepenyairannya sudah tampak sejak kecil dan ketika sudah besar, ia disebut-sebut sebagai penyair yang selalu menang dalam perang tanding puisi ejekan (hija’ atau satire). Puisinya mengalir tanpa beban sehingga mudah dipahami. Ia sering meminta kritik untuk puisi-puisinya sehingga menjadi lebih halus dan bebas dari kecacatan. Dalam puisi al-Al-Akhtal ditemukan orientasi pujian dan khamriyat serta puisi politik.[9]
Sementara Jarir, bernama lengkap Jarir bin Atiyyah bin Khathfy. Ia dilahirkan di Yamamah di tengah-tengah lingkungan para penyair pada masa pemerintahan Usman bin Affan. Ia berasal dari keluarga miskin dalam lingkungan masyarakat Badui. Bakat kepenyairannya telah tampak sejak kecil ketika ia mengalahkan penyair kaumnya yang menghina keluarganya. Puisinya mengalir ringan dengan diksi yang tersusun apik namun tetap easy listening. Hal inilah yang membedakan puisinya dari puisi al-Farazdaq yang dinilai berat karena bersandar pada diksi-diksi berat dan makna yang dalam. Puisi al-Farazdaq hanya bisa dinikmati oleh ahli sastra dan bahasa sementara puisi Jarir dapat diresapi oleh masyarakat awam pada umumnya.[10]
Afiliasi politik ketiganya memberikan corak pada puisi yang diciptakan. Al-Farazdaq, pada awalnya merupakan penganut Syiah. Karena alasan teologis-politis ini, ia sempat melarikan diri ke Madinah karena dikejar oleh Ziyad, Gubernur Basrah dan baru kembali ke Irak setalah kematian Ziyad. Namun demikian, ia telah terbiasa memuji pejabat Umayyah di Basrah dan Kufah dan terkadang juga mencela mereka. Terkadang ia pergi ke Damaskus untuk memuji pejabat teras Umayyah. Al-Farazdaq baru diterima secara terbuka di kalangan Umayyah saat di bawah pemerintahan Abdul Malik bin Marwan (65/685) dan kedua putranya; Sulaiman dan Hisyam (105/724).[11]
Sementara al-Akhtal merupakan lidah tajam khalifah Umayyah, terutama pada masa Yazid I memerintah (60/680). Sejak saat itu ia menjadi penyair istana sampai pada masa khalifah-khalifah berikutnya (Mu’awiyah II (64/683) dan Marwan I (101/717)). Sedangkan Jarir, pada awalnya adalah pengikut partai Zubairiyah. Akan tetapi, setelah bani Umayyah mengalahkan Abdullah bin Zubair ia beralih ke daulah Umayyah. Selanjutnya ia memuji Abdul Malik bin Marwan, Walid I, Sulaiman, dan Umar II.
Dengan demikian, bila dilihat dari urutan kekhalifahan Umayyah[12], diketahui bahwa al-Akhtal terlebih dahulu terlibat dalam lingkungan dinasti Umayyah, disusul oleh al-Farazdaq dan Jarir. Pada akhirnya, secara politis mereka diikat oleh keharusan untuk menegakkan puisi-puisinya demi untuk mendukung kebesaran dinasti Umayyah.
Bila secara politis mereka disatukan oleh ikatan kenegaraan, tidak sama halnya dengan kehidupan keperibadian mereka. Ketiganya terlibat dalam pertikaian individual yang tak kunjung reda. Adapun sebabnya adalah sebagai berikut: Ketika kecil, Jarir pernah memenangkan verbal contest dengan seorang penyair bernama Ghassan yang menghina keluarganya. Ternyata, pertarungan tersebut berlangsung lama sehingga seorang penyair bernama al-Baist dari suku al-Farazdaq datang membantu. Jarir menyerang al-Baits dengan puisi satiris yang tajam. Al-Farazdaq membantu al-Baist menyerang Jarir dengan mengusik asal-usul Jarir pada masa Jahiliyah dan Islam dan menggoyang kemulian nenek moyangnya.[13] Keduanya terlibat dalam pertikaian hebat dengan media puisi. Melihat pertikaian yang sengit itu, al-Akhtal menilai bahwa al-Farazdaq lebih unggul dari pada Jarir. Akibatnya, al-Akhtal segera menjadi sasaran empuk puisi-puisi satire Jarir.[14] Pertikaian ini tak pernah kunjung padam hingga akhirnya al-Al-Akhtal wafat tahun 92 H, disusul al-Farazdaq tahun 110 H, dan pada tahun yang sama lebih enam bulan, Jarir juga menutup usia hidupnya. Berikut akan ditampilkan pertikaian ketiga penyair tersebut dalam bentuk verbal contest.

1. JARIR DALAM PUISI SATIRE AL-FARAZDAQ
Bait berikut ini menggambarkan pertikaian antara al-Farazdaq dengan Jarir. Bait ini didahului dengan prolog al-Farazdaq membanggakan kaumnya kemudian baru menyerang Jarir dan sukunya.
إن الذي سمك السماء بنى لنا # بيتا دعائمه أعز وأطول
بيتا بناه لنا الملك وما بنى # حكم السماء فإنه لا ينقل
بيتا زرارة محتب بفنائه # ومجاشع, وأبوا لفوارس نهشل
لايحتبي بفناء بيتك مثلهم # أبدا إذا عد الفعال الأفضل
ضربت عليك العنكبوت بنسجها # وقضى عليك به الكتاب المنزل [15]

Sungguh, yang telah meninggikan langit membangun sebuah rumah untuk kami yang tiangnya lebih kuat dan lebih panjang,
Sebuah rumah yang dibangun oleh raja untuk kami, dan Ia tidaklah membangun hukum langit, sungguh Ia tak bisa digemingkan
Sebuah rumah untuk Zararah sembari duduk dengan senangnya, dan untuk Majasyi’ dan Nahsyal
Selamanya, ia tidak dapat duduk dengan senang di rumahmu seperti di rumah mereka, kecuali bila yang baik-baik dihidangkan
Dibangunkan untukmu rumah laba-laba seperti tercantum di al-Kitab yang diturunkan


Dalam bait yang lain, al-Farazdaq juga menyerang Jarir dengan tajam. Lihat potongan puisi berikut ini:

فإنك إذا تسعى لتدرك دارما # لأنت المعني يا جرير المكلف
تطلب من عند النجوم وفوقها # بربق وعير ظهره متفرق
أتى لجرير رهط سوء أذلة # وعرض لئيم للمخازي موقف [16]

Maka sesungguhnya bila engkau berusaha untuk tahu sampai ke akar-akarnya, niscaya engkau terbalik wahai Jarir yang penuh beban,
Engkau meminta pada bintang dan yang di atasnya dengan tali dan garis sementara punggungnya tercerai
Jarir memiliki sifat keserakahan dan kehinaan, harga diri yang nista sangat cocok bagi orang yang mencari kehinaan.

Bait berikut ini menggambarkan kehinaan suku Jarir. Bila dirasakan, puisi hija’ ini dapat membuat biru telinga bani Kulaib. Belum lagi rasa malu yang akan ditanggung oleh suku ini bila puisi al-Farazdaq didengar oleh suku lain.

ولو ترمى بلؤم بني كليب # نجوم الليل وما وضحت لسار
ولو يرمى بلؤمهم نهار # لدنس لؤمهم وضح النهار
وما يغدو عزيز بني كليب # ليطلب حاجة إلا بجار [17]

Walaupun gemintang malam dilempar dengan kehinaan Bani Kulaib, tidaklah bintang itu menjadi terang sementara kehinaan mereka tetap berlalu.
Walaupun siang dilempar dengan kehinaan mereka, maka ternodalah kehinaan mereka sementara siang semakin terang,
Dan tidaklah tetua Bani Kulaib bepergian kecuali untuk meminta kebutuhannya pada tetangga.


2. AL-FARAZDAQ DALAM PUISI SATIRE JARIR
Jarir membalas ejekan al-Farazdaq dalam puisi berqafiyah ‘lamiyah’ di atas dengan puisi berqafiyah sama. Secara semiotik, dengan qofiyah ini, ia ingin menyamakan posisi dengan puisi al-Farazdaq. Sementara dengan maknanya, ia ingin membalik kenyataan yang dituduhkan kepadanya bahkan dengan cara menyikat langsung dua penyair lainya, yaitu al-Akhtal dan al-Baist. . Lihat bait berikut ini:
أعددت للشعراء سما ناقعا # فسقيت آخرهم بكأس الأول
لما وضعت على الفرزدق ميسمى # وضغا البعيث جدعت أنف الأخطل
أخزى الذي سمك السماء مجاشعا # وبنى بنائك في الحضيض الأسفل
ولقد بنيت أخس بيت يبتنى # فهدمت بيتكم بمثلي يذبل




إني انصببت من السماء عليكم # حتى اختطتفتك يا فرزدق من عل
أحلامنا تزن الجبال رزانة # ويفوق جاهلنا فعال الجهل
كان الفرزدق إذ يعوذ بخاله # مثل الذليل يعوذ تحت القرمل
إن الذي سمك السماء بنى لنا # عزا علاك فما له من منقل[18]

Saya telah menyiapkan pembunuh untuk para penyair, maka saya tuangkan yang paling buncit di antara mereka dengan kendi pertama
Ketika saya letakkan setrikaan di atas al-Farazdaq, menjeritlah al-Baits, dan saya potong hidung al-Akhtal,
Yang mengangkat langit menghinakan Majasy’, dan Ia membangun rumahmu di lembah yang paling bawah,
Engkau telah bangun rumah paling jelek dari yang pernah dibangun, maka saya hancurkan rumahmu seperti gunung yazbul
Sungguh, akan saya curahkan air dari langit untuk kalian hingga kulenyapkan engkau al-Farazdaq dari atas dengan sekejap
Mimpi-mimpi kami teguh bagaikan gunung dan kebodohan kami mengawang laksana kebaikan orang-orang bodoh
Adalah Al-Farazdaq, jika minta perlindungan pada pamannya, seperti orang hina yang berteduh di bawah pohon qormal
Sungguh, yang telah meninggikan langit telah membangun kemulian bagi kami di atas kemulian kalian dan tidaklah keputusannya bisa bergeming.

Di lain kesempatan, ia menyerang al-Farazdaq dengan cara membalikkan fakta. Menurutnya, al-Farazdaq telah berusaha mati-matian menghancurkan Mirba’ untuk membunuh karakter Jarir. Akan tetapi, ia dibuat kecele karena justru Mirba’nya tetap jaya sepanjang masa. Kemudian ia membuka aib al-Farazdaq sebagai pecundang yang berbuat mesum dengan mendatangi kekasihnya secara tidak hormat. Hal ini tentu menjadi aib besar bagi orang Arab yang mendewakan keberanian dan kejantanan

زعم الفرزدق أن سيقتل مربعا # أبشر بطول سلامة يا مربع
Al-Farazdaq mengklaim bahwa ia bisa menghancurkan riwayat Jarir (dikenal dengan mirba’), alangkah bahagianya dengan kejayaan mirba’ itu.

Dan
يوصل حبليه اذا جن ليله # ليرقى الى جارته بالسلالم
هو الرجس يا أهل المدينة فا # حذروامداخل رجس بالخبيثات عالم[19]

Dia mengikat dua talinya bila malam mulai kelam, lalu ia naik tangga menuju kekasihnya,
Dia adalah nista wahai penduduk kota maka berhati-hatilah karena ia tahu tempat-tempat masuknya kenistaan dengan kotoran/najis.


3. JARIR DALAM PUISI SATIRE AL-AKHTAL
Kebiasaan seorang penyair dalam mengejek penyair lainnya dengan menghubungkan penyair dengan sukunya akan menambah pedas puisi yang dilontarkan. Al-Akhtal juga menggunakan teknik ini untuk menghija’ Jarir. Sukunya dari bani Kulaib bahkan moyangnya Yarbu’ tidak luput dari incaran puisi hija’nya.
أما كليب بن يربوع فليس لهم # عند التفارط إيراد ولا صدر
مخلفون ويقضي الناس أمرهم # وهم بغيب وفي عمياء ما شعروا[20]

Sedangkan Kulaib dari Yarbu’, tidaklah mereka memiliki keunggulan
Mereka ditinggalkan dan orang lainlah yang melaksanakan urusannya, sementara mereka tidak ada dan dalam keadaan buta, sayang sekali mereka tidak merasa.


4. AL-AKHTAL DALAM PUISI SATIRE JARIR

Mendengar ejekan terhadap moyangnya dalam puisi hija’ al-Akhtal, Jarir tidak bisa menahan emosinya untuk membalas ejekan al-Akhtal. Segera saja suku Taghlib menjadi sasaran puisi hija’ Jarir dengan menyebut mereka sebagai sebuah suku yang tidak jantan, keturunan budak, dan penganut agama yang akan menerima azab.

فلو أن تغلب جمعت أحلامها # يوم التفاضل لم تزن مثقالا
تلقاهم حلماء عن أعدائهم # وعلى الصديق تراهم جهالا
لا تطلبن خؤولة في تغلب # فالزنج أكرم منهم أخوالا [21]

Walaupun suku Taghlib mengumpulkan mimpi-mimpinya di hari perlombaan, niscaya tidak akan bisa ditimbang berat,
Kamu akan mendapatkan mereka begitu lembut terhadap musuh-musuhnya, dan pada orang yang jujur mereka tampak sangat bodoh,
Janganlah kalian meminta kekerabatan pada suku Taghlib, karena orang hitam berbangsa Sudan lebih mulia daripada mereka

وكنت إذا لقيت عبيد تيم # وتيما قلت: أيهم العبيد؟
لئيم العالمين يسود تيما # وسيدهم وإن كرهوا مسود[22]

Bila anda bertemu budak belian dan sahayanya, anda akan bertanya; manakah yang budak belian,
Orang yang memimpin para budak adalah yang paling hina di alam semesta, bagaimanapun, tuannya, walaupun mereka membenci menyebutnya, mereka juga adalah budak (yang diperintah).

إن الذي حرم الخلافة تغلبا # جعل النبوة والخلافة فينا
مضر أبي وأبو الملوك فهل لكم # يا خزر تغلب من أب كأبينا
هذا ابن عمي في دمشق خليفة # لو شئت ساقكم إلى قطينا
ولقد جزعت إلى النصارى بعدما # لقي الصليب من العذاب مهينا
هل تشهدون من المشاعر مشعرا # أو تسمعون من الآذان أذينا [23]

Sesungguhnya bani Taghlib mengharamkan khilafah (bagi mereka), justru menjadikan kenabian dan kekhilafahan pada kami
Mudhar adalah ayahku dan ayah raja-raja, apakah kalian mempunyai ayah seperti kami wahai Taghlib yang bermata sipit
Khalifah di Damskus adalah anak pamanku, bila anda mau, ia bisa menggiringmu untuk pembantuku,
Bagaimanapun anda sedih dengan agama Kristen, Salib akan menemui azab dengan mudahnya
Apakah kalian menyaksikan satu tempat suci saja di antara sekian banyak tempat suci lainnya, atau hanya mendengarkan satu panggilan saja dari begitu banyak panggilan?




F. PENUTUP

Masa Abbasiyah yang mempunyai format baru dalam pemerintahannya, telah memungkinkan para penyair masa ini untuk mengembangkan potensi kepenyairan mereka dengan cara yang lebih bebas. Hal ini didukung oleh munculnya partai politik, sekte, fanatisme kebangsaan, dll yang menyediakan lapangan pekerjaan bagi para penyair untuk menjadi juru bicara setiap kelompok. Mereka bertindak sebagai penyerang (ofensif) atau penjaga gawang (defensif) bagi kelompoknya. Tidak heran bila jenis puisi politik (baik hija’ maupun madh) menjadi trend pada masa ini.
Sebagai penyair yang tumbuh dalam lingkungan kondusif untuk mengembangkan potensi penyair hija’, Jarir, al-Farazadaq, dan al-Akhtal menemukan genre baru dalam puisi hija’, yaitu puisi polemik/pertikaian individual. Genre ini menjadi unik karena pertikaian tersebut menjadi kental dan ekstrim sehingga tidak ada yang mengalah hingga kematian tiba. Adapun materi puisi hija’ adalah meninggikan individu yang bersyair dan merendahkan lawannya bahkan juga sukunya. Puisi sebagai alat hegemoni suatu kekuatan harus ditangkis dengan alat yang sama. Nyatalah bahwa puisi memerankan kekuatan efektif untuk membela dan menyerang individu atau kelompok lainnya, setidaknya sebagaimana tergambar dari pertikaian ketiga penyair masa Umayyah ini.





DAFTAR PUSTAKA

Abdul Qadir, Zainal Abidin Haji, Muzakkirah fi Tarikh al-Adab al-Araby, (Kualalumpur: Dewan Pustaka dan Bahasa, 1987).

Blachere, R., Encyclopedy of Islam, (Leiden: Koninklijke Brill).

al-Hasyimi, Ahmad, Jawahir al-Adab fi Adabiyyat wa Insya Lughat al-Arab, juz II, (Cairo: Dar al-Fikr, tt).

Iskandar, al-Wasith fi’l Adab al-Araby wa Tarikhih (Cairo: Dar al-Ma’arif, 1912).

al-Mursyid, Muhammad Ahmad, al-Adab wa al-Nusus wa al-Balaghah (Cairo: Dar al-Ma’arif, tt).

Muhammad, Abul Abbas, Al-Kamil fi’l Lughah wa al-Adab, (Bairut: Mu’assasah al-Ma’arif, tt.).

Siti Maryam (ed.), Sejarah Peradaban Islam (Yogyakarta: Lesfi, 2002).


























[1] Siti Maryam, Sejarah Peradaban Islam (Yogyakarta: Lesfi, 2002), hlm. 79.
[2] Zainal Abidin Haji Abdul Qadir, Muzakkirah fi Rarikh al-Adab al-Araby, (Kualalumpur: Dewan Pustaka dan Bahasa, 1987), hlm. 89-91.
[3] Ibid, hlm. 92.
[4] Ibid, hlm. 94.
[5] Ibid, hlm. 95.
[6] Ibid, hlm. 95-97.
[7] R. Blachere, Encyclopedy of Islam, (Leiden: Koninklijke Brill), hlm. 1.
[8] Ahmad al-Hasyimi, Jawahir al-Adab fi Adabiyyat wa Insya Lughat al-Arab, juz II, (Cairo: Dar al-Fikr, tt), hlm. 147.
[9] Idem, hlm. 147.
[10] Idem, hlm. 150.
[11] Zainal Abidin, Muzakkirah fiTarikh…hlm. 102.
[12] Daulah Umayyah, yang ibu kotanya pemerintahannya di Damaskus, berlangsung selama 91 tahun dan diperintah oleh 14 orang khalifah. Mereka itu adalah: Mu’awiyah (41H/661 M), Yazid I (60/680), Mu’awiyah II (64/683), Marwan I (64/683), Abdul Malik (65/685), Walid I (86/695), Umar II (99/715), Yazid II (101/717), Hisyam (105/724), Walid II (125/743), Yazid III (126/744), Ibrahim (126/744), dan Marwan II (127-132/744-750). Lihat: Siti Maryam, Sejarah Peradaban Islam (Yogyakarta: Lesfi, 2002), hlm. 81.
[13] Zinal Abidin, Muzakkirah fi Tarikh …hlm. 103.
[14] Idem, 107.
[15] Muhammad Ahmad al-Mursyid, al-Adab wa al-Nusus wa al-Balaghah (Cairo: Dar al-Ma’arif, tt), hlm. 209.
[16] Zainal Abidin, Muzakkirah fi Tarikh …hlm. 104.
[17] Iskandar, al-Wasith fi’l Adab al-Araby wa Tarikhih (Cairo: Dar al-Ma’arif, 1912), hlm. 174.
[18] Muhammad Ahmad … hlm. 215.
[19] Idem, hlm. 108.
[20] Idem, hlm. 106.
[21] Iskandar, al-Wasith… hlm. 178.
[22] Idem, hlm. 171.
[23] Abul Abbas Muhammad, Al-Kamil fi’l Lughah wa al-Adab, (Bairut: Mu’assasah al-Ma’arif, tt.), hlm. 120.