Rabu, 05 Desember 2007

MENAPAK TILAS KELISANAN DAN KEBERAKSARAAN

Oleh: Muhammad Walidin

A. Pendahuluan
Kesusastraan Arab mengenal dua tradisi sastra yang kokoh dan kuat, yaitu prosa dan puisi. Keduanya tumbuh dalam lingkungan yang baik. Puisi, sebagai salah satu genre sastra yang paling banyak digandrungi mencapai puncak penghargaan di festival Ukkaz. Karya para maestro itu lalu tersebar luas di masyarakat melalui rantai transimisi secara lisan. Namun, kokohnya tradisi lisan, tidak mematikan sama sekali tradisi tulisan, terbukti dengan karya-karya diabadikan dalam bentuk tulisan sebagai diwan al’Arab (arsip kebudayaan Arab asli). Beberapa kalangan telah mengenal baca-tulis dan mereka banyak memberikan kontribusi pengetahuan ini pada masa berikutnya.
Bila Vladimir Propp telah melakukan penelitian terhadap sastra lisan rakyat Rusia dengan sebuah studi yang berjudul the Morphology of Folktale (edisi aslinya 1928, edisi Inggris pertama yang jelek tahun 1958, direvisi tahun 1968), dan Parry serta muridnya Albert B. Lord meneliti karya Homerus dan epos rakyat Yugoslavia pada tahun 1960 dengan terbitnya buku The Singer of Tales, maka Khalil bin Ahmad Al-Farahidi (hidup tahun 100-174 H/711-785 M), jauh sebelum itu, telah melakukan penelitian terlebih dahulu terhadap komposisi struktur, dan sistem puisi Arab. Ia telah menyusun buku tentang musik puisi dengan judul Al-Iqa dan Al-Nagham. Kedua buku ini secara tuntas mengupas habis komposisi puisi Arab tradisional.
Tulisan ini mencoba melihat tradisi kelisanan dalam kesusastraan Arab pra-Islam berdasarkan elemen-elemen konseptual Ruth Finnegan tentang tradisi lisan dan seni verbal, yaitu Performansi, Komposisi, dan Transmisi. Pada akhirnya, tulisan ini menjastifikasi bahwa tradisi sastra lisan lebih dominan dari pada tradisi sastra tulisan pada masyarakat Arab pra-Islam.
B. Kesusasteraan Arab Pra-Islam
Sebenarnya sejarah bangsa Arab sudah dimulai sejak abad ke-3 SM, yaitu sejak putra Nabi Nuh yang bernama Sam yang kemudian melahirkan bangsa Semit atau Samiyah, akan tetapi sejarah kesusasteraan Arab baru dimulai ± tahun. 500 M. hal ini karena kaitannya dengan faktor perkembangan bahasa Arab.
Putra Nabi Nuh yang bernama Sam itu yang kemudian melahirkan bangsa Semit, pada gilirannya melahirkan suatu induk rumpun bahasa yaitu bahasa Semitik. Dari induk rumpun bahasa inilah kemudian lahir bahasa Arab (±500 M, dan bahasa-bahasa lainnya, seperti bahasa Babilonia (3000-50 SM), Asiatia, Maabit, Ibrani (1500 SM), Aramea (800 SM), Ethopia (350 M), Tiger, Ambarie dan Tigrina. A. Nicholson mengkronologikan kelahiran bahasa Arab sebagai berikut : Semit (± 3000 SM), Babilonia atau Assyiria (± 3000-500 SM), Ibrani (mulai ± 1500 SM), Sabasa atau Himyar (mulai ± 800 SM, Aramea (mulai ± 800 SM), Punisia (mulai ± 700 SM), Ethopia (mulai ± 350 M), Arab (mulai ± 500 M).[1]
Oleh karena itulah, maka periodeisasi kesusasteraan Arab baru dapat dimulai pada ± th. 500 M. Dalam hal ini yang perlu diketahui bahwa orang Arab jahiliyah yang dikenal sebagai orang pertama menciptakan syair Arab yang sempurna adalah Muhalhil bin Rabiah Attaghlaby. Sebenarnya ia bernama lengkap ‘Adi bin Rabi’ah, hidup pada pertengahan abad kedua (antara tahun 491-531 M), dia inilah yang pertama kali menyempurnakan syair Arab dalam bentuk kasidah dengan bermacam wazan dan qafiyah (Al-Zayat, t.t. : 28). Dianggap demikian karena dari sekian banyak syair Arab yang ditemukan hanyalah sampa pada zaman Muhalhil saja, dan itupun hanya tersisa tiga puluh bait saja. Walupun demikian, tidak berarti bahwa permulaan timbulnya syair dimulai dari zaman Muhalhil. Bahkan lama sebelum itu syair Arab telah ada, hanya saja syair Arab tradisional/tradisional sebelum Muhalhil telah lenyap (Al-Arab al ba’idah). Hal ini dikuatkan oleh penyair jahiliyah sendiri yang mengatakan bahwa sebelum masa Muhalhil bangasa Arab telah mengenal syair.
Imri al Qais (Junduh bin Hajar al-Kindy), penyair tertinggi masa jahiliyah yang muncul pada abad ke-7 (antara tahun 600-630 M), ia masih satu keturunan dengan Muhalhil yakni dari suku Banu Taghlib, mengatakan :



“Mari ita kembali kepada puing yang runtuh, karena kami akan mengenang (menangisi) kembali kekasih yang telah pergi, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Khuzam.

Bait tersebut berarti bahwa segala apa yang dilakukan penyair zaman jahiliyah hanyalah meniru perbuatan penyair sebelumnya. Sudah menjadi formula bahwa banyak puisi tradisional dibuka dengan menyebutkan kenangan indah bersama kekasihnya, maka penyair belakangan juga meniru segala apa yang telah pendahulu mereka lakukan.
Syair Zuhair berikut, juga penyair terkenal masa itu, dapat dijadikan bukti bahwa bangsa Arab kuno juga telah mengenal syair, sedangkan penyair sesudahnya mengambil formula-formula dari syair nenek moyang mereka di masa kuno. Zuhair berpuisi :



“Kata syair yang kami ucapkan dewasa ini tak lain hanyalah kata syair tiruan atau ulangan dari kata syair masa lampau”. (H. Bey Arifin, 1983: 34-35)

Dari penggalan bait-bait di atas, dapat disimpulkan bahwa sebelum abad masehi bangsa Arab juga telah mengenal syair, hanya saja telah lenyap dimakan masa dan Muhalhil adalah penerus belaka.

C. Performansi Puisi Arab Tradisional
Performansi adalah suatu perilaku komunikasi dan tipe peristiwa komunikasi yang memiliki dimensi proses komunikasi yang bermuatan sosial, budaya, dan estetis. Performansi dan komposisi dalam setiap pertunjukan selalu unik dan berbeda. Dengan demikian, akan ada komposisi teks yang baru dalam setiap performansi.
Syair dan penyair adalah dua sisi mata uang dalam kaitannya sebagai pencipta dan hasil cipta (product). Melihat perkembangan syair pada masyarakat Arab akan lebih lengkap bila terlebih dahulu melihat penghargaan masyarakat terhadap seseorang yang berprofesi sebagai penyair. Dari situ akan terlihat betapa penting syair dalam kehidupan mereka.
Penyair memiliki status sosial yang tinggi di mata orang Arab pra-Islam. Hal ini karena posisi penyair merupakan ujung tombak pembela kehormatan kaum dan keluarga kabilahnya. Penyair terkadang diperalat sebagai pemberi semangat perjuangan, memberikan sokongan suara bagi seorang untuk dapat diangkat sebagai kepala kabilah, dan ada pula yang menggunakan mereka sebagai perantara perdamaian antarsuku yang sedang bertikai.
Oleh karena itu, bila ditemukan seorang pemuda yang pandai merangkum gubahan syair, maka pemuda tersebut akan dimuliakan oleh seluruh anggota kabilah dalam suku itu. Pemuda tersebut akan menjadi tunas pembela kabilah dari segala serangan dan ejekan penyair kabilah lain, bahkan kehadirannya akan disambut dalam sebuah pesta sebanding dengan adanya pesta perkawinan (H. Bey Arifin, 1983: 38). Menurut pandangan bangsa Arab syair merupakan puncak keindahan dalam sastra, sebab ia adalah gubahan yang dihasilkan dari kehalusan perasaan dan keindahan khayali. Oleh sebab itu, mereka lebih menyenangi genre puisi dari pada prosa.
Kondisi geografis Jazirah Arab yang tandus menjadikan masyarakatnya mencari bahan pelipur lara dalam bentuk puisi (baca : Masyarakat sebagai audiens fanatik). Alam bebas, perjalanan panjang dalam berniaga, peperangan dan berbagai fenomena alam dijadikan setting puisi yang sangat indah dengan gubahan lirik yang indah dan halus pula. Maka terbentuk delapan jenis puisi. Bentuk dan warna akan berlainan antara satu dengan yang lain, dan semuanya akan mewarnai dengan corak yang sesuai dengan tujuannya masing-masing.

