Rabu, 05 Desember 2007

AL-MUTANABBI DAN PENGUASA DINASTI IKHSYIDIYAH: telah intertekstual

Oleh: Muhammad Walidin

Pengantar

Al-Mutanabbi> merupakan salah satu penyair besar dinasti Abbasiyah. Sepanjang karirnya, Al-Mutanabbi> dikenal sebagai penyair andal dalam bidang puisi penegirik (madh, panegyric), satu ragam puisi pujian yang digunakan untuk menyanjung seseorang. Selain andal di bidang puisi panegirik, ia juga sangat piawai dalam bidang puisi satire (ejekan) dan eulogy (ratapan). Oleh karena itu, Toha Husen, seorang kritikus sastra Arab modern, mengatakan bahwa kedudukan al-Mutanabbi> layaknya pemimpin para penyair karena ketajaman puisinya.[1]
Di dalam literatur sastra Arab disebutkan bahwa al-Mutanabbi> menjalani karirnya sebagai penyair penegirik dengan mencari perlindungan kepada penguasa dalam lingkungan dinasti Abbasiyah. Pada awalnya ia masuk dalam klan Tannukh dan keluarga Taghj mempersembahkan puisi panegiriknya, kemudian ia memuji Badr bin Amar dan Abu al-‘Asyair, berikutnya adalah Saif ad-Daulah, penguasa dinasti Hamdaniyah; Kafur, penguasa dinasti Ikshidiyah, dan Adad ad-Daulah, penguasa sentral dinasti Abbasiyah dari keluarga Buwaih.[2]
Tulisan ini secara khusus akan menjelaskan hubungan yang terjalin antara al-Mutanabbi> dan Kafur, suatu hubungan mutual-simbiotik yang berlangsung singkat dan tidak banyak diketahui kedekatan mereka dan penyebab perpisahannya (957-962 M.).[3] Dalam hal ini, akan digunakan kajian intertekstual yang memungkinkan untuk mengetahui hubungan keduanya yang tergambar dalam puisi Wa Khairu Jali>s fiz-Zama>n Kita>b (selanjutnya disingkat KJZK), Kafa> bika da>‘an (selanjutnya disingkat KBD) , dan prosa al-Jahiz; Wasf} al-Kita>b. Ketiga karya ini menunjukkan hubungan intertekstual yang dapat menerangkan jalinan hubungan antarkeduanya.
Intertekstualitas Dalam Karya Sastra
Kajian intertekstual merupakan kajian terhadap sejumlah teks (sastra) yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu, misalnya untuk menemukan adanya hubungan unsur-unsur intrinsik seperti ide, gagasan, peristiwa, plot, penokohan, (gaya) bahasa, dan lain-lain, di antara teks-teks yang dikaji. Secara lebih khusus dapat dikatakan bahwa kajian intertekstual berusaha menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya dan muncul pada karya kemudian. Tujuan kajian intertekstual ini adalah untuk memberikan makna secara lebih penuh terhadap karya tersebut.[4]
Pencarian hubungan intertekstual harus sampai pada penentuan hipogram, yaitu sajak (teks sastra) yang menjadi latar penciptaan karya sastra sesudahnya.[5] Teks baru atau teks yang menyerap dan mentransformasikan hipogram itu disebut teks transformasi. Wujud hipogram mungkin berupa penerusan konvensi, sesuatu yang telah bereksistensi, penyimpangan dan pemberontakan konvensi, pemutarbalikan esensi dan amanat teks-teks sebelumnya.[6]
Dalam istilah lain, penerusan tradisi dapat juga disebut sebagai mitos pengukuhan (myth of concern), sedangkan penolakan tradisi sebagai mitos pemberontakan (myth of freedom). Kedua hal tersebut boleh dikatakan sebagai sesuatu yang ‘wajib’ hadir dalam penulisan teks sastra, sesuai dengan hakikat kesastraan itu yang selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan invensi, mitos pengukuhan dan mitos pemberontakan.[7]
Sementara itu, teks hipogram yang diacu oleh teks transformasi, menurut Teeuw[8] adalah dunia semesta, bukan hanya teks tertulis atau teks lisan. Adat istiadat, kebudayaan, film, drama secara pengertian umum juga adalah teks. Dalam kaitannya dengan hipogram ini, Julia Kristeva[9] menyatakan bahwa setiap teks sastra merupakan mosaik kutipan-kutipan, penyerapan, dan transformasi dari teks-teks lain. Pembacaan suatu karya sastra juga tidak boleh dilepaskan dari teks dan konteks sejarah dan konteks sosial-budayanya. Dalam hubungan pembicaraan intertekstualitas ini berkenaan dengan konteks sejarah sastranya.
Kesinambungan antara satu teks dengan yang lain telah menciptakan hubungan intertekstualitas. Dalam hal ini Barthes[10] menyimpulkan bahwa teks-teks yang pernah ada biasanya hadir kembali dalam teks yang baru. Beberapa teks merupakan bentuk baru dari ungkapan-ungkapan terdahulu, seperti kode-kode, formula, model-model ritmis, dan fragmen bahasa sosial. Dengan demikian, di samping teks baru atau teks transformasi itu mengakomodasikan teks-teks lama dalam dirinya juga memberikan fungsi produktivitas atau fungsi baru.[11] Produktivitas itu berupa rekonstruksi bahasa lain (makna) atau peningkatan atau penurunan volume suatu ekspresi tertentu.
Pembahasan

a. Hubungan Intertekstual Puisi Wa Khairu Jali>s fiz-Zama>n Kita>b
dengan Puisi Kafa> bika da>‘an .

Hubungan yang terjalin antara al-Mutanabbi> dengan Ka>fu>r dapat ditelusuri dengan membaca hubungan intertekstualitas dalam puisi KJZK, puisi terakhir yang didedikasikan kepada Ka>fu>r dan puisi KBD>, sebuah puisi yang didedikasikan al-Mutanabbi> pada Ka>fu>r saat pertama kali bertemu dan langsung memujinya dalam sebuah puisi yang berjumlah 43 bait. Peristiwa ini terjadi pada tahun 346 H/957 M.[12]
Untuk mengurai hubungan intertekstualitas kedua puisi tersebut akan dijelaskan dahulu poin-poin yang memiliki kesamaan gagasan dalam kedua puisi tersebut. Kesamaan gagasan tersebut tampak secara potensial dan diungkapkan dengan cara yang berbeda.
Dalam puisi KJZK terbangun adanya unsur harapan al-Mutanabbi> yang tidak dipenuhi sang penguasa Ikhsyidiyah; Ka>fu>r sehingga membuatnya kecewa dan pergi meninggalkan sang pelindung tersebut. Beberapa pendapat mengatakan bahwa harapan al-Mutanabbi> tersebut berkaitan dengan janji-janji yang pernah ditawarkan kepadanya oleh mata-mata Ka>fu>r agar ia mau menjadi penyair istana Ka>fu>r. Toha Husein[13], mengatakan bahwa sebelum al-Mutanabbi> memutuskan untuk pergi ke Mesir sebetulnya ia sudah mengadakan pertemuan-pertemuan rahasia dengan para mata-mata dari Fustat; ibu kota dinasti Ikhsyidiyah. Mereka menjanjikan akan menjadikannya penyair resmi istana Ka>fu>r dan janji-janji manis lainya, seperti diberi sebuah wilayah kekuasaan.
Setelah mengabdikan dirinya selama beberapa tahun di istana Ka>fu>r, al-Mutanabbi> tidak melihat itikad baiknya untuk memenuhi janjinya. Komunikasi keduanya menjadi terhambat karena masing-masing berdiam diri. Ka>fu>r tidak pernah menyinggung permasalahan tersebut, sementara al-Mutanabbi> juga tidak mau meminta secara terus terang apa yang telah dijanjikan. Harapan al-Mutanabbi> terhadap pemenuhan janji Ka>fu>r akhirnya benar-benar tidak terpenuhi. Ia kecewa dan memilih pergi dari istananya daripada harus terus menunggu sesuatu yang tidak pernah disinggung lagi olehnya.
Walaupun al-Mutanabbi> merasa kecewa karena harapannya tidak terpenuhi, tetapi ia tetap memuji Ka>fu>r sebagai raja yang intelek dan cerdas laksana buku sehingga bisa dijadikan teman terbaik dalam kehidupan ini. Di samping itu, al-Mutanabbi> juga memuji keberanian Ka>fu>r dalam peperangan yang dilambangkan dalam kata ‘memakai pakaian debu’, ‘membawa kuda berambut pendek’, ‘perangi rumah raja-raja’, dan ‘yang pertama mendatangi ujung tombak’.
Melalui penelusuran terhadap beberapa teks, ditemukan tanda-tanda kesamaan gagasan yang terkandung dalam puisi KJZK dengan puisi KBD> yang diungkapkan dengan cara berbeda. Dengan demikian, tanda-tanda tentang kesamaan gagasan tersebut menunjukkan hubungan intertekstualitas antara kedua puisi ini. Untuk memudahkan pembahasan tentang kesamaan gagasan tersebut akan dirumuskan dalam bentuk huruf, yakni unsur y untuk ekspresi harapan dan unsur z untuk ekspresi pujian kepada Ka>fu>r.
Puisi KBD> yang dilantunkan pada pertemuan pertama kali dengan Ka>fu>r pada tahun 346 H/957 mengandung unsur y dan z sebagaimana diungkapkan juga dalam puisi Khair. Unsur y atau ekspresi harapan tampak pada bait ke-13 hingga 26. Unsur z atau ekspresi pujian kepada Ka>fu>r muncul secara intensif pada bait ke-36 hingga 42.
Berkaitan dengan intertekstualitas kedua puisi al-Mutanabbi> yang mengandung ekspresi gagasan yang sama, maka dapatlah dirumuskan ekspresi-ekspresi tersebut dalam bagan berikut ini.
KBD> ...

y
z

346 H/957 M
KJZK..

y
z

349 H/960 M






Hipogram Teks transformasi
Dari bagan ini dapat dilihat secara jelas ekspresi gagasan yang ditransformasikan dari puisi KBD> ke puisi KJZK. Setelah disejajarkan, tampak ada unsur y dan z pada puisi pertama yang diserap dan ditransformasikan ke dalam puisi kedua. Dilihat dari tahun penciptaannya, bisa disimpulkan bahwa puisi pertama yang diciptakan pada tahun 957 M merupakan teks hipogram dari puisi kedua yang diciptakan pada tahun 960 M.
Berikut ini akan diuraikan kedua ekspresi gagasan yang sama dalam kedua puisi al-Mutanabbi>, yaitu unsur y berupa ekspresi harapan dan unsur z atau ekspresi pujian kepada Ka>fu>r. Adapun kedua puisi yang akan ditelusuri hubungan intertekstualitasnya hanya akan ditampilkan secara fragmental, yaitu bait-bait yang mengandung unsur-unsur interteks.
1. Harapan
Unsur y atau ekspresi harapan adalah matriks dari puisi dari puisi KBD> sebagaimana juga menjadi matriks dari puisi KJZK. Pada puisi pertama, ekspresi harapan akan menemui kehidupan yang lebih baik sesuai dengan janji-janji yang ditawarkan kepadanya tampak begitu intensif. Untuk menyongsong harapan tersebut, al-Mutanabbi>, yang diwakili oleh tokoh aku, telah membawa seluruh kehidupannya menuju ‘lautan’ di Fustat. ‘Lautan’ adalah simbol bagi orang yang dermawan dan sifat itu dinisbatkan pada seorang (yang dimaksud adalah Ka>fu>r) yang berdiam di Fustat, ibu kota kerajaan dinasti Ikhsyidiyah Mesir. Dengan harapan yang besar tersebut, wajar sekali bagi al-Mutanabbi> untuk kecewa saat menghadapi kenyataan itu tidak sesuai dengan harapannya. Oleh karena itulah al-Mutanabbi> pergi meninggalkan Ka>fu>r menuju pelindung berikutnya.
Untuk mengetahui lebih jelas mengenai unsur y atau ekspresi harapan dalam puisi KBD> akan ditampilkan fragmen-fragmen puisi yang terkait dengan tema yang ditransformasikan sebagaimana berikut ini.
حياتي ونصحي والهوى والقوافيا
فبتن خفافا يتبعن العواليا
نقشنا به صدرالبزاة حوافيا
يرين بعيدات الشخوص كما هيا
يخلن مناجاة الضمير تناديا
كأن على الأعناق منها أفاعيا
به ويسير القلب في الجسم ماشيا
ومن قصد البحر استقل السواقيا

إلى عصره إلا نرجي التلاقيا

إليه وذااليوم الذي كنت راجيا
ولكن في الفسطاط بحرا أزرته
وجردا مددنا بين أذانها القنا
تماشى بأيد كلما وافت الصفا
وتنظر من سود صوادق في الدجى
وتنصب للجرس الخفي سوامعا
تجاذب فرسان الصباح أعنة
بعزم يسير الجسم في السرج راكبا
قواصد كافور توارك غيره
..........
فتى ما سرينا في ظهور جدودنا
...........
أبا المسك ذاالوجه الذي كنت

13
14
15
16
17
18
19
20

32

26

Puisi KBD> (957 M)
Setelah al-Mutanabbi> meninggalkan Saif ad-Daulah, ia sempat pergi ke Damaskus. Gubernur Ibnu Malik sangat menginginkan agar al-Mutanabbi> mau menggubah puisi panegiris untuknya, tetapi dengan angkuh ia menolak tawaran tersebut. Ia juga menolak tawaran serupa ketika gubernur Hasan bin Thugdh di Ramalah menyambut kedatangannya dengan hangat dan hadiah-hadiah.[14] Dari puisi di atas, dapat diketahui bahwa satu-satunya yang diharapkan oleh tokoh aku (al-Mutanabbi>) adalah Penguasa dinasti Ikhsyidiyah yang pusat pemerintahannya terletak di Fustat.
Bait ke-13 menunjukkan harapannya yang besar terhadap Ka>fu>r. Si aku menyebutnya sebagai ‘lautan’ atau seseorang yang hatinya lapang bagai lautan. Oleh karena itulah ia tidak segan-segan mendatanginya dengan ‘segala kehidupanku, nasehatku, cinta, dan, puisi’.
Bait ke-14 masih menerangkan poin ‘nasehatku, puisi’ yang disebutkan pada bait ke-13. Nasehat yang berupa puisi-puisi pendek (kurang dari tujuh bait) terasa indah di telinga untuk didengarkan sehingga menjadi terasa panjang seperti tombak dan ‘ringan’ atau cepat tersebar di masyarakat secepat mengejar ujung tombak yang dilemparkan.
Bait ke-15 hingga 19 menerangkan poin ‘kehidupanku’ yang disebut pada bait ke-13. ‘Kehidupanku’ artinya segala sesuatu yang dimiliki oleh si aku dalam kehidupan ini, termasuk kuda yang tajam kaki atau gagah (bait ke15), tajam penglihatan (bait ke-16), tajam pendengarannya (bait ke-17) bahkan juga tubuh dan jiwa (bait ke-19).
Semua unsur kehidupan tersebut dibawa oleh si aku menuju Ka>fu>r yang sifat kedermawanannya bagaikan ‘laut’. Raja-raja (gubernur-gubernur) yang pernah menawarkan diri pada si aku untuk menjadinya penyair istananya diibaratkan si aku sebagai ‘selokan’ atau sangat kecil dibandingkan dengan ‘laut’ atau Ka>fu>r.
Bait ke-23 melukiskan perjuangan si aku yang berjalan di atas ‘punggung nenek moyang’ atau kuburan-kuburan yang terbentang sepanjang perjalanannya menuju Ka>fu>r. Hal tersebut dilakukan karena si aku hanya merindukan wajah Ka>fu>r dan hari pertemuan inilah yang ia harapkan (bait ke-27).
Bila dalam puisi KBD> ditemukan tanda-tanda yang menunjukkan harapan besar tokoh aku (al-Mutanabbi>) berupa kehidupan yang cerah di tanah Mesir, maka ekspresi harapan tersebut menampakkan kenyataan buruk dalam puisi KJZK. Artinya, harapan yang cerah tersebut dapat diketahui menjadi suram karena tidak tercapai.
Untuk memperjelas unsur y yang ditransformasikan dari puisi KBD> sebagai teks hipogram ke dalam teks transformasinya, berikut ini ditampilkan bait-bait puisi KJZKyang berfungsi menggambarkan kenyataan bahwa harapan al-Mutanabbi> tidak tercapai.
ودون الذي أملت منك حجاب
وأسكت كيما لا يكون جواب
سكوتي بيان عندها وخطاب
ضعيف هوى يبغى غليه ثواب
على أن رأيي في هواك صواب
وغربت أني قد ظفرت وخابوا
وأنك ليث والملوك ذئاب

وهل نافعي أن ترفع الحجب بيننا
أقل سلامي حب ما خف عنكم
وفي النفس حاجة وفيك فطانة
وما أنا بالباغي على الحب رشوة
وما شئت إلا أن أدل عواذلي
وأعلم قوما خالفوني فشرقوا
جرى الخلف إلا فيك أنك واحد

32
33
34
35
36
37
38
Puisi KJZK (960 M)
Ungkapan pada bait-bait puisi di atas melambangkan kekecewaan si aku setelah mengetahui bahwa si engkau atau enklitik ‘mu’(yang dimaksud adalah Ka>fu>r) tak kunjung mengabulkan harapannya. Bait ke-32 melambangkan bahwa keduanya memiliki cara masing-masing untuk tidak membuat harapan itu menjadi konkret. ‘Diam’nya si engkau yang disebut si aku sebagai ‘penghalang’ dan sifat ‘sopan’ atau ‘penghalang’ yang diakui si aku sebagai sikapnya membuat harapan itu tidak dapat dikomunikasikan dan akhirnya menimbulkan kekecewaan.
Bait-bait selanjutnya adalah apologi si aku mengenai alasan ia tidak mau mengungkapkan harapannya itu secara jelas. Antara lain karena tidak mau membebani (bait ke-33), si engkau itu cerdas sehingga pasti bisa membaca keinginan si aku (bait ke-34), sifat si aku yang murni atau tidak mau menyogok (bait ke-35), dan fungsinya sebagai penyair istana yang harus menyampaikan informasi yang benar tentang si engkau.
Unsur y pada puisi KBD> berupa harapan-harapan yang cerah ternyata ditemukan jawabannya pada puisi KJZK. Harapan tersebut tidak kunjung tiba hingga akhirnya ia harus mengungkapkan kekecewaannya pada puisi KJZK. Adapun unsur y berupa frase atau kalimat yang ditransformasikan adalah “ Di Fustat ada lautan yang aku datangi // Dengan segala kehidupanku, nasehatku, cinta dan ritma”, ‘mengharapkan bertemu dengan Kafur’, dan “inilah wajah yang kurindu // inilah hari yang kuharap”. Harapan yang begitu besar tersebut pada puisi KJZK ternyata memiliki garis demarkasi berupa penghalang sehingga harapannya tidak tercapai.
Dengan demikian, puisi KBD> sebagai hipogram potensial maupun sebagian kata dan kalimat di dalamnya sebagai hipogram aktual ditentang oleh puisi KJZK sebagai teks transformasi. Teks transformasi berhasil menampilkan produktivitasnya yang baru terhadap ekspresi harapan al-Mutanabbi> yang dihadirkan sebagai tokoh aku, yakni tidak tercapainya harapan itu hingga memaksanya untuk pergi meninggalkan pelindungnya ini.
Untuk menggambarkan hubungan interteks kedua puisi dan fungsinya, maka dapat dirumuskan dalam bagan berikut ini.
KBD>

y
KJZK

y
Produk interteks
y-y



Teks hipogram Teks transformasi Fungsi
Unsur y berupa ekspresi harapan dalam puisi KBD> ditransformasikan ke dalam puisi KJZK sebagai teks transformasi. Dengan sifat intertekstualitas yang ada pada kedua teks, maka teks transformasi menunjukkan produktifitas baru atau fungsi bagi teks hipogram, yaitu menampilkan ketidaksesuaian antara harapan di awal pertemuan dengan kenyataan yang ditemui di akhir perjumpaannya dengan Ka>fu>r. Ekspresi harapan yang tidak tercapai tersebut dilambangkan dengan kumpulan huruf y-y. Dengan demikian, Produktivitas baru yang ditimbulkan oleh kedua teks berupa rekonstruksi harapan yang cerah menjadi kenyataan yang suram bagi al-Mutanabbi> berkaitan dengan keinginannya untuk memiliki kekuasaan dalam lingkungan dinasti Ikhsyidiyah di Mesir.
2. Pujian Kepada Ka>fu>r
Unsur z atau ekspresi pujian kepada Ka>fu>r merupakan salah satu unsur dari kedua unsur yang ditransformasikan dari puisi KBD> ke dalam puisi KJZK. Puisi pertama sebagai teks transformasi tampak menghipogram secara potensial ekspresi pujian yang terdapat dalam puisi kedua.
Dalam puisi KBD> ditemukan tanda-tanda yang mendukung sifat-sifat berani Ka>fu>r. Tanda-tanda tersebut berkaitan dengan alat-alat perang yang digunakan oleh Ka>fu>r ketika bertempur menghadapi musuh-musuhnya, seperti tombak, kuda, dan pedang. Penggunaan gaya bahasa metafora, simile, dan personifikasi menampilkan citra Ka>fu>r yang gagah berani di medan pertempuran.
Fragmen puisi KBD> berikut ini akan memperlihatkan sosok Ka>fu>r yang gagah berani sehingga menggerakkan hati al-Mutanabbi>, yang berperan sebagai tokoh aku dalam puisi ini, untuk memujinya.
ترى غير صاف أن ترى الجو صافيا
يؤديك غضبانا ويثنيك راضيا
ويعصي إذا استثنيت أو صرت ناهيا
ويرضاك في إيراده الخيل ساقيا
من الأرض قد جاست إليها فيا فيا
سنابكها هاماتهم والمغانيا
وتأنف أن تغشى الأسنة ثانيا

لبست لها كدر العجاج كأنما
وقدت إليها كل أجرد سابح
ومخترط ماض يطيعك أمرا
وأسمر ذي عشرين ترضاه واردا
كتائب ماانفكت تجوس عمائر
غزوت بها دور الملوك فباشرت
وأنت الذي تغشى الأسنة أولا

36
37
38
39
40
41
42
Puisi KBD> (957 M)
Bait-bait puisi di atas merupakan ekspresi pujian si aku kepada Ka>fu>r. Secara umum, pujian di atas berkenaan dengan keberanian raja dalam peperangan. Bait ke-36 ‘memakai pakaian debu’ melambangkan kegagahan Ka>fu>r yang masuk ke tengah kancah peperangan sehingga ia sendiri berselimut kobaran debu. Akan tetapi, ia tetap bisa melihat musuh dengan jelas dalam kabut debu tersebut.
‘Kuda berambut pendek’ pada bait ke-37 merupakan perumpamaan untuk kuda yang berani. Demikian pula dengan pedang, tombak, dan batalyon yang dibawa ke medan laga laksana prajurit-prajurit yang haus darah. Personifikasi pada empat bait di atas terbukti cukup membangun keutuhan ekspresi puitik.
Bait ke-41 merupakan klimaks dari persiapan perang yang maksimal. Ka>fu>r, dengan gagah berani dan jantan memerangi istana-istana kerajaan lain dan mengalahkannya. Hal ini dikuatkan oleh bait selanjutnya bahwa Ka>fu>r tidak menunggu musuh tetapi mendatanginya. Itulah keberanian Ka>fu>r.
Keberanian Ka>fu>r dalam puisi KBD> di atas juga menjadi ekspresi pujian al-Mutanabbi> kepada Ka>fu>r dalam puisi KJZK. Untuk melihat unsur z yang ditransformasikan dari puisi pertama ke dalam puisi kedua, maka ditampilkan fragmen pujian yang terdapat dalam puisi kedua.

كما غالبت بيض السيوف رقاب
إذا لم تصن إلا الحديد ثياب
رماء وطعن والأمام ضراب
قضاء ملوك الأرض منه غضاب
ولوم يقدها نائل وعقاب
وكم أسد أرواحهن كلاب
ومثلك يعطى حقه ويهاب

وغالبه الأعداء ثم عنوا له
وأكثر ما تلقى أبا المسك بذلة
وأوسع ما تلقاه صدرا وخلفه
وأنفذ ما تلقاه حكما إذا قضى
يقود إليه طاعة الناس فضله
أيا أسدا في جسمه روح ضيغم
ويا أخذا من دهره حق نفسه

21
22
23
24
25
26
27
Puisi KJZK (960 M)

Gambaran tentang keberanian Ka>fu>r tampak dalam simbol-simbol yang terdapat dalam bait ke-21 hingga 27. Pada bait ke-21, terdapat personifikasi yang berfungsi menyangatkan, seolah leher itu memiliki tangan yang menebas pedang. bait ini juga mengandung kontradiksi berupa paradoks, yaitu leher menebas pedang. Pada bait ke-22 dan 23 merupakan ungkapan metaforis yang menimbulkan suasana hidup dalam setiap gerak berani Ka>fu>r di setiap peperangan. Bangunan imajiner dengan auditorial, visual, thermal imegery ini membangun keutuhan ekspresi puitik.
Bait ke-24 melambangkan kearifan Ka>fu>r dalam memutuskan suatu kebijakan. ‘raja-raja menjadi marah’ merupakan simbol kekecewaan raja-raja di sekitar kerajaan Ka>fu>r karena kebijakan itu tidak menguntungkan mereka, bahkan sebaliknya menguntungkan rakyat sebagaimana dilambangkan juga pada bait ke-25. Kedua bait ini mengandung kontradiksi yang berfungsi untuk menegaskan arti. Sedianya rakyat loyal dan taat kepada Ka>fu>r karena kebijakannya. Namun, bait ini memberi kesan loyalitas yang didedikasikan bersifat murni tanpa syarat.
Bait ke-26, Ka>fu>r dimetaforakan sebagai singa dan diperbandingkan dengan singa-singa lain yang berspirit anjing. ‘Singa’ adalah simbol raja hutan yang ditakuti oleh seluruh penghuninya. Bait ini mengandung makna bahwa Ka>fu>r sesungguhnya memang memiliki wibawa sebagai raja baik karena faktor internal, seperti keturunan, kepribadian yang mulia maupun juga karena faktor eksternal, seperti tidak adanya raja lain yang mempunyai kualitas setingkat dengannya untuk menjadi raja (singa yang berspirit anjing). Bentuk metafora dalam bait ini digunakan untuk menimbulkan imaji dan menciptakan keutuhan ekspresi puitik.
Dalam kapasitasnya sebagai raja, Ka>fu>r bisa saja mengambil haknya dari takdir yang biasanya ditentukan seperti dimaksudkan pada bait ke-28 dan 29 Pada kedua bait ini, al-Mutanabbi>, yang hadir sebagai tokoh aku, bermain dengan pisau teologis mengenai kekuasaan Allah dan keterbatasan manusia. Ka>fu>r dianggap melebihi dari entitias manusia biasa. Takdirnya (tentang hidup yang penuh kesenangan dan kekuasaan) diberikan oleh Allah karena takdir itu sendiri takut bila tidak memberikannya. Hal ini berbeda dengan para raja lain, rakyat, termasuk ‘kami’ atau si aku yang menerima perlakuan normal dari sebuah takdir, yakni kadang terpenuhi, kecewa dan seringkali hanya berupa harapan saja.
Melalui pengamatan terhadap kedua puisi ini dapat disimpulkan bahwa unsur z yang pada KJZK diambil dari unsur z pada KBD>, yaitu keberanian Ka>fu>r dalam peperangan. Keberanian yang tergambar dalam frase dan kalimat pada KBD> seperti, ‘Engkau memakai pakaian debu dalam perang’, ‘Engkau bawa kuda berambut pendek’, ‘pedang yang tajam’, ‘tombak’ dan, ‘batalyon’, ‘Engkau perangi istana raja-raja’, Engkau datangi ujung tombak dan enggan terlambat’ diteruskan pada puisi KJZK dengan repetisi kata senada atau makna yang sama seperti, “Ia melawan musuh lalu tunduk // seperti leher yang melawan pedang”, ‘tanpa perlindungan dalam perang (seperti baju besi) dan dadanya lapang (terbuka)’, dan ‘berspirit singa’.
Dengan demikian, teks hipogram dengan unsur z diteruskan al-Mutanabbi> ke dalam teks transformasi. Artinya, terjadi penerusan tradisi yang sama dari puisi KBD> di dalam puisi KJZK. Teks transpomasi berhasil menampilkan produktivitasnya yang baru terhadap ekspresi pujian kepada Ka>fu>r, yakni rekonstruksi atau penegasan makna keberanian Ka>fu>r dalam menghadapi musuh-musuhnya di medan peperangan. Penegasan makna keberanian yang didapatkan melalui upaya pembacaan intertekstual ini merupakan fungsi dari teks transformasi terhadap teks hipogramnya.
Untuk menggambarkan hubungan interteks kedua puisi dan fungsinya, maka dapat dirumuskan dalam bagan berikut ini.
KBD>

z
KJZK

z
Produk interteks
z+z



Teks hipogram Teks transformasi Fungsi

Unsur z berupa ekspresi pujian tentang keberanian Ka>fu>r dalam puisi KBD> ditransformasikan ke dalam puisi KJZK sebagai teks transformasi. Dengan sifat intertekstualitas yang ada pada kedua teks, maka teks transformasi menunjukkan produktifitas baru atau fungsi bagi teks hipogram, yaitu menegaskan makna keberanian Ka>fu>r dalam setiap peperangan. Oleh karena teks transformasi menunjukkan peningkatan makna, maka produk interteksnya dilambangkan dengan kumpulan huruf z+z.
b. Hubungan Intertekstual puisi Wa Khairu Jali>s fiz-Zaman Kita>b dengan
Prosa al-Jahiz.

Puisi ini memiliki hubungan intertekstual dengan prosa al-Ja>hiz} (160 H / 771 M-255 H/ 836 M), seorang penulis prosa Arab Abbasiyah dalam sebuah karyanya berjudul was}f al-kita>b atau deskripsi sifat buku. Tanda-tanda yang menghubungkan keduanya adalah kesamaan gagasan tentang fungsi buku yang diungkapkan dengan cara yang berbeda.
Al-Ja>hiz}, lahir dan besar di kota Basrah, sebuah kota tempat para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu berkumpul. Di kota ini pula terletak pasar sastra yang terkenal al-Marbad. Pada masa hidupnya, aliran teologi Mu’tazilah yang sangat rasional sedang berkembang pesat. Aliran ini mendorong kemajuan ilmu pengetahuan Islam hingga mencapai puncaknya pada masa Abbasiyah. Al-Ja>hiz} sangat cinta ilmu pengetahuan sehingga ia sangat terkenal sebagai penulis lebih dari 250 buku ilmiah dan sastra. Ia adalah orang pertama yang menyusun ensiklopedi sastra seperti “al-Baya>n wa at-Tabyi>n”.[15]
Salah satu karyanya yang terkenal dalam bidang pendidikan adalah teks yang membicarakan urgensi buku. Teks ini banyak disitir oleh kalangan pendidikan (terutama pendidikan agama) sebagai media untuk memotivasi para pelajar agar giat membaca buku. Dengan bahasa prosa yang lugas, tetapi tidak melupakan keindahan bahasa, teks al-Ja>hiz} sering menjadi acuan dalam pelajaran-pelajaran sastra.
Meskipun al-Ja>hiz} hidup seabad sebelum al-Mutanabbi>, tetapi karyanya tetap menjadi inspirasi bagi para generasi sesudahnya. Ketika al-Mutanabbi> sedang mengabdikan dirinya pada Ka>fu>r, penguasa dinasti Ikhsyidiyah di Mesir, ia memuji kecintaan Ka>fu>r terhadap ilmu sehingga sejarawan menyebutnya sebagai a genuine scholar[16]. Al-Mutanabbi> dengan cerdiknya memilih karya al-Ja>hiz} yang abadi sebagai hipogram untuk karyanya. Hal ini berfungsi untuk mensejajarkan intelektualitas Ka>fu>r dengan kenyataan sejarah intelektual masyarakat Abbasiyah.
Unsur yang ditransformasikan dari prosa al-Jahiz ke dalam puisi KJZK dirumuskan ke dalam bagan berikut.
Was}f …

x
y
z

±180 H/791M
KJZK..

x
y
z

349 H/960 M







Hipogram Teks transformasi
Dari bagan ini dapat dilihat ekspresi gagasan yang ditransformasikan dari prosa al-Jahiz ke dalam puisi KJZK. Setelah disejajarkan, tampak ada unsur x, y dan z pada prosa yang diserap dan ditransformasikan ke dalam puisi KJZK, yaitu unsur x berupa subjek kalimat nominal (mubtada’), unsur y berupa keterangan subjek (khabar), dan unsur z atau keterangan tempat. Untuk mengetahui lebih detil, akan ditampilkan prosa al-Jahiz dalam mendeskripsikan urgensi dan fungsi buku.

الكتاب نعم الذخر والعقدة والجليس والعمدة, ونعم النشرة ونعم النزهة, ونعم المشتغل والحرفة, ونعم الأنيس ساعة الوحدة ونعم المعرفة ببلاد الغربة, ونعم القرين الدخيل والزميل ونعم الوزير والنزيل. الكتاب وعاء ملئ علما, وظرف حشي ظرفا. إن شئت سرتك نوادره وشجتك مواعظه [17]

(Buku adalah sebaik baik investasi dan komunikasi teman duduk dan teman bersandar. Ia sebaik-baik berita dan rekreasi, sebaik-baik aktivitas dan profesi. Sebaik-baik teman saat sendiri dan sebaik-baik pengetahuan di negeri yang asing. Buku adalah sebaik-baik teman akrab dan kedudukan. Buku itu merupakan tempat yang dipenuhi oleh ilmu dan kecerdasan. Jika engkau mau, leluconnya akan menghiburmu dan petuah-petuahnya akan memesonakanmu).

Dalam teks tersebut, al-Ja>hiz} mendeskripsikan fungsi buku secara komplit. Unsur x atau subjek kalimat nominal (mubtada’) yang disebutkan adalah buku atau al-kitab. Unsur y atau keterangan subjek (khabar) adalah sebaik-baik teman, berita dan rekreasi, aktivitas dan profesi, serta investasi dan kedudukan. Sementara unsur z berupa keterangan tempat dan waktu sebagai pelengkap, yaitu di tempat yang asing atau saat sendiri. Intinya, Buku tidak saja berfungsi sebagai bahan bacaan, tetapi juga sebagai teman yang selalu bisa diajak berdiskusi baik saat sendiri maupun juga di tempat yang ramai. Lebih jauh, buku juga berfungsi sebagai investasi yang bermanfaat bagi profesi dan jabatan.
Dalam puisi KJZK ditemukan gagasan yang sama, terutama pada bait ke-18, mengenai urgensi dan fungsi buku dengan prosa al-Ja>hiz}. Persamaan gagasan terdapat pada unsur x dan y. Sementara pada unsur z, al-Mutanabbi> menggunakan kata yang berimplikasi sangat luas, yaitu “dunia”. Hal ini melambangkan bahwa kecerdasan Ka>fu>r yang laksana buku tersebut tidak saja berfungsi sebagai teman dalam lingkup yang kecil sebagaimana diindikasikan oleh al-Ja>hiz}, tetapi juga berfungsi dalam lingkup yang sangat luas, yaitu teman di dunia atau teman dalam kehidupan di dunia. Suatu pujian yang sangat meningkatkan citra Ka>fu>r sebagai seorang intelektual.
وأعز مكان في الدنى سرج سابح وخير جليس في الزمان كتاب
(sebaik-baik tempat di dunia adalah pelana kuda dan sebaik-baik teman di suatu waktu adalah buku)
Puisi KJZK (960 M)
Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan al-Mutanabbi> mentransformasikan unsur-unsur yang terdapat dalam prosa al-Ja>hiz} ke dalam puisi KJZK. Keduanya memiliki kesamaan gagasan tentang urgensi dan fungsi buku, yaitu sebagai teman terbaik. Hanya saja terdapat perbedaan dalam cara pengungkapannya dikarenakan bahasa puisi lebih padat sementara bahasa prosa tampak seperti bahasa sehari-hari. Perbedaan tersebut akan diuraikan pada keterangan di bawah ini.
Pada unsur y, Al-Mutanabbi> memakai kata خير sementara al-Ja>hiz} menggunakan kata نعم untuk menyatakan ‘sebaik-baik’. Kata selanjutnya yang memiliki kesamaan adalah جليس yang digunakan untuk arti ‘teman’. Adapun arti sebenarnya dari kata tersebut adalah ‘teman duduk’ karena ia diambil dari kata kerja lampauجلس yang berarti duduk.
Pada teks hipogram, kata teman ini diekspansi ke dalam kata-kata serupa yang masih memiliki arti yang sama. Repetisi ini berfungsi memberikan aksentuasi dan juga merupakan ciri bahasa prosa yang bermaksud menyampaikan tujuan bacaan secara jelas. Repetisi tersebut tampak dalam kata-kata:الأنيس القرين, الدخيل, الزميل, yang pada hakekatnya merupakan sinonim dari kata الجليس yang berarti teman.
Untuk menyatakan unsur z atau keterangan tempat/waktu, al-Mutanabbi> menggunakan kata فى الزمان (di dunia/dalam suatu waktu) sementara al-Ja>hiz} menggunakan kata yang lebih beragam, yaitu ساعة الوحدة\ببلاد الغربة (saat sendiri/di negeri yang asing). Sedangkan perbedaan pda unsur x, Al-Ja>hiz} meletakkan subjek kalimat الكتاب di awal dalam prosanya karena kedudukannya sebagai مبتدأ (subjek kalimat normal), sedangkan pada puisi KJZK diletakkan di akhir kalimat sebagai مبتدأ مؤخر (subjek yang diakhirkan dari keterangan) dengan menghilangkan artikel
Berdasarkan penjelasan di atas, Was}f al-Kita>b yang ditulis oleh al-Ja>hiz}, seorang ilmuwan dan sastrawan Arab sebelum al-Mutanabbi>, merupakan teks hipogram dari baris KJZK yang merupakan judul dari puisi ini. Gagasan tentang sifat buku sebagai tempat penuh ilmu pada prosa al-Jahiz diteruskan dan dilekatkan sosok Ka>fu>r pada puisi al-Mutanabbi>. Akan tetapi ciri khas bahasa prosa yang lebih jelas ditentang dengan ciri khas bahasa puisi yang padat dan bermetrum. Puisi KJZK sebagai teks transformasi, selain mengakomodasikan gagasan tentang dirinya sendiri juga mengakomodasikan gagasan teks hipogramnya sehingga memproduksi secara ekspresif makna intelektualitas Ka>fu>r sebagai penguasa yang berwawasan.
Produk interteks
xyz+xyz
KJZK

x,y,z
Was}f…

x,y,zUntuk menggambarkan hubungan intertekstual antara prosa al-Ja>hiz} dan puisi KJZK , maka dapat dirumuskan dalam bagan berikut ini.



Teks hipogram Teks transformasi Fungsi

Unsur x,y, dan z sebenarnya adalah sebuah kalimat nominal berbentuk kalimat sempurna (SPOK) yang menggagas tentang urgensi dan fungsi buku. Unsur-unsur x,y, dan z dalam prosa al-Ja>hiz} ditransformasikan ke dalam puisi KJZK dengan cara yang berbeda, baik dari segi susunan maupun sifat pendeskripsiannya, tetapi mengandung gagasan yang sama. Susunan prosa al-Ja>hiz} lebih lugas dan luas karena sesuai dengan sifat prosa yang mendeskrisikan sesuatu apa adanya. Sementara susunan teks pada puisi KJZK lebih padat sesuai dengan sifat puisi yang mengekspresikan sesuatu secara tidak langsung. Sementara gagasan yang tentang urgensi dan fungsi buku diteruskan dan dilekatkan pada Ka>fu>r untuk menggambarkan kecerdasan dan wawasannya yang luas.
Dengan sifat intertekstualitas yang ada pada kedua teks, maka teks transformasi menunjukkan produktifitas baru atau fungsi bagi dirinya sendiri, yaitu menunjukkan dan mensejajarkan intelektualitas Ka>fu>r sebagai penguasa yang berwawasan dengan tradisi keilmuwan dinasti Abbasiyah secara umum. Dengan mengambil gagasan prosa al-Ja>hiz} yang diciptakan dalam suatu periode kemajuan ilmu pengetahuan, maka citra Ka>fu>r akan mengalami peningkatan volume sebagai seorang intelek yang menjaga tradisi keilmuwan dinasti Abbasiyah. Akumulasi dari hubugan intertekstualias tersebut memberikan pengaruh kepada fungsi atau produk interteks tersebut yang dilambangkan dengan kombinasi dan kumpulan huruf xy z+ xy z.
Kesimpulan
Demikianlah hubungan antara al-Mutanabbi> dengan Ka>fu>r dapat digambarkan dengan kajian intertekstual, baik yang yang tergambar dalam puisinya sendiri maupun bila dilihat dari teks lain, yaitu prosa al-Ja>hiz}. Hubungan tersebut terbentuk berupa dedikasi tinggi yang dibuktikan dengan pujian terhadap Ka>fu>r, baik berupa pujian akan keberanian, kedermawanan, dan kecerdasan sang penguasa Iksyidiyah ini. Akan tetapi, hubungan kedekatan tersebut tidak bisa dipertahankan karena Ka>fu>r tidak kunjung memenuhi janjinya sehingga al-Mutanabbi> merasa kecewa karena harapannya tidak sesuai dengan kenyataan yang ditemui. Akhirnya, al-Mutanabbi> pergi meninggalkan Ka>fu>r menuju perlindungan raja berikutnya, yaitu Adud ad-Daulah.

DAFAR PUSTAKA
Ashtiany, Julia, Abbasid Belles Letter, (USA: Cambridge University Press, 1990)

al-Hasyim, Yoseph, Abu T}ayyib al-Mutanabbi> Dira>sah wa Nus}u>s, (t.t., al-Maktabah at-Tijariyah at-T}iba>’I wa at-Tauzi>’, 1966)

A. Teeuw, Membaca dan Menilai Sastra, (Jakarta: Gramedia, 1983)m h. 62-65

Riffaterre, Mikhael, Semiotics of Poetry, (Bloomingtoon: Indiana University Press, 1978)

Nurgiyantoro, Burhan, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: UGM Press, 1991)

Culler, Jonathan, Stukturalist Poetics, Strukturalism, Linguistics, and the Study of Literature, (Ithaca New York: Cornell University Press, 1977)

Young, Robert (ed), Untying The Text A Post Structuralist Reader. (London & New York: Routledge & Kegan Paul, 1981)

Subaiti, Mustofa, Syarah Di>wa>n Abi at-T}ayyib al-Mutanabbi>, juz II, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1986)

Toha Husein, Ma’a al-Mutanabbi, (Cairo: Dar al-Ma’arif, t.t.)

Abdul Kadir, Muzakkirah fi at-Tarikh al-Adab al-‘Araby, (Kuala Lumpur: DBP, 1987)

[1] Hamori (dalam Ashtiany), Abbasid Belles Letter, (USA: Cambridge University Press, 1990), h. : 301.
[2] Yoseph al-Hasyim, Abu T}ayyib al-Mutanabbi> Dira>sah wa Nus}u>s, (t.t., al-Maktabah at-Tijariyah at-T}iba>’I wa at-Tauzi>’, 1966), h. 43.
[3] Ibid. h. 21
[4] A. Teeuw, Membaca dan Menilai Sastra, (Jakarta: Gramedia, 1983), h. 62-65
[5] Mikhael Riffaterre, Semiotics of Poetry, (Bloomingtoon: Indiana University Press, 1978), h. 23
[6] A. Teeuw, Membaca …, h. 65
[7] Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: UGM Press, 1991), h. 51
[8] A. Teeuw, Membaca…,h. 65
[9] Jonathan Culler, Stukturalist Poetics, Strukturalism, Linguistics, and the Study of Literature, (Ithaca New York: Cornell University Press, 1977), h. 139
[10] Robert Young, (ed), Untying The Text A Post Structuralist Reader. (London & New York: Routledge & Kegan Paul, 1981), h. 39
[11] Ibid., h. 36
[12] Mustofa Subaiti, Syarah Di>wa>n Abi at-T}ayyib al-Mutanabbi>, juz II, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1986), h. 202
[13] Toha Husein, Ma’a al-Mutanabbi, (Cairo: Dar al-Ma’arif, t.t.), h. 274-8
[14] Yoseph al-Hasyim, Abu Tayyib…,h. 22
[15] Abdul Qadir, Muzakkirah …,h. 57
[16] Britanica Ensyclopedia, (CD, 2005), h. 1
[17] Abdul Kadir, Muzakkirah fi at-Tarikh al-Adab al-‘Araby, (Kuala Lumpur: DBP, 1987), h. 152

Tidak ada komentar: