Rabu, 05 Desember 2007

LELAKI DAN PEREMPUAN DI TITIK NOL

(Perbandingan Tema Atas Karya Nawal el-Saadawy dan Mustafa Mahmud)


Oleh: Muhammad Walidin, S. Ag.


Pendahuluan
Sebagai sebuah karya fiksi, novel memendam amanat tertentu untuk disampaikan kepada masyarakat pembacanya. Amanat tersebut dipikulkan kepada tema yang akan disampaikan, sedangkan tema diurai dalam masalah-masalah yang terdapat dalam jalinan cerita.
Di tahun 1973, Nawal mulai menulis sebuah cerita fiksi dengan judul Imra’ah ‘inda Nuqtat al-Sifr atau Perempuan di Titik Nol[1]. Dari aktivitas Nawal yang dikenal sebagai aktivis dan pejuang persamaan gender, dapat dipastikan novel ini akan menggugat dominasi patriarkhi, khususnya yang terjadi dalam masyarakat Mesir. Kemudian, muncul novel futuristik yang mengusung judul serupa tapi tak sama, yaitu Lelaki di Titik Nol, karya Mustafa Mahmud[2]. Apakah novel ini akan mempermasalahkan emansipasi wanita yang berlebihan sebagaimana yang telah diperjuangkan Nawal? Ataukah ada hal lain yang ingin dikemukakannya dalam gugusan tanda-tanda?
Tulisan ini bertendensi untuk melihat tema yang dibawa oleh kedua novel tersebut. Pertimbangannya adalah bahwa kedua novel ditulis oleh dua jenis kelamin berbeda yang memandang kaumnya dengan sudut pandangnya sendiri. Sudut pandang tersebut dapat dipandang sebagai cara untuk menyampaikan ide sentral atau pokok dalam karya mereka.

Sinopsis Novel
Perempuan di Titik Nol (selanjutnya disebut PdTN) mengisahkan tentang terpidana mati wanita bernama Firdaus. Dari balik sel panjaranya, ia-yang divonis hukuman gantung karena telah membunuh seorang germo-mengisahkan lika-liku kehidupannya yang penuh dengan perlakuan tak adil dalam lingkungan patriarkhal Mesir. Sebuah kisah dari sejak masa kecilnya di desa hingga ia menjadi pelacur kelas atas di kota Kairo. Ia menyambut girang hukuman gantung itu. Bahkan dengan tegas ia menolak grasi kepada Presiden yang diusulkan oleh dokter penjara. Menurut firdaus, vonis mati itu justru merupakan satu-satunya jalan menuju kebebasan sejati.
Sementara itu, Lelaki di Titik Nol (selanjutnya disebut LdTN) memuat ramalan-ramalan ilmiah tentang berbagai hal yang menjadi persoalan besar manusia saat ini. Syahin, tokoh utama novel ini seorang doktor yang genial, cerdas, dan lugu. Hingga dia gagap ketika disodori teori atom cinta yang dikemukakan oleh mahasiswanya. Secara ironis, novel ini menggambarkan manusia modern yang selalu gamang dengan kondisi psikologis dan sosial yang dihadapinya. Novel ini juga mencoba menghadirkan pertanyaan-pertanyaan manusiawi dan menertawakan kemajuan ilmu manusia.

Sepintas Tentang Tema
Tema adalah pokok pikiran, dasar cerita (yang dipercakapkan) yang dipakai sebagai dasar mengarang, menggubah sajak, dan sebagainya.[3] Tidak jauh berbeda dengan pengertian sebelumnya, Sudjiman[4] mendefinisikan tema sebagai makna cerita, gagasan sentral atau pikiran utama yang mendasari kayra sastra.
Tema sebagai makna pokok cerita pada umumnya hadir secara implisit dan meliputi keseluruhan cerita. Artinya, kehadiran tema terpadu dan tersembunyi dalam unsur-unsur struktural yang lain sehingga penafsirannya diprasyarati oleh pemahaman cerita secara utuh[5]. Esten menyebutkan kriteria penentuan tema dalam sebuah cerita didasarkan pada tiga cara. Pertama, permasalahan yang paling menonjol dalam sebuah cerita. Kedua, secara kuantitatif, permasalahan mana yang paling banyak menimbulkan konflik, yaitu konflik yang melahirkan peristiwa-peristiwa dalam cerita. Ketiga, menghitung waktu penceritaan, yaitu waktu yang diperlukan untuk menceritakan peristiwa-peristiwa atau tokoh-tokoh dalam cerita[6]. Pada ketiga kriteria ini terlihat bahwa tema dibangun dari sejumlah masalah dan merupakan inti dari keseluruhan masalah yang saling berjalinan.
Nurgiyantoro[7] mengatakan bahwa makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum cerita disebut tema mayor, sedangkan makna-makna lain atau makna-makna tambahan dalam cerita disebut tema minor.
Istilah tema sering disamakan dengan pengertian masalah, padahal kedua istilah itu berbeda pengertian. Masalah merupakan sarana untuk membangun tema sehingga timbul beberapa masalah yang mendukung tema. Dengan demikian, mencari tema kedua novel ini akan lebih mudah bila dilihat dahulu permasalahannya.

Permasalahan dalam Novel LdTN
Novel LdTN mengemukakan tiga permasalahan pokok, yaitu permasalahan kemanusiaan, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan sosial. Permasalahan bidang kemanusiaan berupa bersatunya manusia di atas bumi untuk menghadapi virus mematikan yang muncul pascaperang dunia, permasalahan bidang ilmu pengetahuan dan teknologi berupa kemajuan iptek yang tidak terhingga, dan permasalahan sosial adalah hubungan antargender. Untuk lebih jelasnya, pembahasan tema dan masalah ini dikemukakan sebagai berikut:

1. Masalah Kemanusiaan
Permasalahan bidang kemanusiaan dalam LdTN berupa bersatunya manusia di atas bumi untuk menghadapi virus mematikan yang muncul pascaperang dunia yang dimotori oleh Cina dan Amerika. Perang tersebut akibat dari penciptaan teknologi yang tidak ramah. Hal ini terbukti dengan kehancuran bumi hanya dalam tiga hari peperangan; 8-11 Agustus 1999.
“Pada tanggal 8 Agustus 1999 perang berkobar, kemudian berakhir 11 Agustus. Perang tiga hari ini, menghacurkan ribuan kota, merenggut berjuta-juta nyawa. Terjadi badai debu yang mengandung zat kimia dan sangat mematikan, semua bendungan dan tanggul roboh, hingga air meluap menjadi banjir besar yang melumpuhkan seluruh aktivitas kehidupan manusia”.[8]

Perang tiga hari ini sebenarnya menunjukkan kecanggihan tekonologi era prafuturistik yang dapat meratakan bumi dalam kurun waktu tiga hari saja. Hal ini mengakibatkan penyakit ganas bertebaran di muka bumi. Kematian manusia diungkapkan secara metaforis, yakni seperti lalat jatuh terkulai disiram gerimis hujan. Suasana mencekam ini berlangsung dari kutub utara hingga selatan. Tak heran bila kemudian manusia bumi yang tertinggal hanya 6000 jiwa saja.
Menghadapi kekacauan yang luar biasa ini, manusia menghapus arogansi-arogansi ras, ilmu, dan teritori. Sebaliknya mereka disatukan oleh penderitaan yang sama dan membangun suatu negara integralistik dengan menghapus batas-batas geografis antarnegara. Manusia digambarkan melakukan kajian-kajian ilmiah dalam upaya melawan ancaman kematian yang mengintip di setiap ruang dan waktu.
Tantangan pertama yang harus dihadapi oleh para peneliti adalah menemukan antivirus untuk virus yang menyerang melalui Deoxyribonuycleic Acid (DNA) manusia. Seorang peneliti India; Rojmanon berhasil menyingkap misteri virus ini. Seorang dokter dari China; Heschyaningway berhasil menyempurnakan penelitian Rojmanon dengan membasmi virus-virus tersebut hingga bumi terbebas dari ancaman kepunahan.
Pendek kata, manusia mengalami kualitas kehidupan yang sangat baik karena kesatuan visi untuk hidup dalam satu atmosfir kehidupan yang integralistik. Permasalahan pertama ini mengangkat tema minor bahwa kesamaan visi dalam menciptakan bumi yang damai dapat mewujudkan cita-cita manusia untuk hidup lebih mulia dan bermartabat. Sebaliknya, permusuhan karena perbedaan menghantarkan manusia pada kehancuran yang nyata.

2. Masalah Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Sesungguhnya, masalah ilmu pengetahuan dan teknologi ini masih terkait dengan upaya manusia menghadapi masalah kemanusiaan. Untuk memecahkan permasalahan hidup, manusia memilih tekonologi sebagai solusi. Oleh karena itu, masalah ilmu pengetahuan dan teknologi dalam LdTN berupa kegandrungan manusia terhadap pengetahuan dan teknologi.
Latar waktu novel futuristik ini bertiti mangsa 01-01 2067. Dalam fragmen berikut ini diceritakan:
“Kairo, Sabtu pagi 01 Januari 2067, di dalam pesawat Kairo-London Dr. Syahin dan Ir. Abdul Karim duduk berhadap-hadapan. Wajah kedua laki-laki ini bagai pinang dibelah dua, sangat mirip laksana anak kembar. Padahal mereka berasal dari negara yang berbeda; Mesir dan Irak. Begitu pula dengan seluruh penumpang pesawat, wajah mereka sangat mirip seakan-akan saudara kandung. Padahal mereka berasal dari berbagai negara, Inggris, Perancis, Amerika, Rusia, China, Jepang India, Indonesia, Mongol, dan Eksimo. Identitias mereka dapat diketahui dari nama-nama mereka yang tercantum dalam pasport, termasuk tempat tanggal lahir, golongan darah, pekerjaan, status, dan kewarganegaraan.”[9]

Tuhan telah menciptakan manusia dengan bentuk yang berbeda-beda walaupun kembar sekalipun. Dalam konteks kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi era futuristik seperti ini, manusia tampaknya memiliki otoritas untuk mengubah orientasi Tuhan. Wajah yang sama, pesawat dengan kecepatan tinggi yang melintasi Kairo-London dalam waktu tiga seperempat jam, dan kereta api geomagnetis bebas macet dapat dimaknai sebagai sistem tanda yang bermakna, yaitu simbol kegandrungan manusia terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dari atas titik tahun ini, Tokoh novel, sebagai dosen menerangkan pada mahasiswanya di Universitasnya tentang sejarah dunia dan usaha manusia memenuhi kebutuhan hidupnya. Generasi masa ini layak menertawakan ketertinggalan tekonologi pendahulunya yang telah hancur akibat perang dunia pada 8-11 Agustus 1999, betapapun sebenarnya teknologi pendahulu sangat luar biasa karena mampu meluluhlantakkan dunia dalam tiga hari peperangan.
Permasalahan kemanusiaan akibat perang tersebut ditanggapi oleh manusia dengan mengeksplorasi pengetahuan dan menciptakan teknologi yang digunakan untuk kemakmuran umat manusia di seluruh dunia. Sepuluh tahun setelah masa perang, para peneliti dunia melahirkan temuan-temuan baru, seperti kapal air tercanggih di tahun 2037, proses freezing manusia (mati buatan) dalam waktu 120 hari di tahun 2048, obat-obatan psycological diseases sebagai penyakit manusia modern di tahun 2062 dan masih banyak lagi penemuan lain yang menyejahterakan umat manusia.
Sebagai putra peradaban futuristik, tokoh protagonis (Dr. Syahin) melaju dalam arus tradisi, yaitu menggandrungi ilmu pengetahuan sebagaimana pendahulunya. Sebagai dosen, dan peneliti di laboratorium terbesar di dunia, ia mendapatkan akses untuk menyingkap berbagai tabir misteri pengetahuan. Belakangan, tokoh utama ini berambisi memecahkan misteri kehidupan dalam gelombang. Baca fragmen berikut:
“Kini ia berusaha memecahkan misteri kehidupan di dalam gelombang. Percobaan demi percobaan dilakukan setiap malam. Hingga ia membuat inti granat dari percikan api yang disulut dari papan alumunium. Inti granat ini dipecah-pecah, lalu dialirkan sedikit melalui sebuah kabel listrik magnetik dan dihubungkan dengan alat pemantau khusus. Alat ini akan mengontrol setiap gerak dan gelombang di dalam kabel.”[10]

Penelitian tokoh memukau dunia. Ia berhasil dalam revolusi teknologi gelombang. Bila sebelumnya gelombang hanya mampu memindahkan gambar penyiar ke saluran TV, ia telah mampu memindahkan seluruh tubuh penyiar melalui gelombang. Satu ambisi gila meloncat dari benak sang Doktor. Ia ingin hidup dalam gelombang tinggi dan terlepas ke cakrawala yang membentang luas. Walaupun ditentang oleh kemanusiaan, ambisinya tidak bisa tertahan.
Penemuan tokoh bisa disebut sebagai souvenir dunia tahun 2067, semua stasiun televisi di dunia menayangkan gelombang frekuensi 333, 979 Mhz. Manusia bumi dapat menyaksikan wujud manusia pertama yang telah mampu melewati batas antara jasmani dan rohani, berkelana dalam dunia gelombang.
Maksud pengembaraan tokoh ke dunia gelombang tampaknya dijadikan sarana untuk memuaskan manusia dalam menguak misteri tata surya dan antariksa sebagaimana yang selalu diusahakan negara-negara besar. Oleh karena itu, tokoh diciptakan dengan menghipogram secara potensial dunia ilmu pengetahuan tentang antariksa. Penyebutan planet Mars, Jupiter dengan 12 satelitnya (yang terbesar bernaman Ganymade), planet eros, saturnus (dengan satelit titan dan mimas), Venus dan Merkurius dapat dikatakan sebagai cara pengarang untuk masuk pada tema yang ingin disampaikannya, yaitu kecenderungan manusia terhadap teknologi dan ilmu pengetahuan. Apalagi bila diperhatikan bahwa fenomena luar angkasa tersebut dapat dikomunikasikan (oleh tokoh) pada manusia bumi (rekan-rekan peneliti dan ilmuwan) dengan konvensi bahasa-bahasa ilmiah.
Pengembaraan intelektual melalui sarana ilmu pengetahuan dan teknologi yang dilakukan oleh manusia membuat mereka sendiri bertanya-tanya tentang makna hidup, keabadian, dan eksistensi Tuhan. Misteri ruang angkasa yang tak terbatas mampu menjawab pertanyaan tadi dan membuktikan keperkasaan Tuhan. Permasalahan kedua ini menimbulkan tema minor bahwa manusia sebagai makhluq berfikir selalu tertantang untuk membuka tabir misteri semesta. Kitab-kitab suci dan fenomena empiris telah mendorong manusia berjuang mengenali kediriannya dengan mengeksplorasi ilmu pengetahuan dan teknologi.
.
3. Masalah Hubungan Antargender
Masalah hubungan antargender dalam LdTN adalah persahabatan antara para ilmuwan dan percintaan segitiga yang melibatkan para tokoh. Persahabatan antartokoh dibangun karena ketertarikan yang sama, yaitu ilmu pengetahuan dan teknologi. Tokoh protagonis (Dr. Syahin) bersahabat dengan tokoh antagonis (Ir. Abdul Karim) dan terlibat langsung dalam diskusi keilmuan. Sementara tokoh tambahan lain (Rosita), seorang mahasiswi Universitas Cambridge menikah dengan tokoh protagonis.
Walaupun tokoh tambahan telah menikah, tetapi tokoh antagonis tidak surut untuk memilikinya. Tokoh antagonis bermuka dua pada sahabatnya (tokoh protagonis) untuk membantunya menjadi manusia gelombang. Dengan demikian, Kedua suami isteri ini akan berpisah dan tokoh antagonis bisa mengambil peran. Namun sayang, selain cintanya ditolak, ia mendapat hukuman karena telah membantu tokoh utama menjadi manusia gelombang (menjadi manusia gelombang dilarang karena bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan). Ia memilih hukuman dilepaskan di ruang angkasa dan mati di planet Jupiter.
Permasalahan ketiga ini membangun beberapa tema minor. Pertama, rasionalitas ilmuwan terkadang tidak bisa dibendung oleh emosionalitas manusia. Hal ini dibuktikan dengan besarnya ambisi sang tokoh untuk memasuki dunia gelombang untuk membuktikan kebenaran ilmiah dan meninggalkan istri yang mencintainya. Kedua, kelicikan, iri dan dengki sebagai sifat buruk pada akhirnya akan terbongkar jua. Serapi-rapinya tokoh antatagonis menyimpan niat jahatnya, ia didapati dalam keadaan bersalah dan akhirnya dibuang ke luar angkasa sebagai hukuman.
Bila dikaitkan dengan syarat Esten tentang permasalahan sebagai titik tolak untuk menentukan tema, maka ketiga permasalahan di atas merupakan permasalahan yang paling menonjol dalam LdTN. Mulai dari episode awal, penggambaran tentang dunia yang hancur disikapi oleh manusia dengan segera membentuk negara yang integralistik. Di akhir episode, kerjasama antarindividu berlaku universal dan koherensif. Akhirnya, kerjasama antarmasyarakat dunia dalam menghadapi berbagai masalah menghantarkan mereka menciptakan teknologi sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidup mereka. Ambisi manusia sebagai makhluk yang berfikir tidak tertahankan. Ambisi melapangkan rasio untuk menghadapi masalah, masalah menuntut solusi, dan terkadang solusi belum tentu memuaskan. Dalam membangun ambisi tersebut, tidak jarang terjadi pergesekan antarindividu yang mengakibatkan perselisihan. Perselisihan tersebut kemudian tidak menjadi bermakna manakala kekuatan dan ambisi pengetahuan memimpin manusia mewujudkan keinginannya.
Secara kuantitatif, ketiga permasalahan ini paling banyak menimbulkan konflik, yaitu konflik yang melahirkan peristiwa-peristiwa dalam cerita. Dunia yang hancur dan virus yang mematikan melahirkan peristiwa bersatunya manusia bumi untuk menghadapi ancaman ini. Peristiwa ini menyebabkan para ilmuwan seperti Rojmanon dari India dan Hescyaningway dari Cina berlomba-lomba mengadakan penelitian untuk menciptakan antivirus. Setelah antivirus ditemukan, dunia menjadi damai. Akan tetapi, manusia sebagai makhluk berfikir tidak ingin berlama-lama mendiamkan dunia yang damai. Kedamaian dunia diisi dengan berbagai aktifivitas penelitian seperti yang dilakukan oleh Dr. Syahin yang meneliti kehidupan dalam gelombang. Penelitian ini akhirnya menarik diri Dr. Syahin untuk masuk ke dalam gelombang yang menghantarkan Dr. Syahin menjelajahi tata surya dan menerangkan kepada manusia di bumi tentang apa yang dilihatnya melalui televisi. Inilah esensi dari ambisi manusia bumi sebenarnya, bahwa mereka mencurahkan waktu, tenaga, dan dana untuk mengetahui kehidupan di luar bumi. Kehidupan luar angkasa seperti menjadi misteri. Bila misteri belum terkuak maka manusia tidak akan berhenti berusaha membukanya.
Dari tiga permasalahan di atas, dapat diketahui bahwa tema mayor LtDN adalah optimisme kaum lelaki menghadap berbagai permasalahan dengan cara berfikir positif dan gairah yang tinggi untuk mencapai tujuannya atau bahkan imajinasinya. Tema mayor ini dapat dijalin dalam hubungan logis seperti berikut:
Dunia yang hancur menjadi titik tolak bagi manusia (diwakili oleh Dr. Syahin) untuk berbuat yang lebih baik daripada manusia sebelumnya. Untuk itu, manusia dengan anugerah akal yang diberikan terus menerus mencari berbagai jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang dihadapinya. Manusia kemudian menciptakan teknologi untuk memenuhi tuntutan dan ambisi intelektualitasnya kemudian menunggangi teknologi tersebut menuju terminal ambisinya. Dalam pengembaraan intelektual tersebut, manusia menemukan banyak rintangan baik atas nama kemanusiaan maupun atas nama ilmu dan teknologi itu sendiri. Akan tetapi, pengembaraan intelektual manusia tidak pernah mengalami kata putus asa dan tak mengenal kata berhenti. Pengembaraan intelektualitas manusia akan terus berekspansi selama dunia ini masih layak untuk dikembara.

Permasalahan dalam PdTN
Ada 2 permasalahan yang menjadi diskursus dalam novel PdTN. Pertama, permasalahan sosial berupa dominasi manusia atau kelompok manusia terhadap manusia atau kelompok manusia lainnya yang melahirkan oposisi biner; pendominasi-terdominasi atau penindas-tertindas. Persoalan pertama ini menimbulkan permasalahan kedua, berupa pertanyaan-pertanyaan dan ketakjuban satiris akan eksistensi manusia itu sendiri.
Permasalahan pertama adalah permasalahan sosial berupa dominasi manusia atau kelompok manusia terhadap manusia atau kelompok manusia lainnya. Dominasi tersebut melahirkan ketitidakadilan dan penindasan yang berwujud penindasan lingkungan terhadap wanita, penindasan laki-laki atas wanita, bahkan penindasan wanita atas wanita. Seharusnya semua penindasan-penindasan menjadi konflik antara yang tertindas dan yang ditindas tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Pihak penindas sering diuntungkan dengan ketidakberdayaan pihak tertindas untuk mengadakan perlawanan.
Tradisi patriarkhal Mesir tidak memberikan ruang gerak yang luas kepada kaum perempuan. Hal ini terjadi dengan upaya mendomestikasi perempuan dan melarang mereka masuk ke wilayah publik. Menengok sejenak ke belakang, ternyata keadaan ini telah dikonstruksi sejak dini dengan menghargai wanita sangat rendah di tengah lingkungan masyarakat. Simak fragmen berikut:
Jika salah satu anak perempuannya mati, Ayah akan menyantap makan malamnya, Ibu akan membasuh kakinya dan kemudian ia akan pergi tidur, seperti ia lakukan setiap malam. Apabila yang itu seorang anak laki-laki, ia akan memukul Ibu, kemudian makan malam dan merebahkan diri untuk tidur.[11]

Kenyataan ini tampak pula seperti dilembagakan oleh pemerintah dan diterjemahkan oleh lingkungan patriarkhal Mesir sebagai suatu keniscayaan. Hal ini terbukti dari kemustahilan perempuan untuk menimba ilmu di perguruan tinggi. Simak fragmen berikut:
“Apakah yang akan kau berbuat di Kairo, Firdaus?”
lalu saya menjawab, “Saya ingin ke el-Azhar dan belajar seperti Paman”.
Kemudian ia tertawa dan menjelaskan bahwa el-Azhar hanya untuk kaum pria saja. Lalu saya menangis, dan memegangi tangannya, sementara kereta api mulai bergerak maju. Tetapi ia menarik tangannya dengan sekuat tenaga dan secara tiba-tiba sehingga saya jatuh tertelungkup.”[12]

Saya mencoba baca beberapa kata. Kata-kata itu bagi saya seperti lambang-lambang penuh rahasia yang membuat diri saya diliputi perasaan agak ketakutan. El-Azhar adalah satu dunia yang mengagumkan dan hanya dihuni oleh orang lelaki saja, dan paman merupakan salah seorang dari mereka, dan dia adalah seorang laki-laki.[13]

Dalam suatu pertengkaran mengenai tempat tinggal Firdaus setelah tamat sekolah menengah, terjadi tawar menawar antara Paman dan Istri:

“Apa yang akan kita perbuat dengannya?”
“Kita bisa bebas dari dia dengan mengirimkannya ke universitas. Di sana dia dapat tinggal di asrama puteri”.
“Ke universitas? Ke suatu tempat di mana dia akan duduk bersebelahan dengan lelaki? Seorang syekh dan laki-laki yang saleh macam aku ini akan mengirimkan kemenakan untuk berbaur dengan kumpulan orang laki-laki?[14]

Tidak adanya kesempatan bagi perempuan untuk menuntut ilmu yang lebih tinggi mewariskan kelemahan perempuan di segala sisi. Sejarah mencatat, sebelum-bahkan beberapa waktu setelah Muhammad Ali berkuasa-lembaga pendidikan di Mesir, termasuk Perguruan Al-Azhar kebanyakan didominasi oleh kaum pria. Waktu itu iklim di Mesir tidak mendukung kaum perempuan untuk belajar setinggi-tingginya. Mereka dipingit dalam rumah secara berlebihan dan tidak diberi kesempatan yang sama seperti saudaranya kaum pria.
Kelemahan ini akhirnya memaksa mereka untuk tanpa sadar dikuasai oleh lingkungannya tanpa sedikitpun memiliki hak untuk menawar. Tokoh sejak kecil sudah dikuasai oleh ayah yang otoriter dan suka melakukan kekerasan terhadap perempuan, menginjak remaja ia mendapat perlakuan tidak senonoh dari paman sendiri, memasuki usia dewasa ia terjebak dalam perkawinan paksa dengan suami yang kikir dan bertipe pembeli wanita. Kemudian menjadi sapi perah para lelaki hidung belang yang bertindak sebagai germo, bahkan kemudian menjadi karyawan germo wanita dalam bisnis prostitusi. Ironisnya, selama masa penindasan tersebut, tokoh menerima takdirnya dengan ikhlas. Barangkali itulah tugasnya dilahirkan di muka bumi ini.
Permasalahan pertama ini mengangkat tema minor yaitu usaha dunia patriarkhal mensubordinasi perempuan menyebabkan ketimpangan gender, pengetahuan, dan kesempatan yang sangat merugikan terutama bagi perempuan dan umumnya bagi nilai-nilai kemanusiaan.
Sejauh ini, tokoh belum sadar akan eksistensinya sebagai manusia yang diberi kesempatan untuk memilih dalam menentukan hidupnya. Oleh karena itu, permasalahan kedua melanjutkan episodenya dengan permasalahan urgen berupa pertanyaan-pertanyaan dan ketakjuban satiris akan eksistensi manusia itu sendiri.
Semesta ini begitu paradoks; semesta laki-laki dan semesta perempuan. Semesta lelaki berhak memilih, menentukan, memiliki, bahkan memprotes kehidupan. Sebaliknya, semesta perempuan tidak berhak apapun terhadap fasilitas yang dimiliki lelaki. Lebih gawat lagi, perempuan disadari sebagai makhluq yang jatuh dari langit, lalu secara bebas dikuasai oleh laki-laki. Semesta lelaki tidak memberi ruang kesadaran bahwa mereka sepenuhnya memiliki dirinya sendiri dan berhak untuk memilih dan menentukan hidupnya karena kepemilikan yang penuh itu.
Sedari kecil, tokoh hanya menjalankan tugasnya sebagai perempuan, yaitu mengabdi kepada semesta lelaki. Pengabdian kepada ayah, paman, suami, dan Bayoumi. Selama rentang pengabdian itu, ia hanya menjadi objek kekerasan psikis dan fisik berkaitan dengan aktivitasnya. Ia tidak boleh memilih atau menolak takdirnya sebagai pengabdi. Dirinya bukan miliknya sendiri tetapi milik semesta laki-laki. Masalah kepemilikan diri ini terkristalisasi dalam masalah uang satu piaster seperti fragmen berikut:
Ayah belum pernah memberi satu uang. Saya bekerja di ladang, di rumah dan bersama-sama ibu makan sisa-sisa makanan ayah. Dan pada hari tidak ada sisa makanan dari ayah, saya pergi tidur tanpa makan malam. Pada hari Idul Adha saya melihat anak-anak membeli gula-gula dari warung jajanan. Saya pergi ke ibu sambil menangis dengan kerasnya. “Beri saya satu piaster!”.
Dia menjawab, “Saya tidak punya piaster. Ayahmu itulah yang punya piaster”. Lalu saya mencari Ayah dan minta kepadanya satu piaster. Ia memukul tangan dan pundak saya serta menghardik, “Aku tak punya piaster”.[15]

Dan kenyataannya, ketika saya kembali dari ladang sebagai persyaratan untuk mendapat satu piaster, dia memberi saya piaster itu. Itu adalah piaster pertama yang pernah ia berikan, piaster pertama yang seluruhnya menjadi milik saya, untuk digenggam di telapak tangan, dan dipegang serta dijepit oleh jari-jari saya. Uang itu bukan milik Ayah, bukan pula milik Ibu, tetapi milik saya untuk dibelikan apa yang saya kehendaki.[16]

Seperti tergambar dalam fragmen di atas, tokoh hanya merasa pernah satu kali menerima haknya, yaitu menerima piaster yang diidamkan sejak kecil. Hak sebagai anak, istri, atau pelacur dengan berganti-ganti germo sulit atau bahkan tidak pernah didapatkan. Hal ini berlangsung hingga ia menjadi pelacur di bawah naungan germo perempuan. Sampai suatu ketika, seorang pemakai jasanya memberikan sepuluh pon, untuk dirinya sendiri. Dengan piaster sebesar sepuluh pon, tokoh baru berfikir untuk bebas memilih apa yang disukainya termasuk berapa harga jasanya dan siapa yang berhak memakai jasanya (hlm. 98). Piaster ini kemudian menandai garis tipis namun tegas yang membangun kesadaran tokoh tentang kepemilikan atas tubuh dan jiwanya.. Cerita tentang pister ini tampak begitu ditekankan untuk menandakan garis tipis pembeda itu (hlm. 92).
Permasalahan kedua ini mengangkat tema minor tentang kehormatan seseorang (termasuk perempuan) akan tercipta dengan kemandirian. Adapun kemandirian yang digambarkan dalam novel adalah kesempatan memiliki penghasilan sendiri. Sebaliknya, ketergantungan menyebabkan manusia menjadi rendah dan tertindas.

Analisis Perbandingan Tema
Kedua novel ini berplot flash back. Penarasian dengan alur flash back ini menggunakan sebuah posisi netral untuk memulai cerita, yaitu titik nol. Dari titik itu kedua tokoh protagonis dapat memandang ke belakang mengenai dirinya dengan jujur dan tanpa pretensi. Kejujuran itu dapat pula dilihat dari cara tokoh memutuskan apa yang hendak dilakukannya ke depan, sejak start kembali dari titik nol.
Dalam pembacaan kedua novel, beberapa permasalahan dianggap sebagai media untuk menyampaikan tema minor. Dari pembacaan yang intens terhadap LdTN, maka didapatkan tema-tema minor tersebut. Pertama, kesamaan visi dalam menciptakan bumi yang damai dapat mewujudkan cita-cita manusia untuk hidup lebih mulia dan bermartabat. Sebaliknya, permusuhan karena perbedaan menghantarkan manusia pada kehancuran yang nyata. Kedua, manusia sebagai makhluq berfikir selalu tertantang untuk membuka tabir misteri semesta. Ketiga, rasionalitas ilmuwan terkadang tidak bisa dibendung oleh emosionalitas manusia. Keempat, kelicikan, iri dan dengki sebagai sifat buruk pada akhirnya akan terbongkar.
Tema-tema minor di atas bukan merupakan sesuatu yang berdiri sendiri, terpisah dari makna pokok ceritanya yang bersangkutan berhubungan sebuah novel yang jadi merupakan satu kesatuan. Makna pokok cerita bersifat merangkum berbagai makna khusus, tema-tema minor yang terdapat dalam karya itu. Atau sebaliknya tema-tema minor itu bersifat mendukung dan atau mencerminkan makna utama keseluruhan cerita.[17]
Dapat dipastikan, tema-tema minor LdTN memiliki titik-titik persamaan, yaitu pengembaraan intelektual manusia (Lelaki) didasari asas untuk meciptakan kehidupan yang bermartabat sebagai makhluq yang berfikir. Dengan demikian, tema mayor dalam LdTN adalah sikap optimisme kaum lelaki menghadap berbagai permasalahan dengan cara berfikir positif dan gairah yang tinggi untuk mencapai tujuannya atau bahkan imajinasinya. Tema ini tersirat dalam sebagian besar, untuk tidak dikatakan dalam keseluruhan cerita LdTN.
Dalam PdTN, beberapa tema minor telah menghantarkan kita pada sebuah tema mayor yang pada awalnya tersembunyi di balik cerita. Pertama, usaha dunia patriarkhal mensubordinasi perempuan menyebabkan ketimpangan gender, pengetahuan, dan kesempatan yang sangat merugikan terutama bagi perempuan dan umumnya bagi nilai-nilai kemanusiaan. Kedua, kehormatan seseorang (termasuk perempuan) akan tercipta dengan kemandirian, baik dalam bidang ilmu pengetahuan atau penghasilan. Tema-tema minor di atas tentunya sangat mendukung dan atau mencerminkan makna utama keseluruhan cerita atau tema mayor, yaitu terbentuknya sikap Pesimis-patalistik kaum perempuan terhadap hidup dan masa depan karena ketidakadilan yang diciptakan oleh kaum lelaki dalam segala bidang. Tema ini dapat dikatakan tema mayor karena ia menjiwai seluruh cerita PdTN, merupakan gagasan sentral atau pikiran utama yang mendasari PdTN dan menghubungkan unsur-unsur lain dalam cerita sebagaimana yang dikatakan Sudjiman dan Stanton.[18]

Penutup
Kedua novel yang dikaji ini pada akhirnya menampilkan tema yang berbeda sesuai dengan sudut pandang pengarang yang secara status seksual juga sangat berbeda. Gagasan sentral atau pikiran utama novel LdTN memunculkan sikap optimisme kaum lelaki menghadap berbagai permasalahan dengan cara berfikir positif dan gairah yang tinggi untuk mencapai tujuannya atau bahkan imajinasinya. Sedangkan novel PdTN menampilkan sikap Pesimis-patalistik kaum perempuan terhadap hidup dan masa depan karena ketidakadilan yang diciptakan oleh kaum lelaki dalam segala bidang. Tema ini menjiwai seluruh cerita kedua novel, atau tersirat dalam sebagian besar, untuk tidak dikatakan dalam keseluruhan cerita LdTN dan PdTN.
Bila dikatakan bahwa permasalahan memunculkan tema, lalu tema mengemban amanat yang ingin dikomunikasikan kepada pembaca sebagai individu yang memproduksi makna, maka sikap optimisme sebagaimana yang ditampilkan dalam LdTN seharusnya menjiwai kinerja setiap insan untuk mencapai yang terbaik dalam hidup. Selanjutnya, sikap pesimis-patalistik yang tergambar dalam PdTN pasti akan menimbulkan empati yang konkret dan mendalam untuk menghalau bias gender yang terjadi karena bertentangan dengan martabat kemanusiaan.


DAFTAR PUSTAKA

Esten, Mursal, Tinjauan Tema dan Tokoh Tenggelamnya Kapal Van Derwijk dan Salah Asuhan (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1985)

Mahmoud , Mustofa, Lelaki di Titik Nol (Terj.), (Yogyakarta: Navilla, 2000)

Nurgiyantoro, Burhan, Teori Pengkajian Fiksi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995), hlm. 69.

el-Sa’dawy, Nawal. Perempuan di Titik Nol, (Terj.), (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995)

Sudjiman, Panuti, Memahami Cerita Rekaan (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1988), hlm. 50.

Stanton, Robert, An Introduction To Fiction (New York: Holt Rinehart and Winston, 1965)
[1] Nawal el-Sa’dawy, Perempuan di Titik Nol, (Terj.), (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995)
[2] Mustofa Mahmoud, Lelaki di Titik Nol (Terj.), (Yogyakarta: Navilla, 2000)
[3] Moeliono dkk., (1990), hlm. 921.
[4] Panuti Sudjiman, Memahami Cerita Rekaan (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1988), hlm. 50.
[5] Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995), hlm. 69.
[6] Mursal Esten, Tinjauan Tema dan Tokoh Tenggelamnya Kapal Van Derwijk dan Salah Asuhan (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1985), hlm. 6.
[7] Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian…,hlm. 83.
[8] Mustafa Mahmud, Lelaki …, hlm. 9.
[9] Idem, hlm. 2.
[10] Ibid., hlm. 63.
[11] Idem., hlm. 26.
[12] Nawal. Perempuan…, Hlm. 30.
[13] Idem., hlm. 30.
[14] Idem., hlm. 52.
[15] Idem., hlm. 92.
[16] Idem., hlm. 93.
[17] Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian…, hlm. 83.
[18] Robert Stanton, An Introduction To Fiction (New York: Holt Rinehart and Winston, 1965), hlm. 4.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

salam kenal...
informasi yang anda tulis sangat membantu saya dalam mencari dan menambah informasi untuk menyelesaikan skripsi S1 saya.kebetulan sekali ada beberapa buku rujukan yang anda pakai yang sama dengan buku rujukan yang saya butuhkan.dan saya berharap sekali jika bpk berkenan untuk memberikan lebih banyak lagi informasi tentang buku2 tersebut jika diingat bahwa saya sulit mendapatkan buku2 tersebut.terimakasih.....