Rabu, 05 Desember 2007

PERSEPSI TENTANG CITRA DIRI

Oleh: Muhammad Walidin, S. Ag.
Dosen pada Jurusan Bahasa dan Sastra Arab
Fakultas Adab Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta

Abstrak
Dua buah novel ini menggambarkan citra diri perempuan dan lelaki dari sebuah titik pandang, titik nol. Ada dua sudut pandang untuk memaknai citra diri kedua novel ini. Pertama, citra diri yang dipersepsikan oleh tokoh novel tentang dirinya, dan citra diri tokoh yang dipersepsikan oleh pengarangnya. untuk analisis yang pertama didapatkan hasil bahwa tokoh memiliki citra diri yang rendah pada tokoh fiksinya karena opresi kekuatan patriarkhis yang berurat-berakar menentukan plot kultur perempuan. Sementara itu, citra diri tokoh lelaki digambarkan sebagai makhluq kuat, rasional dan unggul untuk melegetimasi persepsi komunal tentang keunggulan lelaki.
Citra diri tokoh terhadap dirinya ternyata tidak terlepas dari fenomena pengarang yang ingin memberikan citra diri pada tokoh ciptaannya. Pengarang perempuan menempelkan label citra diri yang pesimis-fatalistik terhadap kehidupan karena kegagalan yang selalu ditemui tokohnya. Sementara itu, citra diri tokoh lelaki dilekatkan pada sifat optimis karena kebebasan yang ia miliki dalam menentukan pilihan dalam hidupnya.

1. Pendahuluan
Di tahun 1973, Nawal menulis sebuah cerita fiksi dengan judul Imra’ah ‘inda Nuqtat al-Sifr atau Perempuan di Titik Nol (selanjutnya disebut (PdTN). Belakangan, terdapat novel futuristik yang mengusung judul serupa tapi tak sama, yaitu Lelaki di Titik Nol (LdTN), karya Mustafa Mahmud. Novel kedua ini dapat diasumsikan sebagai teks hipogramatik yang berusaha mengkomunikasikan gagasan dan ide dari teks terdahulu. Oleh sebab itu, kedua novel ini menjadi unik karena suasana yang dibangun tampak kompetitif. Novel pertama ditulis oleh novelis perempuan dengan tokoh utama perempuan; Firdaus, sedangkan novel kedua ditulis oleh seorang lelaki dengan tokoh utamanya lelaki; Dr. Syahin.
Keunikan kedua novel di atas membawa konsekwensi logis adanya sudut pandang gender yang berbeda tentang bagaimana lelaki dan perempuan mempersepsikan dirinya masing-masing. Pada akhirnya, persepsi lelaki dan perempuan tentang dirinya menjadi sangat paradoks sebagaimana jenis kelamin keduanya yang berlainan secara kodrati.
Tulisan ini bertendensi untuk melihat persepsi perempuan dan lelaki tentang dirinya seperti yang dicitrakan oleh kedua novel dan persepsi pengarang terhadap citra diri tokoh yang diciptakannya. Pertimbangannya adalah bahwa kedua novel ditulis oleh dua jenis kelamin berbeda yang memciptakan semesta tokohnya dan memiliki persepsi khas tentang kaumnya sesuai dengan sudut pandang dan kepentingannya sendiri.

2. Sinopsis Novel
Perempuan di Titik Nol (selanjutnya disebut PdTN) mengisahkan tentang terpidana mati wanita bernama Firdaus. Dari balik sel panjaranya, ia-yang divonis hukuman gantung karena telah membunuh seorang germo-mengisahkan lika-liku kehidupannya yang penuh dengan perlakuan tak adil dalam lingkungan patriarkhal Mesir. Sebuah kisah dari sejak masa kecilnya di desa hingga ia menjadi pelacur kelas atas di kota Kairo. Ia menyambut hukuman gantung itu dengan rasa kuat. Bahkan dengan tegas ia menolak grasi kepada Presiden yang diusulkan oleh dokter penjara. Menurut firdaus, vonis “mati” itu justru merupakan satu-satunya jalan menuju kebebasan sejati.
Sementara itu, Lelaki di Titik Nol (selanjutnya disebut LdTN) memuat ramalan-ramalan ilmiah tentang berbagai hal yang menjadi persoalan besar manusia saat ini. Syahin, tokoh utama novel ini seorang doktor yang genial dan cerdas. Dari zamannya yang dipenuhi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, ia mengisahkan dunia yang hancur akibat perang dunia. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menjadi ruh generasi futuristik membawa tokoh pada pengembaraan intelektual yang tidak berbatas. Ia memilih “menghilang” di belantara antariksa demi menuntaskan coriusity terhadap ilmu pengetahuan.



3. Persepsi Perempuan dan Lelaki Terhadap Citra Diri

Pada awalnya, citra diri lelaki dan perempuan terbangun oleh citra fisisnya. Penentuan jenis kelamin dilihat dari aspek fisis menyangkut konsep genotipe dalam genetika dan fenotipe dalam endrokinologi. Dalam konsep ini, kromosom khusus X + Y menjadi penentu dasar jenis kelamin pria, sedangkan kromosom X + X sebagai penentu dasar jenis kelamin wanita. Keduanya masih harus ditunjang oleh hormon yang biasa disebut hormon testosteron (pria) dan estrogen dan progesteron (wanita), meskipun hormon itu selalu hadir bersama pada kedua jenis kelamin dalam proporsi yang berbeda (Heraty, 1984: 4). Dengan mempertimbangkan perbedaan yang esensial itu, maka pada dasarnya aspek fisis wanita dan pria menjadi khas dan prinsip perbedaan ini tidak dapat dielakkan lagi. Dalam tingkah lakunya, ciri dasar fisik terekspresi ke dalam berbagai wujud yang sesuai dan alamiah.
Perbedaan genotipe dan fenotipe ini kemudian akan memberikan persepsi tersendiri bagi jenis kelamin yang dimiliki sesuai dengan norma genetikal, kultural, dan sosiologis. Secara umum, persepsi kultural terhadap perempuan adalah bahwa perempuan harus lemah lembut, maka sejak bayi proses sosialiasi tersebut tidak saja berpengaruh kepada perkembangan emosi dan visi serta ideologi kaum perempuan, tapi juga mempengaruhi perkembangan fisis dan biologis selanjutnya. Sementara itu persepsi kultural tentang lelaki adalah secara fisik harus lebih kuat dan lebih besar (Fakih, 2001: 10). Persepsi ini memang lebih menguntungkan sehingga menjadikan lelaki dapat tampil dengan pengaruh yang lebih.
Konsep citra diri dimaknai sebagai gambaran yang dimiliki banyak orang tentang pribadi. Dalam sastra, citra diri diartikan sebagai kesan mental atau bayangan visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frase, atau kalimat yang merupakan unsur dasar yang khas dalam karya puisi atau prosa (TPBK P3B, 1989: 169). Konsep citra diri dalam sastra ini diantaranya pernah dibicarakan oleh Pradopo (1990), Sugihastuti (1991), dan Soenardjati Djajanegara (1995).
Dalam kedua novel ini, persepsi tentang citra diri terlebih dahulu akan ditilik dari sudut pandang tokoh cerita. Hal ini tidak berlebihan karena dalam sistem komunikasi sastra, tokoh sebagai unsur struktur yang otonom memiliki otoritas mengungkapkan suatu pesan, amanat, moral yang sengaja ingin disampaikan pada pembaca (Nurgiyantoro, 1995: 167). Kemudian, persepsi tentang citra diri perempuan dan lelaki akan ditilik dari sudut pandang pengarang yang datang dari status seksual berbeda. Kesinambungan antara citra diri yang dipersepsi oleh tokoh terhadap dirinya dengan citra diri tokoh yang dipersepsi oleh pengarang akan melengkapi wacana yang ingin ditampilkan.

3.1. Persepsi Perempuan Terhadap Citra Diri dalam PdTN
Seperti telah diuraikan di atas, bahwa citra diri perempuan ditunjukkan oleh aspek fisisnya yang alamiah; wanita memiliki assessory reproductive system dan secondary sexual characteristics yang dapat melangsungkan fungsinya sebagai penerus keturunan. Fungsi reproduktif ini adalah kelebihan perempuan yang tidak dimiliki oleh lelaki. Dalam kelebihan citra diri seperti itu, ada fungsi yang memerlukan pengaturan dan pengendalian (Sugihastuti, 1991: 114). Adalah tidak mengherankan bila perempuan sudah harus dihimpit oleh kultur yang mengasingkan mereka demi untuk menjaga fungsi reproduktif tadi. Pengaturan dan pengendalian itu mengakibatkan domestisitas sehingga perkembangan fisis perempuan juga sangat terjaga dan terlindungi.
Dalam keterjagaan dan keterlindungan itu perempuan kemudian dikondisikan untuk menjadi lemah-lembut. Dalam wilayah patriarkhal, kelemahlembutan perempuan akhirnya menjadi alasan bagi lelaki [yang lebih kuat] untuk membuat pengaturan dan pengendalian bagi perempuan, misalnya dengan pembatasan aktifitas (domestikasi) dan upaya kekerabatan (perkawinan, suka atau tidak) yang dalam novel PdTN digambarkan sangat bias. Bentuk-bentuk pengaturan itu, yang demi hak milik dan kebutuhan lelaki memojokkan mereka ke sudut marjinalitas, mensubordinasi kepentingan mereka, dan bahkan lebih menyiksa perempuan. Dalam citra dirinya, wanita seolah-oleh diwarisi beban berat dan mengalami cacat bawaan.
Adapun lelaki yang harus dilayani oleh tokoh dalam PdTN adalah ayah sebagai pemegang hak dan otoritas tertinggi dalam keluarga. Karena itu, pelayanan sebagai kewajiban menempatkan mereka dalam perlindungan ayah sebagai hak yang akan diterima. Akan tetapi, sayang sekali hak itu sama sekali hanyalah semu. Hal ini terbukti dari rasio keseimbangan kesejahteraan dan ketidaknyamanan yang ditampilkan sangat berat sebelah. Tokoh, sejak kecil diperlakukan sebagai pekerja di rumah sendiri (hlm. 19,20) tetapi tidak pernah diberi penghargaan walaupun hanya satu piaster (hlm. 92). Di tengah-tengah pekerjaan yang berat itu [mengangkat tembikar, membakar adonan roti, mengambil jerami, pergi ke ladang], tokoh masih pula mendapatkan pelecehan seksual dari paman.
Sebagai perempuan, tokoh tidak melihat segala beban sebagai abnormalitas. Beban-beban tersebut telah dibangun di alam bawah sadar sebagai kewajiban perempuan. Bisa saja sikap penerimaan ini telah diwariskan oleh ibu tokoh bahkan dari wanita di lingkungannya secara keseluruhan.
Hak perlindungan lelaki yang semu menempatkan perempuan untuk tidak dapat menentukan pilihannya. Keadaan seakan dilindungi padahal sebenarnya tidak demikian membuat tokoh mengikuti garis hidup tanpa lentera. Ia hanya berjalan memasuki lorong yang panjang hasil ciptaan dunia patriarkhal. Tokoh tidak bisa menimba ilmu di perguruan tinggi (al-Azhar) karena di situ hanya boleh mahasiswa lelaki. Betapapun keras keingingan tokoh untuk masuk perguruan tinggi, ada stereotip tertentu dalam persepsi masyarakat sehingga mereka tidak patut untuk itu.
“Apa yang akan kita perbuat dengannya?”
“Kita bisa bebas dari dia dengan mengirimkannya ke universitas. Di sana dia dapat tinggal di asrama puteri”.
“Ke universitas? Ke suatu tempat di mana dia akan duduk bersebelahan dengan lelaki? Seorang syekh dan laki-laki yang saleh macam aku ini akan mengirimkan kemenakan untuk berbaur dengan kumpulan orang laki-laki? (hlm. 52)

Perempuan tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang tinggi. Dengan nada satiris, Mansur Fakih (2001:14) menyebut hal ini dengan pemiskinan satu jenis kelamin tertentu, dalam hal ini perempuan. Dalam diskursus PdTN, proses marginalisasi dalam bidang pendidikan ini diduga berasal dari kebijakan pemerintah Mesir, dikuatkan dengan tafsir agama yang misoginis, dan dilembagakan oleh keyakinan tradisi dan kebiasaan.
“Apakah yang akan kau berbuat di Kairo, Firdaus?”
lalu saya menjawab, “Saya ingin ke el-Azhar dan belajar seperti Paman”.
Kemudian ia tertawa dan menjelaskan bahwa el-Azhar hanya untuk kaum pria saja. Lalu saya menangis, dan memegangi tangannya, sementara kereta api mulai bergerak maju. Tetapi ia menarik tangannya dengan sekuat tenaga dan secara tiba-tiba sehingga saya jatuh tertelungkup.”(hlm. 30)

Saya mencoba baca beberapa kata. Kata-kata itu bagi saya seperti lambang-lambang penuh rahasia yang membuat diri saya diliputi perasaan agak ketakutan. El-Azhar adalah satu dunia yang mengagumkan dan hanya dihuni oleh orang lelaki saja, dan paman merupakan salah seorang dari mereka, dan dia adalah seorang laki-laki.

Akibat pemiskinan “intelektual” tersebut, tokoh memiliki citra diri yang rendah terhadap dirinya. Kesempatan ini digunakan secara cerdik oleh berbagai pihak untuk menangguk keuntungan. Tokoh dikawinkan secara paksa dengan lelaki tua yang kasar dengan mas kawin yang tinggi (hlm. 61), dijadikan pemuas nafsu oleh Bayoumi (hlm. 70) serta diminta melayani syahwat sejawatnya (hlm. 73). Akhirnya, ia disemangi oleh germo wanita untuk dijadikan sumber uang setelah melayani banyak lelaki.
Citra diri yang rendah itu membutakan mata tokoh PdTN. Sebagai perempuan, ia menganggap dirinya bukan milik sendiri yang bebas menentukan pilihan, untuk menolak atau menerima keputusan orang lain. Citra diri yang rendah itu membuat mereka berfikir bahwa perempuan adalah makhluk yang jatuh dari langit, ia bukan milik siapa-siapa bahkan bukan milik dirinya sendiri. Hingga titik ini, mereka tidak pernah sadar bahwa mereka adalah pemilik otoritas penuh atas tubuh dan jiwa mereka.
Ada satu garis tipis namun tegas yang membangun kesadaran tokoh tentang kepemilikan atas tubuh dan jiwanya, yaitu uang (piaster). Cerita tentang pister ini tampak begitu ditekankan untuk menandakan garis tipis pembeda itu (hlm. 92). Sebagaimana diketahui bahwa tokoh tidak pernah menerima haknya, termasuk uang semenjak kecil hingga dewasa sampai suatu ketika pemakai jasanya sebagai pelacur memberikan sepuluh pon, untuk dirinya sendiri. Hak sebagai anak, istri, atau pelacur dengan berganti-ganti germo tidak pernah didapatkan. Dengan piaster sebesar sepuluh pon, tokoh baru berfikir untuk bebas memilih apa yang disukainya termasuk berapa harga jasanya dan siapa yang berhak memakai jasanya (hlm. 98).
Setelah tokoh menyadari bahwa pemegang otoritas atas tubuh dan jiwanya adalah ia sendiri, tokoh membangun citra diri yang baik bagi dirinya sebagai perempuan. Citra diri tersebut agak berkesan negatif tetapi realistis, yaitu orang akan menghargai perempuan menakala perempuan memiliki kekayaan/uang. Hal ini kemudian menjadi gayut ketika tokoh pernah mencoba menjadi manusia terhormat dengan mengubah profesi jadi pekerja pabrik (hlm. 106). Karena faktor ketiadaan dan kondisi yang miskin, perempuan tidak pernah menjadi terhormat bahkan sebaliknya memiliki beban kerja yang berat dan mendapatkan perlakuan cabul oleh pejabat (hlm. 108). Ia lalu kembali lagi ke dunia hitam yang membuatnya jauh lebih terhormat (hlm. 125, 129).
Citra diri sebagai makhluq yang kuat muncul ketika tokoh bisa membunuh seorang germo dengan belati karena pemerasan yang dilakukannya. Terakhir citra diri sebagai manusia yang merdeka ia tampakkan ketika ia lebih memilih mati di tiang gantungan dari pada mengajukan grasi kepada presiden.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bagaimana perempuan mempersepsikan citra diri mereka. Awalnya perempuan memiliki citra diri yang rendah karena faktor lingkungan yang menciptakan kondisi tersebut, yakni perempuan tidak difasilitasi oleh negara untuk mendapatkan pendidikan tinggi. Kemudian perempuan memiliki citra diri yang terhormat dengan kepemilikan penuh atas tubuh dan jiwanya ditunjang dengan kekayaan yang dimilikinya. Terakhir, citra diri perempuan sebagai makhluq yang kuat dan merdeka muncul setelah proses pematangan diri dari dialektika permasalahan yang sedemikian rumit.

3. 2. Persepsi Lelaki Terhadap Citra Diri dalam LdTN
Novel LdTN mengukuhkan persepsi tentang lelaki dengan kromosom khusus X + Y dan hormon testosteron yang memiliki karakter unggul dan kuat. Konsep gender tentang lelaki yang dikonstruksikan secara kultural dapat ditemui secara utuh dalam novel ini. Pada umumnya, lelaki dipersepsikan sebagai makhluk yang kuat, rasional, jantan, dan perkasa (Mansur Fakih, 2001: 8) sebagaimana digambarkan oleh sosok tokoh Dr. Syahin yang menjadi tokoh protagonis novel LdTN.
Tokoh lelaki ini dikonstruksikan sebagai sosok yang jenius. Di samping sebagai dosen di sebuah universitas terkemuka di London, ia juga merupakan seorang peneliti di laboratorium terbesar di dunia. Para tokoh bermain pada era futuristik dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat. Teknologi yang ada pada masa ini sudah menjadi bahan lelucon di era futuristik tersebut.
Sebagai tokoh utama, lelaki ini memandang masa lalu sebagai pijakan kuat untuk melangkah ke depan. Ia merupakan ahli sejarah yang mampu berbicara panjang lebar tentang dunia masa lampau. Diskursus tersebut berkisar tentang permasalahan dunia yang hancur akibat perang selama tiga hari dan konsekwensinya pascaperang.
“Pada tanggal 8 Agustus 1999 perang berkobar, kemudian berakhir 11 Agustus. Perang tiga hari ini, menghacurkan ribuan kota, merenggut berjuta-juta nyawa. Terjadi badai debu yang mengandung zat kimia dan sangat mematikan, semua bendungan dan tanggul roboh, hingga air meluap menjadi banjir besar yang melumpuhkan seluruh aktivitas kehidupan manusia” (Mahmud, 2000: 9).

Pascaperang membuat manusia berfikir tentang dunia yang damai. Mereka menciptakan negara integralistik tanpa batas geografis dan menciptakan teknologi untuk kemakmuran masyarakat dunia. Persepsi lelaki tentang citra diri yang positif muncul di sini, yakni berfikir positif tentang masa lalu memotivasi mereka untuk berbuat yang lebih baik.
Dalam menghadapi krisis kehidupan pascaperang, ilmuwan lelaki (hlm. 16, 23) berlomba menciptakan antivirus untuk menghentikan gynocide di muka bumi. Citra diri lelaki sebagai makhluq kuat dan perkasa menjadikan mereka sebagai pekerja keras dan kooperatif untuk mewujudkan tujuan yang ingin dicapai. Dengan kerja keras itu, pada akhirnya muncul pula citra diri positif lainnya, yakni pribadi yang optimis dalam menyelesaikan setiap permasalahan.
Tokoh lelaki, sebagai putra peradaban futuristik sangat gandrung pada ilmu pengetahuan. Ia menjadi manusia gelombang pertama untuk membuktikan asumsi-asumsi ilmu pengetahuan tentang semesta antariksa dan tata surya. Pada tahap ini, lelaki memiliki citra diri yang rasional dan inovatif. Dikatakan rasional karena pembuktiannya terhadap hepotesis tentang kehidupan dalam gelombang bersifat kebenaran ilmiah. Dikatakan inovatif karena terdapat proses perkembangan evolusi ilmu pengetahuan dapat dibuktikan oleh para ilmuwan lelaki. Dunia gelombang yang selama ini hanya bisa ditransmisi oleh gambar dan suara akhirnya bisa memindahkan objek gambar sekaligus dengan fisiknya.

4. Persepsi tentang Citra Diri Perempuan dan Lelaki di Titik Nol
Kalaulah kedua novel ini tidak menyatakan posisi perempuan dan lelaki yang berdiri di titik nol, maka tentulah novel ini tidak layak dipermasalahkan. Akan tetapi, posisi titik nol menandakan sesuatu yang lain dan oleh karenanya dapat pula diinterpretasikan secara lain pula. Posisi titik nol bermakna metaforis yang menggambarkan sebuah tempat untuk berdiri atau memandang diri mereka dari sebuah titik, yaitu titik nol. Baik lelaki ataupun perempuan start dari titik yang sama, tidak lebih satu senti atau kurang satu senti. Posisi ini memungkinkan mereka memandang kediriannya dari tempat yang netral, tanpa pretensi apapun.
Alhasil, cara tokoh perempuan dalam PdTN mempersepsikan citra dirinya masih paralel dengan konstruksi sosiologis dan kultural masyarakat terhadap perempuan. Firdaus, sebagai representasi perempuan Mesir memiliki citra rendah terhadap dirinya. Ia memandang tidak berhak atas tubuh dan jiwanya sendiri. Ia tidak punya kekuatan untuk menolak siapa saja yang akan memiliki dirinya untuk dinikmati ataupun disiksa. Secara pragmatis pula, tokoh perempuan mempersepsikan citra dirinya sebagai individu terhormat bila terdapat keterkaitan antara dirinya dan kekayaan. Di samping citra negatif tersebut, ternyata tokoh memiliki citra diri sebagai makhluq yang kuat dan merdeka. Akan tetapi, citra diri tentang kemerdekaannya dalam memilih hidup dan mati tidak luput dari sikap patalistiknya terhadap kehidupan yang tidak adil.
Bila titik nol itu dikatakan sebagai sebuah tempat dimana perempuan memandang kediriannya secara netral, maka perempuan dengan citra diri yang melekat itu telah memandang masa lalunya sebagai borok kronis dan mengambil keputusan pesimistis-patalistik bahwa tidak ada lagi harapan di masa depan untuk memperbaikinya. Lebih lanjut, keadaan seperti ini gayut dengan pandangan kaum Jabbariyah bahwa manusia hanyalah bidak catur di tangan pemainnya. Tidak ada ruang untuk memilih, menentukan, memprotes karena tugasnya dalam kehidupan hanyalah menjalani hidup sebagaimana telah diatur.
Kondisi pesimistis-patalistik dalam PdTN bertolak belakang dengan kondisi yang dibangun dalam LdTN. Tokoh, Dr. Syahin, sejak awal memiliki citra diri yang positif, di antaranya adalah selalu berfikir positif, rasional dan inovatif, kuat dan optimis. Sejarah dunia yang porak-poranda justru dijadikan pijakan kuat untuk berbuat yang lebih baik dalam bidang penelitan ilmu pengetahuan. Berlandaskan asas rasionalitas, tokoh mengembangkan teori tentang gelombang hingga ia dapat hidup di dalamnya. Segala keruwetan dunia dan kerumitan ilmu pengetahuan dihadapi dengan kekuatan kultural-sosiologis seorang lelaki dan dengan perasaan optimis.
Bila titik nol itu dikatakan sebagai sebuah tempat dimana lelaki memandang kediriannya secara netral, maka lelaki dengan citra diri yang melekat memandang masa lalunya sebagai kebanggaan dan menatap masa depannya dengan rasa percaya diri dan optimistik. Keadaan ini sejalan dengan persepsi kultural dan sosiologis terhadap lelaki yang memiliki keunggulan dan kesempatan dibandingkan dengan perempuan.
Bila dikaji secara intertekstual, judul novel pertama menjadi hipogram potensial bagi lahirnya novel kedua. Novel kedua kemudian menjadi oposisi biner yang memamerkan keunggulan lelaki dibandingkan perempuan dan menunjukkan penguasaan lelaki atas perempuan. Citra diri positif lelaki digambarkan mulai dari awal hingga akhir. Bahkan gambaran visual dan mental lelaki lebih unggul dalam hal memilih kematian, yaitu di antara gugusan tata surya demi untuk menjelaskan misteri ilmu pengetahuan tentang antariksa. Sementara citra diri negatif perempuan digambarkan sejak dari kecil hingga akhir, yaitu memilih akhir hidup di tiang gantungan.

5. Titik Nol dan Gynokritik
Kekalahan perempuan dalam mempersepsikan diri tentang citra diri dari pada lelaki sebagaimana digambarkan novel hendaklah dimaknai sebagai kritik terhadap dominasi lelaki yang cenderung memproduksi hegemoni struktur gender dan seksualitas. Kegagalan tersebut hendaknya dipandang dari sudut kebenaran yang ingin diperjuangkan oleh pengarang perempuan dan pengarang lelaki dalam karyanya, walau dalam bahasa yang berbeda.
Ada perbedaan yang jelas antara karya yang diciptakan lelaki dan karya yang dihasilkan perempuan. Pengarang lelaki terbebas dari bentuk tekanan apapun dalam berkarya. Begitupun dalam LdTN, pengarang lelaki secara bebas mempersepsi citra diri mereka sebagai makhluq yang unggul sesuai dengan konstruksi persepsi kultural dan sosiologis tentang lelaki. Hal ini berlainan dengan pengarang perempuan. Oleh karena itu, hal ini menjadi perhatian serius kalangan feminis sehingga muncul pendekatan gynokritik dalam bidang sastra, yaitu kajian tentang gambaran sastra mengenai perbedaan mendalam antara hasil penulisan perempuan dengan lelaki (Selden, 1993: 142). Pendekatan ini akan lebih sempurna bila dilanjutkan dengan kritik sastra feminis, yaitu suatu pendekatan yang menyadari adanya kenyataan bahwa baik kanon tradisional maupun pandangan tenang manusia dalam karya sastra pada umumnya mencerminkan ketimpangan gender (Djajanegara, 1995: 19).
Dalam diskursus gynokritik dan kritik sastra feminis dinyatakan bahwa pengarang lelaki dapat membangun konsep diri yang positif bagi mereka dan membudayakan konsep diri negatif bagi perempuan. Pendekatan kritik sastra feminis ingin mengcounter atau paling tidak memberikan citra diri yang berimbang bagi kaum perempuan dalam karya sastra.
Elaine Showalter (Selden, 1993: 143) membagi tradisi kepenulisan perempuan dalam tiga fase. Pertama, fase “feminin”, (1840-1880) dimana para penulis perempuan meniru dan menghayati standar estetika pria yang dominan, yang menghendaki para penulis perempuan tetap sebagai wanita terhormat. Kedua, fase “feminis” (1880-1920) yang dipelopori kaum feminis radikal yang menganjurkan utopi separatis Amazonian dan persahabatan wanita yang berhak memilih. Ketiga, fase “wanita” (1920 dan seterusnya) mewarisi ciri-ciri fase sebelumnya dan mengembangkan ide tentang kekhususan tulisan wanita dan pengalaman wanita.
Penulis novel PdTN, Nawal el-Saadawy, tentu harus dimasukkan ke dalam tradisi kepenulisan wanita pada fase ketiga, yaitu fase wanita. Ada tekanan-tekanan tertentu bersifat geram dan nyaring yang ingin dikomunikasikan pada pembaca sebagai individu yang memproduksi makna. Melalui citra diri yang rendah sebagaimana ditampakkan dalam novel, pengarang ingin menjelaskan sebab akibat yang ditimbulkan oleh situasi yang menyudutkan perempuan. Citra diri tokoh yang rendah lebih dapat dirasakan oleh pembaca karena pengarang mengalami perasaan tokoh fiksinya.
Ditilik dari sejarah, indikasi marjinalisasi perempuan dapat ditemukan dalam berbagai perbincangan. Sejarah mencatat, sebelum-bahkan beberapa waktu setelah Muhammad Ali berkuasa-lembaga pendidikan di Mesir, termasuk Perguruan Al-Azhar kebanyakan didominasi oleh kaum pria. Waktu itu iklim di Mesir tidak mendukung kaum perempuan untuk belajar setinggi-tingginya. Mereka dipingit dalam rumah secara berlebihan dan tidak diberi kesempatan yang sama seperti saudaranya kaum pria.
Pada waktu itu, Mesir tidak jauh berbeda dengan negara-negara Arab lainnya masih mengembangkan praktek diskriminasi antara perempuan dan kaum pria. Kaum perempuan cenderung disubordinasikan dari peran sosial dan pergaulan kemasyarakatan. Masyarakat selalu mengajarkan bahwa perempuan tidak perlu belajar tinggi-tinggi karena toh akhirnya akan dipinang dan menjadi istri yang bertugas pada sektor domistik.[1] Margot Badran dalam Daniz Kandiyati (1991: 203) mengemukakan data bahwa di awal abad 19 orang-orang Mesir tidak mengizinkan putri-putri mereka mengikuti sekolah kebidanan yang baru didirikan. Sebagai jalan keluarnya sekolah itu banyak merekrut budak-budak Ethiopia untuk menjadi siswi-siswi perdananya.
Dalam bukunya, Perempuan dalam Budaya Patriarkhi, Nawal menyebutkan penyebab yang menjadikan tokoh fiksinya memiliki citra diri rendah karena penindasan, eksploitasi, dan tekanan sosial tidak saja bagi perempuan di negaranya tetapi juga di seluruh dunia (2001: V). Penindasan tersebut lahir dari persoalan-persoalan manusia sehingga satu kelas harus menguasai kelas lain, dan lelaki menguasai perempuan. Akibatnya, terjadi ketidakadilan yang kronis yang menjadikan satu kelas atau perempuan menderita dan menerima nasib buruk dirinya tanpa dapat mengadakan perlawanan. Perempuan yang dibedakan oleh kromosom X dan Y telah ditandai ciri fisiknya yang khas dan boleh diperlakukan secara spesifik pula. Dasar yang berbeda ini kemudian diinstitusikan dalam pengaturan-pengaturan tertentu dan ketat dalam masyarakat yang semakin menjadikan citra diri perempuan terbentuk. Mereka merasakan citra diri sebagai makhluq yang tidak bahagia. Tempat perempuan berada terwujud atas persepsi masyarakat, terutama lelaki, yang pada awalnya sudah menempatkan perempuan ke peran yang tidak membahagiakan.
Dengan melihat persepsi pengarang perempuan (Nawal el-Saadawy) terhadap citra diri tokoh yang diciptakannya, dapat dirasakan cemoohan dan sindiran terhadap upaya domestikasi dan marjinalisasi kaum lelaki yang terlembaga terhadap kaum perempuan. Sayang sekali, pengarang lelaki (Mustafa Mahmud) tampak memposisikan karyanya sebagai oposisi biner dengan masih memperlihatkan spirit kompetitif yang divisualkan dalam citra diri tokoh ciptaannya. Spirit ini masih berkaitan dengan adigum bahwa ilmu pengetahuan beserta teori yang dibangunnya merupakan konstruksi kaum lelaki. Pengarang tampak meresapi perkataan Simone de Beauvoir: “ dunia ini memang hasil karya laki-laki” dan “perempuan adalah jenis kelamin kedua”, yang dikatakan oleh Muhammad Sodik sebagai maskulinisasi epistimologis (Sodiq, 2003: xx).
6. Penutup
Berangkat dari sudut pandang yang berbeda tentang bagaimana citra diri lelaki dan perempuan dipersepsikan melalui media kata, frase, atau kalimat dalam novel LdTN dan PdTN, ditemukan hasil yang sangat paradoks. Perempuan mempersepsikan diri dengan citra yang rendah sehingga menempatkan mereka pada peran yang tidak membahagiakan. Sebaliknya lelaki mempersepsikan diri dengan citra yang positif. Citra diri yang digambarkan dalam kedua novel masih paralel dengan citra diri tentang lelaki dan perempuan yang dikonstruksikan masyarakat secara kultural dan sosiologis. Agar tidak terjebak dalam persaingan tak sehat, maka oposisi biner ini harus dijembatani dengan sudut pandang pengarang dalam kerangka memaknai citra diri tokoh yang diciptakannya.


















BAHAN BACAAN

Anderson, Margareth L., Thinking About Women (New York: Macmillan Publishing, 1983).

Bonvillain, Nancy, Women and Men Cultural Construct of Gender (New Jersey: Prentice Hall Inc., 1995).

Djajanegara, Sonarjati, Citra Wanita dalam Lima Novel Terbaik Sinclair Lewis dan Gerakan Wanita di Amerika. (Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1995).

Fakih, Mansur, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001)

Heraty, Tuty, “Studi Wanita: Suatu Paradigma Baru Emansipasi Wanita”, Makalah Seminar Nasional Wanita Indonesia: Fakta dan Citra (Jakarta:1984)

Ilyas, Hamim dkkl, Perempuan Tertindas? Kajian Hadis-Hadis Misoginis (Yogyakarta: PSW UIN Sunan Kalijaga, 2003)

Mahmoud, Mustofa, Lelaki di Titik Nol (Terj.), (Yogyakarta: Navilla, 2000)

Nurgiyantoro, Burhan, Teori Pengkajian Fiksi (Yogyakarta: UGM Press)

Pradopo, Rahmat Djoko, “Citra Indonesia dalam Puisi Indonesia Modern” Makalah Seminar Hubungan Sastra dan Budaya (Jakarta: P3B Depdikbud, 1990)


el-Sa’dawy, Nawal, Perempuan di Titik Nol, (Terj.), (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995)

_________, Perempuan Dalam Budaya Patriarki (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001)

Selden, Raman, Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini (Yogyakarta: UGM Press, 1993)

Sugihastuti, Wanita di Mata Wanita Perspektif Sajak-Sajak Tuty Heraty (Bandung: Nuansa, 2000).

TPK P3B Depdikbud , Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989)





[1] Informasi tentang diskriminasi peran ini banyak ditemukan dalam novel-novel Arab kontemporer, seperti al-Nida’ al-Khalid karya Najib al-Kailani dan karya-karya Nawal el-Sa’dawy.

Tidak ada komentar: