Rabu, 05 Desember 2007

ALUR PERKEMBANGAN KESUSASTRAAN ARAB

Oleh: Muhammad Walidin, M. Hum.[1]

PENDAHULUAN
Sastra Arab merupakan sastra kawasan Asia Barat yang telah berumur ribuan tahun, berdampingan secara komplementer dengan sastra kawasan lain, dan secara meyakinkan menjadi anggota sastra dunia. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan penghargaan Nobel bidang sastra yang diterima Najib Mahfuz pada tahun 1988. Ia hadir sebagai ekspresi masyarakat Arab tentang kehidupan yang diungkapkan dengan nilai estetika yang dominan. Sejauh ini, sastra Arab telah menjadi bagian dari kajian banyak mahasiswa dan pengamat di seluruh bagian dunia.
Tulisan ini berpretensi untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana sejarah pertumbuhan puisi, prosa, dan drama dalam sastra Arab. Pertanyaan tersebut sebenarnya merupakan hal yang biasa. Akan tetapi, ia akan menjadi lain bila penuturannya dituntut pula untuk ditampilkan secara komprehensif dalam media yang sangat singkat dengan berasaskan pembagian sastra imajinatif menurut Culler. Oleh karena itu, penulis akan mencoba membongkar sejarah pertumbuhan sastra Arab dengan tuntutan yang sungguh menantang, sebagaimana diharapkan oleh mahasiswa dan pengamat sastra Arab sebagai pengantar mengetahui perkembangan kesusastraan Arab.
PEMBAHASAN
Istilah genre sering digunakan bergantian dengan istilah jenis, macam, dan bentuk (type, kind, form).[2] Istilah ini berasal dari Perancis yang merupakan pengembangan dari istilah Latin genus, yang erarti jenis, macam, atau ragam. Istilah ini mengacu pada bentuk atau jenis sastra yang mengklasifikasikan karya-karya sastra berdasarkan ciri-ciri umumnya, berupa struktur formal ataupun cara-caranya memperlakukan persoalan, atau keduanya.
Menurut A. Teeuw, Arsitoteles adalah orang pertama yang meletakkan dasar studi genre sastra.[3] Genre sastra dibagi menjadi tiga macam menurut pembicaranya. Pertama genre puitik atau lirik. Dalam genre ini narator berbicara dengan sudut pandang orang pertama. Kedua, genre epik atau naratif, yang naratornya berbicara dengan suaranya sendiri tetapi memungkinkan tokoh-tokoh lain berbicara dalam suara mereka sendiri. Ketiga, genre drama. Dalam genre ini para tokohnya melakonkan kata-katanya.[4]
Dari pendapat Culler di atas, dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan genre puitik atau lirik adalah puisi, genre naratif adalah prosa, dan genre drama yang sudah kita kenal. Berdasarkan pembagian di atas, tulisan ini ini akan melihat pertumbuhan masing-masing genre dalam kesusastraan Arab dari masa klasik hingga modern.
A. Pertumbuhan Genre Puisi
Puisi Arab atau Syair memiliki arti susunan kata berdasarkan timbangan kata berupa struktur satuan bunyi dan memiliki rima yang sama (al-kalam al-mauzun al-muqaffa).[5] Apapun definisinya, pada dasarnya puisi selalu terbentuk dari unsur-unsur formal bunyi, diksi, majaz, repetisi, rima, nada, dan topografi.
Taufiq A. Dardiri[6] menyebutkan bahwa tradisi kesusasteraan Arab yang tertua dan terkokoh adalah tradisi puisi. Tradisi genre ini mampu membentuk sistem konvensi yang begitu kuat. Hingga sampai abad 19 pun sistem puisi Arab sulit untuk melepaskan diri dari konvensi itu. Bahkan sampai sekarang pun belum sepenuhnya mampu melepaskan diri dari salah satu aspek konvensi itu.
Konvensi puisi Arab lama yang dimaksud adalah meliputi: 'adad al-bait (jumlah bait), Aqsa>m al-bait (bagian-bagian bait), al-Arut}: al-wahdah al-s}autiyah (kesatuan bunyi), al-Taf'ilah (struktur pengulangan kesatuan bunyi dalam penggalan bait, al-bah}r (metrum), dan al-qa>fiyah (struktur bunyi akhir suatu bait atau rima).
Kondisi semacam ini dapat dipahami karena secara internal sistem bahasanya sendiri mendukung. Bentuk tatabahasa Arab dalam pola konjugasinya mempunyai keteraturan yang tinggi dan struktur bahasa Arab juga mempunyai tingkat kebakuan yang tinggi pula. Dengan demikian, secara alami bahasa Arab sudah memberikan kemungkinan yang tinggi pula dalam kreatifitas pencapaian harmonitas rima dan ritma dalam berpuisi yang kokoh terkonvensi. Di samping itu, faktor psikologis adanya bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur'an menjadikan masyarakat Arab memandang dan memperlakukan bahasa Arab dengan sikap berbeda dengan bahasa-bahasa lain sehingga bahasa Arab dapat terjaga kebakuannya.
Seiring dengan waktu, kekuatan tradisi dan konvensi puisi Arab yang mapan juga turut mengalami dinamisasi. Dalam kurun waktu yang panjang (tahun 500-2007), tradisi, konvensi dan sistem puisi Arab telah mengalami pergeseran-pergeseran. Dari tradisi sastra lisan ke tradisi sastra tulisan. Dari yang serba ingin teratur dan terbakukan ke suatu pola kebebasan berekspresi. Dari yang berciri kebangsaan atau kewilayahan sampai ke ciri kedirian atau individual.
Di samping pergeseran tersebut, sastra Arab juga pernah mengalami masa pasang surut. Kemunduran sastra Arab selama 5 abad disebabkan banyak faktor, antara lain karena unsur stilistika yang lemah, makna yang dangkal, dan rigiditas dalam penerapan al-muhassina>t al-badi>ah.
Era kebangkitan ditandai dengan pengiriman duta budaya ke Eropa, yang diikuti dengan pendirian percetakan, pembangunan sekolah-sekolah, penerbitan koran dan majalah. Zainal Abidin[7] membagi perkembangan ini dalam dua fase, yaitu fase tradisional dan fase pembaharuan. Fase pertama, perkembangan puisi masih meneruskan tradisi masa Usmani. Akan tetapi, fenomena-fenomena kebangkitan sudah tampak sedikit dalam perluasan tema, cara deskripsi, dan penggunaan bahasa. Sebagai contoh puisi pada fase ini adalah puisi Ismail al-Khasyab (w.1834 M).
Sementara itu, fase kedua dimulai pada pertengahan abad ke-19. Pelopornya adalah Mahmud Samy al-Barudy dan Ahmad Syauqy dengan alirannya yang terkenal; neoklasik. Fenomena kemunculan pemikiran neoklasik sebagai gerakan Arab memiliki peranan penting dalam sejarah Arab modern. Bila neoklasik Barat berorientasi menghidupkan sstra Yunani dan Latin kuno, maka neoklasik Arab berkeinginan untuk menghidupkan keindahan puisi Abasiyah, seperti puisi Abu Nawas, Abu Tamam, Ibnu Rumi, al-Mutanabby, al-Ma’arry, dan al-Buhtury. Keindahan puisi Abbasiyah secara stilistik dikombinasikan dengan semangat dan tema baru. Tak dapat dipungkiri bahwa kemunculan neoklasik adalah reaksi atas kedatangan Perancis tahun 1798. Gerakan ini disambut oleh para sastrawan lain seperti, Hafiz Ibrahim, Ismail Sobry, Aly al-Jarim dari Mesir, Ma’ruf al-Rasasy dan Jamil Sidqy dari Irak, Basyarah al-Khaury dari Lebanon.
Di samping gerakan pembaharuan Arab ini, terdapat pula gerakan pembaharuan ala Barat. Mereka terkesan dengan karya-karya hasil terjemahan dan berusaha untuk mempelajari bahasa asing untuk kepentingan sastra. Pelopor gerakan ini adalah tiga serangkai: Abbas Mahmud Aqqad, Abdul Qadir al-Maziny, dan Abdurrahman Syukri. Mereka ini adalah pembesar madrasah Di>wa>n yang melakukan counter balik terhadap gerakan neoklasik yang masih mempertahankan corak puisi lama atau “too traditional”. Sebaliknya, mereka mengajak pada perubahan yang total. Adapun para sastrawan yang terpengaruh oleh kebudayaan Perancis adalah Khalil Mutran, sementara dari kalangan kritikus adalah Muhamad Husein Haikal dan Toha Husen.
Aliran ini mengkritik metode Taqli>d kepada karya klasik yang dilakukan oleh kelompok neoklasik. Menurut kelompok ini, hal itu seharusnya tidak boleh dilakukan. Adapun sikap yang baik adalah mengambil aspek yang baik saja sebagai bahan pertimbangan untuk menciptakan karya sendiri, sehingga tetap orisinil. Syukri menekankan bahwa bila penyair Arab membaca sastra bangsa lain, mereka seharusnya hanya ingin memperbaharui makna dan menemukan kreatifivitas baru, bukan menjiplak.[8]
Di samping kedua aliran di atas, terdapat pula Madrasah al-Muha>jir atau aliran sastrawan migran yang juga memiliki peran penting dalam gerakan pembaharuan. Mereka adalah Jibran Khalil Jibran, Ilya Abu Mady, Michael Nu’aimah dan lain lain.
Selain itu, Madrasah Apollo juga memerankan posisi penting dalam pembaharuan kesusasteraan Arab. Dipilihnya nama Apollo karena ia adalah dewa puisi bangsa Yunani. Diharapkan agar madrasah ini menjadi sumber inspirasi bagi para sastrawan. Sebenarnya, Apollo adalah nama untuk majalah dan jama’ah sastrawan sekaligus. Ketua pertamanya adalah Ahmad Syauqi, Khalil Mutran dan Ahmad Muharram (wakil ketua), Ahmad Zaky Abu Syadi (sekretaris) dan anggotanya terdiri dari Ibrahim Naji, Kamil Kaylani, Sayyid Ibrahim, dan lain lain. Begitu Ahmad Syauqi wafat 14 Oktober 1932, Apollo dipimpin oleh Mutran.
Apollo, dalam banyak literatur, disebutkan sebagai jama’ah yang gerakannya tidak berkonsentrasi dalam bidang sastra. Apollo hanyalah gerakan yang memiliki obsesi untuk menyatukan dan memberikan wadah bagi para penyair untuk mengembangkan bakat seninya. Sehingga, bila modernisasi aliran Diwan banyak menghasilkan karya baik puisi maupun prosa, maka modernisasi kelompok Apollo lebih banyak menghasilkan konsep tentang karya sastra. Menurut Abu Syadi, Apollo mempunyai 5 tujuan: 1) Mengangkat puisi Arab dan mengarahkan kegiatan para penyair kepada arah yang baik, 2) membantu kebangkitan seni di dunia puisi, 3) mengangkat derajat puisi baik di mata sastra, sosial, dan ekonomi, serta mencegah eksklusivitasnya, 4) menumbuhkan tolong menolong dan persaudaran di kalangan sastrawan, dan 5) memerangi monopoli dan menciptakan kebebasan puisi. Oleh karenanya, menurut al-Shabi, Apollo tidak menjadi aliran yang jelas, akan tetapi hanya merupakan revolusi yang dahsyat untuk mewujudkan kebebasan dan kesempurnaan puisi. Artinya, kelompok ini berhasil menjadikan prinsip-prinsip kelompok menjadi akar gerakan dalam mewujudkan tujuan.[9]
Berikutnya, akan diungkapkan pula secara singkat tentang faktor-faktor yang menjadi latar belakang perkembangan puisi Arab modern sebagaimana telah diuraikan di atas. Hal pertama adalah adanya kontak peradaban Arab dengan peradaban asing melalui gerakan penterjemahan yang kembali digiatkan pada masa Muhammad Ali setelah juga pernah dilakukan pada masa Abbasiyah dengan penggeraknya Ishak bin Hunain.[10] Gerakan penerjemahan juga berkaitan dengan penugasan putra-putra terbaik Mesir untuk ditugaskan belajar ke negara Eropa.[11] Persinggungan antarkedua peradaban tersebut meningkatkan kritik sastra yang mendapat pengaruh dari kebudayaan Eropa seperti pengaruh kebudayaan Perancis dan aliran-aliran kritik dan sastra yang dilancarkan Khalil Mutran dan Toha Husein. Demikian pula dengan tiga serangkai madrasah di>wa>n; Syukri, Aqqad, dan Mazini yang menyerukan pembaharuan dalam sastra serta tidak berpaling pada puisi klasik. Mereka menggiatkan metode kritik untuk puisi modern.
Kesungguhan para sarjana tersebut dalam memacu pertumbuhan sastra yang mendapatkan pengaruh Barat memicu kontribusi kelompok Neoklasik atau al-Muha>fizu>n dalam menjaga tradisi sastra lama. Bagi mereka, kemajuan kesusastraan Arab adalah hal penting, tetapi tidak perlu meninggalkan kekayaan khazanah sastra Arab yang telah teruji kekuataannya. Kelompok ini memberikan perhatian untuk menghidupkan kembali sastra Arab klasik, baik prosa atau puisi. Hal ini dibuktikan dengan perhatian para sastrawan neoklasik terhadap teks-teks sastra masa Abbasiyah. Di samping kedua faktor di atas, peristiwa-peristiwa politik yang terjadi di dunia Arab, seperti Revolusi 1919, revolusi 1923, dan 52, Revolusi di al-Jazair, problem Palestina digunakan oleh para sastrawan sebagai materi sastra untuk menyerukan pembebasan dari kekuatan yang mengungkung. Walaupun dalam reaksi yang berbeda, semua usaha di atas tidak lain merupakan wujud kebangkitan kesadaran nasionalis dan kebutuhan terhadap peradaban yang lebih maju.

B. Pertumbuhan Genre Prosa
Pada awalnya, prosa dalam khazanah sastra Arab berbeda secara terminologis dengan apa yang dikenal dalam sastra modern seperti yang dikemukakan Abrams.[12] Prosa dalam sastra Arab awal lebih sesuai bila diartikan sebagai seni retorika, mulai dari bentuk tulisan formal administratif perkantoran (Kitabah) hingga seni orasi (khita>bah). Seni khita>bah tidak seberuntung kita>bah karena ia berbentuk literacy (keberaksaraan) sementara penduduk Arab adalah masyarakat yang lebih mengutamakan kelisanan. Seni kita>bah baru bisa dikatakan sebuah seni pada masa pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik, penguasa Dinasti Umayyah. Pada saat ini, Abdul Hamid al-Katib menawarkan bentuk baru dalam seni tulisan, seperti ucapan selamat, terima kasih, bela sungkawa, keberatan, dan kerinduan.
Pada masa Abbasiyah, pertumbuhan prosa menunjukkan perkembangan baru. Pada awalnya memang masih berbentuk prosa ilmiah yang prosais atau seni retorika yang tertulis, seperti yang diperkenalkan oleh al-Jahiz (160-255 H/771-836 M) dalam karangannya dalam ilmu botani dan hewani, etika dan kemasyarakatan. Dalam banyak literatur, al-Jahiz dikenal sebagai kontributor terbesar yang menyusun ensiklopedi sastra dalam bukunya al-Baya>n wa al-Tabyi>n.[13] Pada masa berikutnya, prosa Arab bernama al-Maqamat yang diperkenalkan Badi' Zaman al-Hamzany (358-398 H/969-1007 M) mulai berbentuk cerita seperti yang dipahami dalam terminologi prosa modern. Al-Maqa>ma>t didefinisikan sebagai perumpamaan aktual tentang kehidupan yang dikemukakan dalam sebuah forum, berbentuk cerita pendek dengan seorang tokoh cerita. Keunggulan Al-Maqa>ma>t terletak pada keindahan bahasa yang digunakan. Tidak heran bila tujuan Al-Maqa>ma>t lebih berorientasi pada pertunjukkan kemampuan seseorang dalam permaianan dan keindahan bahasa sehingga ia dijadikan media untuk mendidik pemuda Arab dalam memperbaiki bahasa mereka. Sementara pesan, ide dan makna cerita tidak menjadi perkara yang dominan.[14] Kekurangan al-Jahiz disempurnakan oleh al-Hariri (446-516 H/1054-1222 M) yang telah mementingkan pesan dalam Al-Maqa>ma>tnya, seperti pesan-pesan keagamaan di samping juga permainan bahasa.
Prosa Arab terus menapaki penyempurnaan. Setelah muncul Al-Maqa>ma>t yang berakar dari budaya asli. Kini peradaban Arab Abbasiyah telah bersentuhan dengan kebudayaan lain dengan media penerjemahan. Meski kegiatan penerjemahan sudah dimulai sejak masa Daulah Umayyah, upaya besar-besaran untuk menerjemahkan manuskrip-manuskrip berbahasa asing terutama Bahasa Yunani dan Persia ke dalam bahasa Arab mengalami masa keemasan pada masa Daulah Abbasiyah. Para ilmuwan diutus ke daerah Bizantium untuk mencari naskah-naskah Yunani dalam berbagai bidang ilmu terutama filsafat dan kedokteran. Perburuan manuskrip di daerah timur seperti Persia adalah terutama dalam bidang tata negara dan sastra. para penerjemah tidak hanya dari kalangan Islam tetapi juga dari pemeluk Nasrani dari Syiria dan Majusi dari Persia. Biasanya naskah berbahasa Yunani diterjamahkan ke dalam bahasa Syiria kuno dulu sebelum ke dalam bahasa Arab. Hal ini dikarenakan para penejemah biasanya adalah para pendeta Kristen Syirian yang hanya memahami bahasa Yunani dan bahasa mereka sendiri yang berbeda dari bahasa Arab. Kemudian, para ilmuwan yang memahami bahasa Syiria dan Arab menerjemahkan naskah tersebut ke dalam bahasa Arab.
Gerakan penerjemahan yang pada awal pemerintahan Abasiyah dipelopori oleh khalifah al-Mansur akhirnya juga sampai pada penerjemahan buku moral fabel terkenal seperti Kali>lah wa Dimnah dan Sindhind dari bahasa Persia yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Orang-orang Arab meresepsi Kalilah wa dimnah menjadi sebuah rangkaian puisi yang disusun oleh Abban Abdul Hamid al-Lahiqy. Resepsi ini berlanjut dengan sebuah catatan naratif dalam sebuah buku yang dikarang oleh Muhamamad al-Jahsyiyari. Banyak pula orang yang membuat karya berdasarkan resepsi mereka terhadap kitab Kali>lah wa Dimnah. Banyaknya resepsi tersebut mengakibatkan banyak pula tambahan-tambahan sehingga melahirkan karya besar anonim alfu laylah wa laylah (seribu satu malam).[15]
Persinggungan sastra Arab, khususnya prosa mengalami masa berpengaruh pada saat masuknya kekuatan asing ke negara-negara Arab. Pengaruh perancis lebih dahulu masuk ke Mesir, tetapi pengaruh prosa dan dan drama dimulai dari Lebanon oleh Salim Bustani kemudian disegarkan di Mesir.[16]
Ahmad Saqr[17], menyebutkan terdapat empat fase pertumbuhan prosa Arab modern.
1. Paruh pertama abad 19 disebut pase takl>id (tradisional) merupakan lanjutan dari dua masa sebelumnya, yaitu Mamluki dan Usmani. Ciri prosa fase ini adalah bertema sempit, ide dangkal, imaji kering, gaya bahasa lemah, dan didominasi oleh bahasa artifisial
2. Paruh kedua abad 19 disebut fase transisi. Prosa mulai menyentuh tema-tema baru, seperti sosial dan politik. Idenya mulai mendapatkan perhatian, penulis bebas dari artifisialisme, meski masih ada beberapa yang didominasi oleh musikalitas, seperti karya Muwailihi berjudul Hadis Isa bin
3. Abad 20 disebut fase perkembangan, dalam fase ini genre prosa memiliki banyak genre seperti khitobah, risalah, maqalah, kissah, uqsussah, dan drama. Ide ide diperbaharui, dikreasikan, dan diperdalam. Di samping sistematis, analitis, juga jelas dan gaya bahasanya tidak lagi artifisial (dipaksakan) serta jarang menggunakan kosa kata asing. Semuanya itu, disebabkan oleh faktor perkembangan sastra modern. Semenjak munculnya Mustafa Lutfi al-Manfaluti, timbul dua aliran dalam bidang prosa, yaitu:
a. Aliran klasik yang lebih memperhatikan teknik penyampaian dan keindahan bentuk disertai oleh perhatian terhadap ide. Aliran ini didukung oleh orang-orang arab asli terpelajar, oleh karena itu mereka sangat perhatian terhadap problematika bangsa Arab dan Agama Islam, membela warisan budaya dan kejayaan mereka. Mereka adalah Ar-Rafi’I, al-Bisyri, al-Zayyad,
b. Aliran modern, yang terpengaruh oleh peradaban dan sastra Barat. Mereka memberi warna pemikiran dan gaya baru dalam sastra Arab, serta perhatian terhadap kritik sastra, jelas, kreatif, ide mendalam, analitis. Mereka telah menulis bentuk-bentuk baru dalam rposa arab seperti, kisah, drama dalam gaya yang mudah dicerna, metodologis, seperti Toha Husen, Aqqad, dan Taufiq al-Hakim.

c. Pertumbuhan Genre Drama
Sastra Arab baru mengenal genre drama pada masa modern. Mereka mengambil genre tersebut dari Barat. Memang ada yang mengatakan bahwa khaya>l zil yang pernah berkembang pada masa dinasti Mamluk adalah cikal bakal genre drama itu, tetapi ternyata ada perbedaan yang cukup tajam antara keduanya. Dalam perkembangan berikutnya, seni drama di dalam sastra Arab adalah melalui empat fase:
Fase pertama disebut fase Marun Nuqas al-Lubnani yang meresepsi seni drama ini dari Italia. Dalam karya dramanya berjudul al-Bakhi>l karya Muller. Kemudian diikuti pula oleh karya-karya drama yang lain seperti Harun al-Rasyid (1850). Karya dramanya yang bersifat jenaka musikal lebih dapat dikatakan sebagai seni operet yang begitu memperhatikan aspek musikalitas daripada dialoq. Karya-karya dramanya dapat dicerna oleh cita rasa awam, hanya saja karya ini ditulis dengan menggunakan bahasa campuran antara fusha, ami, dan Turki dalam gaya longgar (tidak baku).
Kedua, fase Abu Khalil al-Qubbani di Damaskus yang memajukan seni drama dengan menampilkan banyak sekali kriteria-kriterianya serta bercita rasa dapat dinikmati oleh awam dengan cara memilih drama-drama kerakyatan seperti alfu laylah. Dialognya menggunakan bahsa fusha> berupa campuran antara puisi dan prosa yang kadang-kadang mempertimbangkan juga sisi persajakan. Ia terus menghasilkan karya-karya drama di Damskus antara 1878-1884). Sayangnya, beberapa saat setelah itu panggung dramanya ditutup dia pun lalu hijrah ke Mesir dan tetap menulis karya drama.
Ketiga, fase Yakkub Sannu’. Pada masa pemerintahan Ismail Basha yang pada saat itu dibangun gedung pertunjukan di mana disitu ditampilkan opera “Aida’ dengan menggunakan bahasa Perancis, dipentaskan pada pembukaan terusan Suez tahun 1869. Pada tahun 1876 muncul tokoh Mesir dalam bidang drama yang bernama Sannu’, populer dengan nama Abu Nazarah. Ia cenderung mengkritisi sosial politik dengan menggunakan bahasa ammi. Kelompok-kelompok penulis Siria dan Mesir melanjutkan penulisan karya drama di Mesir.
Di samping fase pertumbuhan tersebut, terdapat pula fase perkembangan pada awal abad 20. Hingga pada tahap ini, banyak drama di Mesir merupakan hasil terjemahan atau resepsi, sebagian di antaranya diterangkan berikut ini.
Fase pertama 1910, George Abyad pulang dari Perancis setelah di sana mempelajari prinsip-prinsip seni drama, lalu dibuatkan karya drama sosial antara lain berjudul Mis}r al-Jadi>dah tulisan Farh Anton, juga dibantu oleh Khalil Mutron dalam menerjemahkan beberapa novel Shakespeare seperti Ta>jir al-Bunduqiyah, Athil, Macbat, dan Hamlet.
Fase yang kedua, adalah Yusuf Wahbi mendirikan kelompok ramsis yang memperhatikan tragedi. Ketua kelompok ini telah menulis kurang lebih 200 drama. muncul pula kelompok Najib al-Raihani yang memiliki kecenderungan drama komedi kritik sosial.
Fase ketiga, pasca perang dunia pertama. Di dalam dunia drama muncul aliran Mesir Baru (madrasah al-Mis}riyah al-Jadi>dah) yang begitu perhatian terhadap karya drama. Memberikan sentuhan pada probelatika sosial serta cara-cara mengatasinya dengan pasti. Di antara tokohnya adalah Muhammad dan Mahmud Taymur.
Fase keempat, mucullah penulis drama Arab modern terbesar Taufiq el-Hakim yang berhasil menuntaskan studi atas prinsip pokok drama di Perancis. Ia menulis lebih dari 60 judul karya drama lengkap dengan struktur dan temanya, demikian pula dialog dan penokohannya. Taufiq begitu ambisius untuk dapat menyertai gerakan perkembanga modern dalam dunia drama. Oleh karena itu, tampak terus mengikuti perkembanga drama barat beserta kecenderungannya. Tidak heran, bila ia dapat berpindah-pindah tema dari drama sejarah ke drama sosial, lalu drama ideologis yang menyelesaikan problema mentalitas. Setelah di dunia Barat muncul drama absurd, ia pun juga melakukan hal yang sama berjudul, Ya> Tali>’ Syajarah, dan T}a’am Likulli Famm.[18]
Pada masa berikutnya, mulai bermunculan para seniman yang konsentrasi dengan perkembangan drama, seperti Ali Ahmad Bakasir, Sattar Farraj, Ismail Walidin, Ihsan Abdul Qudus, dan Dr. Nabil Raghib.[19]

PENUTUP
Demikianlah pertumbuhan genre sastra Arab. Genre puisi merupakan tradisi tertua dan terkokoh dari kesusastraan Arab. Memasuki masa selanjutnya, genre prosa mulai mengambil peran penting di samping genre puisi. Genre ini masih berwujud orisinil dalam bentuk seni retorika verbal dan literal yang banyak dipakai pada masa awal Islam untuk keperluan penyebaran Islam. Pada masa berikutnya, seni ini dipakai dalam urusan administrasi kerajaan.
Genre prosa Arab baru memasuki babak modern ketika bersentuhan dengan kebudayaan lain, yakni setelah diterjemahkannya fabel Kalilah wa Dimnah yang kemudian diresepsi dalam berbagai bentuk, termasuk alfu laylah wa laylah. Semenjak kedatangan orang-orang Eropa di Mesir, prosa memasuki terminologi yang sama dengan kesusastraan lainnya.
Sementara itu, genre drama benar-benar diadaptasi dari sastra Eropa. Pada awalnya merupakan karya terjemahan dan kemudian baru bisa menumbuhkan karya sendiri. Di antara penggiat drama pada masa awal adalah Marun Nuqas al-Lubnani Abu Khalil al-Qubbani, dan Yakkub Sannu.



































DAFTAR PUSTAKA



Abrams , MH., A Glossary of Literary Term (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1981)

Adunis, al-Tabit wal-Mutawwil, Jld. II (Beirut: Dar la-Fikri, 1986)

Baksir, Ali Ahmad, Masrah Siyasiyyah, (Cairo: t.t., Dar Misr li al-Tiba’ah )

Brogan, T.V.F, (ed.) The New Princeton Handbook of Poetic Terms. (New Jersey, Princeton University Press, 1994)

Haji Abdul Qadir, Zainal Abidin, Muzakkirah fi Tarikh al-Adab al-Arabi (Kualalumpur: DBP Kementerian Pendidikan Malaysia, 1987),

Jonathan Culler, Literary Theory: A Very Short Introduction, (Oxford: Oxford University Press, 1977)

J. Brugman, An Introduction to The History of Modern Arabic Literature in Egypt (Leiden: E.J. Brill, 1984)

Mousa , Matti, The Origin of Arabic Fiction, (London, Lynne Rienner: 1997),

Teeuw A., Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra (Jakarta: Pustaka Jaya, 1988)

Umar, Muin, Ilmu Pengetahuan dan Kesusasteraan dalam Islam (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1992)

Zaidan, Abdul Rozak, Kamus Istilah Sastra. (Jakarta: PPPB Depdikbud, 1991)

[1] Dosen pada jurusan Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
[2] Brogan T.V.F, (ed.) The New Princeton Handbook of Poetic Terms. (New Jersey, Princeton University Press, 1994), hlm. 99.
[3] A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra (Jakarta: Pustaka Jaya, 1988), hlm. 108.
[4] Jonathan Culler, Literary Theory: A Very Short Introduction, (Oxford: Oxford University Press, 1977), hlm. 74.
[5] Abdul Rozak Zaidan, Kamus Istilah Sastra. (Jakarta: PPPB Depdikbud, 1991), hlm. 105

[6] Lihat HA Muin Umar, Ilmu Pengetahuan dan Kesusasteraan dalam Islam (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1992) hlm. 70-71
[7] Zainal Abidin Haji Abdul Qadir, Muzakkirah fi Tarikh al-Adab al-Arabi (Kualalumpur: DBP Kementerian Pendidikan Malaysia, 1987), hlm. 176
[8] J. Brugman, An Introduction to The History of Modern Arabic Literature in Egypt (Leiden: E.J. Brill, 1984) hlm. 96
[9] Adunis, al-Tabit wal-Mutawwil, Jld. II (Beirut: Dar la-Fikri, 1986), hlm. 114-5
[10] Zainal Abidin, Muzakkirah…, hlm. 128.
[11] Ibid, hlm. 164.
[12] MH. Abrams, A Glossary of Literary Term (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1981), hlm. 148
[13] Yunus, (1979), hlm. 57.
[14] Zainal Abidin, Muzakkirah…, hlm. 154-5.
[15] Ibid, hlm. 132
[16] Matti Mousa, The Origin of Arabic Fiction, (London, Lynne Rienner: 1997), hlm. 253
[17] Ahmad Saqr, al-Adwa…..hlm. 102-103
[18] Ahmad Saqr, dkk. adwa’ ala al-Lughah al-Arabiyah (106-107) 1981, Qairo: Daar Nahdat Misra
[19] Ali Ahmad Baksir, Masrah Siyasiyyah, (Cairo: t.t., Dar Misr li al-Tiba’ah ), hlm. 172-7

3 komentar:

Marwa mengatakan...

penjelasan yang luar biasa, nampak sekali penulis menguasai pengetahuan sastra arab cukup matang. namun, ada sesuatu yg mengganjal dalam pikiran, puisi arab klasik selalu bertolak dari puisi zaman jahiliyyah yang dipelopori umru alqays dkk. pada masa abbassiyah banyak sekali muncul problema ttg puisi diantaranya perbandingan antara puisi dan prosa,lafadz dan makna dll. pada umumnya persoalan tersbt akan dikembalikan dg peninjauan ulang pada puisi zaman jahiliyyah. maka akan sangat menarik lagi klo tulisan ini menyentuh puisi zaman jahiliyyah sebagai tonggak puisi. makasih

tas kertas/paper bag blogs mengatakan...

Ass, pak apakabarnya di palembang, minta tulisannya ya pak buat koleksi krn minat saya tentang kesusastraan arab cukup tinggi, bisav sering diblog saya di http://ukonpurkonudin.blogspot.com/ walaupun banyak salah nulisnya pa maklum lagi belajar
pokoknya saya cukup terinspirasi buat nulis karena tulisan bapak wassalam

Unknown mengatakan...

Pak Walidin ini Zulfa UGM. Sudah sekolah lagi belum? Ayo bareng-bareng lagi