D. Komposisi Puisi Arab Tradisional
Komposisi teori Tukang cerita/pencerita dalam menuturkan ceritanya tidak pernah penuh-penuh terikat pada teks mula yang pernah didengarnya. Bagian yang tetap adalah inti cerita, sedangkan selebihnya tidak pernah tetap (Lord, 1976:99). Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Sweeney (dalam Teeuw, 1984:301) bahwa setiap pementasan atau penuturan merupakan parafrasis naskah induk yang imajiner.
Cerita disampaikan oleh pencerita/ tukang cerita kepada masyarakat pendengar. Penyampai cerita atau tukang cerita selalu menggunakan formula yang telah disediakan 0leh tradisi (Ong, 1982:19), (Lord 1976), (Finnegan 1977), (Thompson 1977), (Sweeney 1980), (Philips 1981) ataupun (Abdullah 1981). Formula-formula yang dilakukan untuk mengungkapkan tokoh, peristiwa yang berlangsung dalam cerita, mengidentifikasikan waktu, dan mengidentifikasikan tempat (Lord, 1976:34). Akan tetapi, formula yang tidak mengikat seperti diungkapkan di atas tidak begitu berlaku dalam tradisi puisi Arab tradisional karena begitu patuhnya mereka akan konvensi syair.
Kesusastraan Arab mengenal dua bentuk sastra : Prosa dan Puisi. Yang pertama adalah susunan kalimat yang tidak terikat wazan dan qofiyah. seperti al-khutbah (pidato), al-Mastal (peribahasa), al-Hikmah (pepatah). Sedangkan Puisi adalah susunan kalimat yang berwazan dan berqafiyah (rima) (Iskandar, 1961: 21).
Puisi merupakan tradisi kesusastraan tua dan terkokoh. Tradisi ini mampu membentuk sistem konvensi yang begitu kuat. Hingga sampai abad ke-19 pun sistem puisi Arab sulit untuk melepaskan diri dari konvensi ini. Bahkan sampai sekarang pun belum sepenuhnya mampu melepaskan diri dari salah satu aspek konvensi ini.
Konvensi puisi Arab tradisional yang dimaksud adalah meliputi : adad al bait (jumlah bait), Aqsam al-bait (bagian-bagian bait), al-arudh (kesatuan bunyi), al-taf’ilah (struktur pengulangan kesatuan bunyi dalam penggalan bait), al-bahri (metrum), dan al-qafiyah (bunyi akhir suatu bait/rima) (Umar, 1992: 72).
Genre puisi yang paling kuat mewarnai khazanah kesusasteraan Arab adalah jenis qasidah (ode). Jumlah bait dari ode ini biasanya terdiri dari enam bait atau lebih, dan terbagi dalam dua bagian yang dihubungkan dengan simbol (* , -•-,) atau perbedaan baris. Walaupun demikian, satu bait masih merupakan satu konstituen (unit makna). Pembagian tersebut terkadang meyebabkan pemotongan di tengah kata.. Bagian pertama dinamakan sadr (dada), sedangkan bagian kedua dinamakan ajuz (ekor). Untuk lebih jelas, lihat puisi ‘Abid ibn al-Abras berikut :

Kata الجنوب (selatan) di atas adalah satu kesatuan arti, akan tetapi dipisahkan ke dalam sadr dan ajuz. Hal itu bukan hanya berfungsi sebagai persamaan fonemik saja, tetapi satuan bunyi tersebut disesuaikan dengan wazan/baharnya.
Istilah-istilah di dalam al-arudh/wazan (timbangan syair/kesatuan bunyi), ada beberapa macam, di antaranya : potongan-potongan irama (taqti’), satuan suara (terdiri dari vokal dan konsonan), satuan irama (al-taf’ilah), irama (wazan), kecepatan irama (zihaf), cacat irama (illat), Darurat syair, dan metrum/lagu (al-bahr, serta sajak (qafiyah). Untuk lebih jelas, lihat fragmen berikut ini :
1.
2.

3.

Baris pertama adalah syair indah dan liris, bila dipotong (taqti’) akan terbentuk menjadi kalimat tak sempurna seperti pada nomor 2. walaupun tak sempurna, kalimat tersebut telah membentuk satuan bunyi yang sama (wazan) dengan mengikuti metrum (bahar wafir) seperti nomor 3, yang berisi satuan-satuan irama (taf’ilah-taf’lah) yang berjumlah enam. Pada bagian akhir kalimat (digaris bawahi), akan terbentuk rima yang sama hingga puisi tersebut berakhir.
Bahar/metrum dalam puisi tradisional terdiri dari 16 buah. Setiap bahar mempunyai satuan irama (taf’lah) yang berbeda pula. Kesemuanya itu menambah semarak irama yang ditimbulkan oleh setiap bait puisi. Sementara itu, sajak dalam puisi Arab Tradisional hanya mengenal irama a-a-a-a, tidak ada variasi pada rima. Variasi hanya terjadi pada huruf/bunyi sebelum huruf/bunyi terakhir.
Konvensi yang baku seperti ini sangat ketat adanya dalam puisi-puisi Arab tradisional. Kondisi semacam itu dapat dipahami, karena secara internal sistem bahasanya sendiri mendukung. Bentuk tatabahasa Arab dalam pola konjugasinya mempunyai pola keteraturan yang tinggi dan struktur bahasa Arab juga mempunyai tingkat kebakuan yang tinggi pula. Sehingga secara alami bahasa Arab sudah memberikan kemungkinan yang tinggi pula dalam kreatifitas pencapaian harmonitas rima dan ritma dalam berpuisi yang kokoh terkonvensi. Kemudian setelah kedatangan Islam, faktor psikologis adanya bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur’an memperkuat kebakuannya. Masyarakat Arab dan masyarakat Islam umumnya telah memandang, menganggap dan memperlakukan bahasa Arab dengan sikap yang berbeda dengan bahasa-bahasa lain, sehingga bahasa Arab terjaga kebakuannya.
Konvensi atau formula di atas ditemukan oleh seorang pemerhati sastra dari Basrah, Kholil bin Ahmad Al-Farahidi (100-174) yang hidup di masa pemerintahan Bani Umayyah. Ia telah mengadakan penelitian terhadap puisi-puisi Arab Tradisional, karena ia melihat banyak penyair zamannya yang berimprovisasi dengan formula baru dan mulai mengaburkan formula lama. Tapi banyak juga dari penyair modern yang tetap memakai konvensi lama tersebut dalam puisi-puisi mereka. Hal ini membuktikan bahwa konvensi tersebut sangat kuat mengakar dalam perkembangan sastra Arab bahkan hingga masa kini.

D. Transmisi Puisi Arab Tradisional
Transmisi merupakan pewarisan atau regenerasi penceritaan. Dalam hal ini Finnegan membedakan remembering dan memorizing; aktivitas mengingat dengan inovasi-inovasi baru atau menghafal sama sekali tanpa perubahan.
Tidak banyak sumber qat’i yang bisa dijadikan rujukan apakah puisi Arab terlebih dahulu disampaikan secara lisan, baru ditulis atau sebaliknya, ditulis dahulu baru dikonsumsi secara lisan. Hanya saja hal itu bisa disimpulkan dari beberapa clues yang mengarah kepada pilihan pertama.
Petunjuk pertama, adalah adanya beberapa festival tahunan yang diadakan dalam rangka menyemarakkan bulan haji (zulhijjah). Setahun sekali, penduduk semenanjung Arabia berziarah ke Mekkah untuk berhaji.[2] Maka keramaian telah dimulai pada bulan sebelumnya yaitu zulqaidah. Para peziarah, selama duapuluh hari (dari tgl 1-20 zulqa’idah) memadati festival yang diadakan di pasar Ukkaz,[3] sebuah tempat terletak antara Mekkah dan Thaif (lebih dekat ke Thaif). Memasuki sepuluh hari terakhir dari bulan zulqaidah, festival berpindah ke pasar Majinnah, sebuah tempat yang lebih dekat ke Mekkah. Selanjutnya, memasuki bulan zulhijjah, festival berpindah ke pasar Zu al-Majaz, terletak di balik bukit Arafah, sampai datangnya waktu berhaji pada tanggal sepuluh.
Festival/pasar tersebut tidak hanya berfungsi sebagai arena perdagangan, tetapi juga digunakan untuk keperluan lain, antara lain : berdiskusi tentang masalah-masalah yang krusial, pemecahan masalah terhadap permasalahan agama dan moral, dan arena adu kemahiran dan keindahan dalam menggubah puisi sebagai festival tahunan paling bergengsi.
Dari hasil festival ini, muncul istilah al-Muallaqat (yang digantungkan). Yaitu karya-karya puncak dari penyair Arab, yang memenangkan festival sastra karena kebagusan bahasa dan keindahan imajinya. Istilah al-muallaqat tersebut bisa diartikan dalam tiga pemahaman. Pertama, sebagai simbol/perumpamaan bahwa puisi-puisi terbaik itu tergantung seperti mutiara di kalung-kalung wanita cantik. Kedua, karena puisi-puisi itu ditulis di atas kain katun Mesir dengan tinta emas lalu digantungkan di dinding ka’bah. Bila pendapat ini benar, maka orang-orang yang thawaf saat ibadah haji akan melihat puisi ini lalu menghafalkannya. Ketiga, karena puisi-puisi terbaik tersebut tergantung di alam fikiran orang-orang alias dihafalkan. Tampaknya Hasan Syazali dkk, pengarang buku Al-Adab Nususuh wa Tarikhuh ini, lebih sepakat dengan opsi ketiga dengan alasan bahwa ketika fathu Makkah dan pembersihan ka’bah dari berhala, tidak ditemukan sisa-sisa tulisan puisi.
Ada tujuh Muallaqat masyhur yang merupakan karya emas pada masa jahiliyah, yaitu ; Imri al-Qais dengan wasfu al-lail wa al-khail, ; Antarah. Tarofah dan Amru bin Kulsum dengan al-fakhr wa al-Hamasah, ; Zuhair dengan Ghazal, madah wa hikmah, ; serta Haris bin Hillizah.
Ketujuh Muallaqat, tersebut merupakan puisi yang sangat panjang. Misalnya karya Imri al-Qais terdiri dari 81 bait, karya Tarafah terdiri dari 103 bait, karya Zuhair terdiri dari 62 bait karya Labid terdiri dari 88 bait dan karya Antarah terdiri dari 75 bait.
Dari peristiwa festival ini, lalu dihafalkannya puisi-puisi terbaik oleh peziarah Mekkah, maka ketika mereka pulang ke tempat masing-masing, puisi itu akan berpindah dari satu mulut ke mulut yang lain, sehingga keberadaannya akan menyebar dan penyairnya akan sangat terkenal. Artinya, rantai transmisi puisi begitu bebas, tidak hanya boleh diucapkan oleh penciptanya saja, tetapi siapapun bisa mengutip puisi tersebut, karena telah menjadi milik masyarakat.
Maka bisa disimpulkan bahwa tradisi sastra tulisan belum populer di kalangan masyarakat Arab jahiliyah, karena berbagai keterbatasan. Sebaliknya, tradisi sastra lisan lebih tampak dominan karena didukung oleh banyak faktor, antara lain ; kecintaan terhadap puisi menjadikan proses penghafalan lebih mudah, di samping memang tradisi menghafal di kalangan Arab patut diberi tabik.
Petunjuk kedua adalah bahwa bangsa Arab pada saat ini belum mengenal ilmu pengetahuan secara sempurna, karena kebanyakan mereka tidak mengenal membaca dan menulis. Oleh karena itulah mereka lebih menyukai puisi daripada prosa karena puisi lebih mudah dihafal.
Bila dikatakan pengetahuan mereka tidak sempurna memang benar adanya, karena pengetahuan mereka hanya terbatas pada lingkungan gurun dan pengetahuan awam saja[4]. Artinya tidak dalam bentuk pengetahuan yang terdokumentasi. Pengetahuan yang berkembang, antara lain ; dalam bidang pengobatan manusia dan hewan, mereka telah menemukan sistem pengobatan. Hal ini diketahui dari bahasa mereka yang telah menyebut anatomi tubuh manusia dan binatang serta beberapa penyakit. Pengobatan dilakukan dengan menggunakan dedaunan, bekam tetapi juga ada yang bersifat mantra magis. Di antara tabib yang terkenal adalah Al-Haris bin Kaldah al-Tsaqafi dan Ibnu Huzaim al-Tayami. Dalam bidang navigasi, mereka bisa menentukan seseorang atau seekor binatang dari jejak yang ditinggalkannya; dunia paranormal juga telah mereka kuasai dan akhirnya dibatalkan oleh Islam; dan ilmu perbintangan, angin dan dan awan ; serta ilmu nasab (keturunan), mereka hafal nasab kabilahnya bahkan kabilah-kabilah lain. Namun yang paling menonjol dari sekian pengetahuan itu adalah kemampuan mereka dalam bidang sastra, kemampuan menyusun kalimat-kalimat yang indah dalam tutur dan sapa. Dalam hal ini, Qur’an telah menantang mereka untuk menandingi keindahan ayat-ayat al-Qur’an (Syazali, 1976: 19).
Petunjuk ketiga adalah bahwa tradisi tulis menulis di kalangan Arab masih sangat eksklusif. Kalaupun ada, hanya beberapa orang saja yang memiliki keahlian tersebut. Seperti Sofyan bin Umaiyah dan gurunya Aslam bin Adrah serta beberapa orang Quraisy yang belajar tulisan Himyari di kota Hyrah (Iraq).
Bila dihubungkan dengan perkembangan tulisan pada bangsa Arab, maka dapat diketahui bahwa tulisan mereka merupakan kelanjutan heirogliph melalui tulisan Punisia. Tulisan Punisia lebih mudah karena sebagai bangsa pedagang, mereka menginginkan tulisan yang cepat. Jadi tulisannya sudah berbentuk idiogram (tulisan bunyi), bukan lagi piktogram (tulisan gambar). Sumbangan terbesar bangsa Punisia bagi kemajuan dunia adalah merekalah yang pertama menciptakan huruf Alphabet. Dari tulisan Punisia ini, selanjutnya timbul beberapa tulisan Arami yang dipakai penduduk sekitar daerah-daerah Palestina, tulisan Musnad, tulisan Himyari juga telah berkembang ke utara (Iraq) pada tahun 268 M, dan tulisan Nabthi juga tumbuh di Iraq.
Tulisan yang berpengaruh besar pada perkembangan bahasa Arab kemudian adalah tulisan Himyari, tulisan Strangeli dan tulisan Nabthi, tapi hanya tulisan ketiga yang lebih dekat bentuknya dengan tulisan Arab yang sekarang. Bukti yang memperkuat hal di atas adalah ditemukannya tulisan pada batu yang dikenal dengan Naqsh al-Namarah yang berasal dari tahun 328 M, yakni hampir tiga abad sebelum datangnya Islam (Israr, 1985: 37).
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa kontak niaga antara penduduk Arab utara dan Arab selatan (Yaman) yang tingkat kebudayaannya lebih tinggi turut mempengaruhi perkembangan pengetahuan di tanah Hijaz, tetapi cerita mengenai inskripsi-inskripsi seperti terpahat pada monumen-monumen (tradisi tulis) yang terdapat pada kerajaan-kerajaan Minaiyah, Sabaiyah dan Himyariyah hanya direkam oleh sejarawan melalui cerita lisan belaka (Shiddiqi, 1989: 26).

Penutup
Puisi Arab tradisional tidak tumbuh lalu sempurna, tetapi ia berproses hingga menemukan bentuknya yang baik dalam sajak dan irama pada masa Muhalhil. Keahlian seperti ini sangat umum dikalangan orang Arab, tetapi hanya beberapa saja yang menonjol, seperti Imri al-Qais dsb. Yang patut dihargai adalah kekuatan mereka dalam menjaga tradisi termasuk dalam hal puisi. Mereka menjaga konvensi yang telah ada tanpa merusaknya sedikitpun, sehingga konvensi itu masih terjaga hingga kini.
Proses transformasi puisi berjalan secara lisan selama bertahun-tahun karena berbagai faktor yang tidak memungkinkan untuk ditulis. Bila pada awalnya puisi adalah milik penciptanya, tapi karena keindahannya puisi itu bebas hidup di setiap lisan masyarakat Arab. Ia benar-benar berfungsi sebagai pelipur lara bahkan menempati posisi yang lebih tinggi, karena martabat suatu kaum juga ditentukan oleh para penyair yang dimilikinya.



DAFTAR PUSTAKA


Arifin, H. Bey, dan Yunus Ali al-Muhdar. 1983. Sejarah Kesusastraan Arab. Surabaya: Bina Ilmu.

Al-Bayumi, Muhammad Rajab, 1980. Al-Nusus al-Adabiyah. Riyadh: Universitas Muhammad Ibnu Saud.

Bascom, R. William. 1965. Four Function for Folklore: The Study of Folklor., Prentice-Hall: University of California at Barkeley.

Bunanta, Murti. 1998. Problematika Penulisan Cerita Rakyat Untuk Anak di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,

Danandjaja, James. 1972. Penuntun Cara Mengumpul Folklor bagi Pengarsipan.
Jakarta: Diperbanyak oleh Panitia Tata Buku Internasional Indonesia.

______ 1991. Folklore Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Graffiti Press.

Finnegan, Ruth. 1977. Oral Poetry. Its Nature, Significance, and Social Context.
Cambridge University Press.

­­­­­_______. 1989. Oral Traditions and the Verbal Arts: A Guide to research
Practise. London and New York: Routledge

Hamid, Mas’an. 1995. Ilmu Arudl dan Qawafi. Surabaya: Al-Ikhlas.

Iskandar, Syaik Ahmad, dan Mustafa Anani. 1961. Al-Wasith fi al-Adab al-Arabiy wa tarikhihi. Mesir: Dar al-Ma’arif.

Israr, C. 1985. Dari Teks Klasik Sampai ke Kaligrafi Arab. Jakarta: Yayasan Masagung.

Lord, Albert B. 1981. The Singer of Tales. England: Harvard University Press.

Propp,Vladimir, 1979. Morfology of the Folktale. Austin and London: University of Texas Press.

Pudentia (ed.). 1998. Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Shiddiqi, Nouruzzaman. 1989. Pengantar Sejarah Muslim. Yogyakarta: Mentari Masa.

Sweeney, Amin. 1980. Authors and Audiensces in Traditional Malay Literature. Monograph Senes No. 20. Berkeley: University of California Press.

_______. 1987. A Full Hearing. Orality and Literacy in the Malay World. Berkeley: Universsity of California Press.

Syazali, Hassan. 1976. Al-Adab Nususuh wa Tarikhuh. Saudi Arabia: Kementrian Pendidikan.

Thampson, Stith. 1977. The Folktale. Oxford: University of California Press.

Umar, Muin. 1992. Ilmu Pengetahuan dan Kesusastraan Dalam Islam. Yogyakarta:
[1] Taufiq Ahmad Dardiri “Kesusastraan Arab” dalam HA.Muin Umar, Ilmu Pengetahuan dan Kesusastraan Dalam Islam. (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1992), hal. 70


[2] Tetapi mereka juga mempunyai festival/pasar di daerah masing-masing, seperti di Yaman, Nejed, Hijaz dan Hadramaut.
[3] Perihal pasar ini, didirikan setelah tahun gajah. Peristiwa penyerangan ka’bah oleh Abrahah dengan pasukan gajahnya. Penyerangan itu gagal dengan datangnya serbuah burung Ababil yang melempari mereka dengan bebatuan panas dari Sjjil. Pada tahun itu juga (571 M) Nabi Muhammad dilahirkan.


[4] Mereka biasanya disebut sebagai orang-orang ummi karena tidak mengenal baca tulis.

Tidak ada komentar: