Rabu, 05 Desember 2007

SEKSUALITAS DALAM NOVEL INDONESIA KONTEMPORER

Oleh: Muhammad Walidin

Abstrak
Penelitian yang berjudul “Seksualitas Dalam Novel Indonesia Kontemporer” ini bermaksud mengungkapkan tanggapan pembaca berdasarkan pendekatan resepsi sastra. Adapun sampel penelitian adalah Saman karya Ayu Utami yang mengungkap heteroseksualitas secara vulgar, Supernova karya Dewi Lestari yang memperkenalkan homoseksualitas kaum gay, dan Garis Tepi Seorang Lesbian Karya Herliniatin yang mengangkat cinta sejenis kaum lesbian.
Pendekatan resepsi sastra pada dasarnya adalah untuk mengetahui tanggapan pembaca sastra secara historis yang menjadi nilai normatif komunal. Sejak Nota Rinkes masa Balai Pustaka, seksualitas dalam karya sastra Indonesia dinilai negatif secara komunal. Namun sejak munculnya Saman (1998), tanggapan pembaca terhadap seksualitas berubah. Hal tersebut tampak dari tanggapan positif dari para kritikus sastra terhadap muatan novel ini yang multidemensional. Sebagai ‘gong’nya, karya Saman mendapatkan penghormatan sebagai pemenang senyembara penulisan karya sastra oleh Dewan Kesenian Jakarta. Tanggapan positif pembaca lahir pula dari para penulis sastra lainnya (kebanyakan perempuan) yang merasa percaya diri untuk membuka masalah seksualitas secara vulgar dan beragam. Di samping itu, terdapat indikasi ketidaksetujuan dari kalangan umum terhadap wacana seksualitas yang diangkat, seperti para pemerhati pendidikan, sastrawan yang masih menekankan moralitas, dan para perempuan yang tidak suka ditelanjangi di depan publik.
Hasil dari penelitan ini menunjukkan terdapat polarisasi tanggapan terhadap seksualitas dalam tiga novel Indonesia kontemporer. Secara historis, tanggapan yang muncul; negatif dan positif tidak bisa diambil salah satunya. Keduanya menjadi nilai komunal bagi pembaca masa ini.


A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Kontroversi mengenai seks atau gambaran tentang hal-hal yang erotis dalam karya sastra telah dimulai sejak dini. Pada generasi Balai Pustaka 'Nota Rinkes' misalnya, dianggap melanggar tabu dan ”merusak moral.” Juga 'Belenggu' karya Armijn Pane yang mempersoalkan cinta dan perselingkuhan juga menimbulkan kontroversi. Pada akhir 1960-an novel-novel Motinggo Busye trilogi Bibi Marsiti dianggap mengandung banyak unsur pornografi juga menuai diskusi yang panjang (Pradopo, 1995: 76). Dari sudut resepsi sastra, kata 'tabu' dan 'merusak moral' merupakan bentuk resepsi negatif pembaca terhadap nilai atau norma yang mewakili masyarakat sastra pada masa itu terhadap karya-karya sastra yang bertemakan seks..
Berbeda dengan norma dan nilai yang dihasilkan oleh tanggapan pembaca pada masa Balai Pustaka di atas, sastra Indonesia saat ini boleh bergembira dengan maraknya karya-karya sastra yang dimunculkan oleh para sastrawan perempuan Indonesia yang menghadirkan nuansa lain dan baru dalam karya-karya mereka. Salah satu cirinya adalah keberanian menabrak tabu, khususnya dalam mengeksplorasi hal-hal yang menyangkut seksualitas. Hal ini terlihat pada dalam Novel 'Saman' yang ditulis oleh Ayu Utami yang kemudian dianggap pionir dalam genre baru satrawan perempuan Indonesia. Langkah Ayu ini kemudian disusul oleh banyak penulis perempuan lain, semisal Dewi D Lestari dengan 'Supernova' dan Herliniatien dengan 'Garis Tepi Seorang Lesbian'.
Tentu saja bukan hanya masalah seksualitas saja yang diungkap oleh para penulis perempuan ini. Banyak hal lain seputar politik, sosial dan budaya. Akan tetapi sisi seksualitas yang terasa lebih 'baru' karena cara pengungkapannya yang sungguh jauh berbeda dengan pola-pola sebelumnya, menjadikan ciri ini menjadi sorotan utama khalayak. Apalagi selama ini, masalah seks dalam sebagaian besar masyarakat kita masih masuk wilayah yang cukup tabu untuk dibicarakan apalagi secara 'telanjang'.
Dalam kasus pengungkapan seksualitas pada karya-karya sastra pengarang perempuan, muncul banyak resepsi positif pembaca terhadap novel yang berjenis baru ini. Sebagai contoh, Djokosudjatno (2002: 7) mengapresiasi usaha Ayu dalam Saman dan Larung sebagai sebuah kontribusi positif mengenai wacana keunggulan wanita dalam seksualitas (hal.7).
Apresiasi terhadap pengungkapan seksualitas dalam novel-novel di atas, akan menjadi norma yang mewakili suatu masa terhadap estetika suatu karya (Chamamah, 207) karena ia mewakili reaksi pembaca historis (hal.213). Artinya, apresiasi positif pembaca yang diwakili oleh real reader dapat mensublimasi ranah seksualitas yang terbuka dalam novel-novel Indonesia. Akan tetapi, bagaimana bila resepsi pembaca tersebut tidak bulat dan sebaliknya dinamis (bisa bernilai postif dan negatif) dalam suatu waktu yang bersamaan? Sebagaimana antitesis Imam Cahyono (www.cybersastra.com) yang menilai bahwa tulisan para penulis perempuan diantaranya Ayu Utami dianggapnya hanya berkutat pada seputar permasalah seksualitas sangatlah monoton, jumud, elitis dan eksklusif.
Dengan kedua pola resepsi di atas yang dikaitkan dengan perhatian resepsi sastra tentang nilai kolektif suatu karya dalam suatu masa, yang manakah dari kedua resepsi tersebut akan mewakili masanya? Atau dapatkah kedua resepsi tersebut mewakili norma-norma yang berlaku dalam suatu masa, karena pola resepsi tersebut juga merupakan proses konkretisasi artefak yang kemudian menjadi estetis setelah diresepsi oleh pembaca?
Berangkat dari paparan di atas, penelitian terhadap karya-karya penulis perempuan Indonesia dari sudut pandang tanggapan pembaca terhadap pengungkapan sisi seksualitas dalam karya-karya mereka penting untuk dilakukan. Melalui pendekatan resepsi sastra ini, akan didapatkan konkretisasi pembaca, dikaitkan dengan storage of knowledge setiap pembaca untuk menemukan nilai karya yang dibaca.
Adapun pokok-pokok masalah yang akan dalam penelitian ini adalah: a) Bagaimana bentuk resepsi peminat sastra Indonesia terhadap novel-novel kontemporer Indonesia, b) Adakah polarisasi tanggapan yang terbentuk berdasarkan latar belakang real reader sehingga pendapat tersebut dapat mewakili norma dari masa tertentu.
Penelitian mengenai seksualitas dalam novel-novel kontemporer Indonesia ini bertujuan untuk menemukan berbagai reaksi dan tanggapan para peminat sastra Indonesia terutama terhadap karya-karya yang ditulis oleh para penulis perempuan yang mengungkapkan sisi seksualitas secara gamblang. Kedua, mengetahui jejak polarisasi resepsi berkaitan dengan nilai positif dan negatif dari novel-novel yang mengangkat masalah seksualitas.
2. Landasan Teori
Secara definitif resepsi sastra berasal dari kata recipere (Latin), reception (Inggris), yang diartikan sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca. Dalam arti luas resepsi diartikan sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya, sehingga dapat memberikan respon terhadapnya. Respon yang dimaksudkan tidak dilakukan antara karya dengan seorang pembaca, melainkan pembaca sebagai proses sejarah, pembaca dalam periode tertentu (Ratna, 2004: 165).
Pembacaan seorang pembaca terhadap sebuah karya sastra akan sangat berbeda-beda sepanjang tahun. Hal ini dikarenakan adanya cakrawala harapan; yaitu harapan-harapan seorang pembaca terhadap karya sastra. cakrawala ini berbeda dipengaruhi oleh pendidikan, pengalaman, pengetahuan dan kemampuan seorang pembaca dalam menanggapi sebuah karya sastra sebagaimana diungkapkan oleh Segers (1978: 132).
Dalam penelitian resensi dibedakan pada dua bentuk; a) resepsi secara sinkronik, b) resepsi diakronik. Resepsi sinkronik merupakan penelitian sastra dalam hubungannya dengan pembaca sezaman. Pada bagian ini berbagai tanggapan dikumpulan untuk mengetahui tanggapan pembaca pada kurun waktu tertentu. Dari data yang dikumpulkan tersebut akhirnya dapat ditemukan konkritisasi dari masing-masing pembaca, hanya saja konkretisasi ini belum teruji secara historis. Maka dari itu penelitian diakronis diperlukan. Pada tahap diakronis nilai seni sebuah karya sastra sepanjang waktu yang telah dilaluinya akan makin menguat. (Ratna: 167-168).
Bila resepsi sastra erat kaitannya dengan pembaca, maka pembaca yang dimaksudkan adalah pembaca yang memberikan makna pada karya tersebut. Ada tiga tipe pembaca menurut estetika resepsi sastra, yaitu pembaca ideal (super reader), pembaca implisit (implicit reader), dan pembaca riil (real reader). Dalam penelitian ini, tanggapan pembaca akan diambil dari pembaca riil, yaitu pembaca peneliti dan umum yang menempatkan diri sendiri berdiri di luar proses membaca (Chamamah, 1994: 210).
B. METODE PENELITIAN
Penelitian yang penulis lakukan ini merupakan penelitian kepustakaan. Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode induktif dengan memaparkan berbagai kritik atau tanggapan khalayak terhadap obyek kajian yang bersangkutan. Tehnik yang akan dilakukan adalah dengan mengumpulkan tanggapan-tanggapan pembaca yang telah ditulis baik dalam media (internet dan koran), makalah, ataupun buku. Tanggapan ini merupakan kolektivisasi dari tanggapan individual. Oleh karenanya, ia dapat menjadi norma komunal terhadap nilai seksualitas novel-novel Indonesia. Di samping itu, tanggapan juga bisa berbentuk intertekstualisasi karya sesudahnya sebagai resepsi terhadap norma yang baru tumbuh. Dari sini akan diketahui pertentangan dan ketegangan yang muncul antara pemakaian suatu konvensi yang telah mapan dalam suatu masyarakat dengan inovasi yang dilakukan oleh pengarang.
Adapun sample penelitian dibatasi hanya pada tiga penulis, yaitu Ayu Utami dengan novel 'Saman' yang mengangkat masalah heteroseksual, Dewi D Lestari dengan 'Supernova' yang mengangkat masalah homoseksual, dan Herliniatien dengan 'Garis Tepi Seorang Lesbian' yang mengambil tema tentang lesbian. Sampel ini diambil berdasarkan pertimbangan bahwa novel-novel inilah yang menjadi bahan diskusi dan kontroversial akhir-akhir ini. Di samping itu, kehadiran novel-novel bertema seksualitas tersebut merupakan tanggapan intertekstual yang simultan untuk membentuk legalitas norma baru dalam khazanah sastra Indonesia.

C. PEMBAHASAN
1. Seksualitas Saman, Supernova, Dan Garis Tepi Seorang Lesbian
Pembicaraan mengenai seksualitas tokoh-tokoh novel dalam pembahasan ini akan disesuaikan dengan pemaknaan menurut Abdullah (2002: x), yaitu kontruksi sosial atas konsep tentang nilai, orientasi, dan perilaku yang berkaitan dengan seks dan pendapat Foucault (1990: 3-4), yaitu bagaimana para tokoh mengetahui dirinya sebagai subjek seksualitas.
Pertama, seksualitas dalam Saman. Perselingkuhan adalah hal pertama yang diungkapkan Saman berkaitan dengan seksualitas. Sebuah paradigma baru dalam memandang nilai-nilai sakralitas lembaga perkawinan. Tokoh Laila adalah tokoh yang memiliki ambiguitas dalam masalah penerobosan nilai. Antara ingin melakukan sex pra-nikah (juga dengan suami orang) dan tetap ingin menjaga keperawanannya. Ia ingin melepaskan diri dari ikatan-ikatan moral masyarakat yang menganggap hubungan seksual di luar nikah, apalagi dengan suami orang, adalah sebuah dosa. Laila dan Sihar pernah kencan di sebuah hotel di Indonesia dan juga pernah berencana selingkuh di New York, tetapi usaha perselingkuhan itu gagal. Tampaknya, ketidakberhasilan perselingkuhan antara keduanya merupakan intervensi pengarang untuk memberikan warna lain (yang tetap menjaga nilai-nilai virginitas) di antara tiga tokoh wanita lainnya yang telah menganggap nilai virginitas tersebut tidak berharga.
Perselingkuhan demi perselingkuhan terus terjadi dalam novel ini. Tokoh Yasmin, wanita terhormat dan menikah serta berprofesi sebagai pengacara, memiliki hubungan asmara dan melakukan hubungan seksual yang imajinatif dan sensasional dengan tokoh aktivis bernama Saman. Hubungan ini digambarkan secara panjang melalui media e-mail berbentuk diary seorang Saman dengan bahasa yang sangat terbuka. Lihat Fragmen berikut:
Terjaga dini hari atau tengah malam karena ada yang menggigit dekat ketiakku. Kulihat tangannya masturbasi. Ia naik ke atasku setelah mencapainya. Aku tahu tak tahu cara memuaskannya.

Adapun nilai, orientasi, dan perilaku seksual yang permisif dilakukan oleh dua tokoh perempuan lajang Cok dan Shakuntala juga sama dengan Yasmin. Mereka benar-benar mendobrak tabu yang selama ini dipegang oleh wanita-wanita timur dan beragama. Sejak remaja mereka berdua telah berbagi pengalaman bagaimana bercumbu, saling kros-cek bentuk dan zona erotis laki-laki yang dipacari. Terkadang mereka mendenahkannya pada secarik kertas (hal 150).
Kita akan mulai dengan nilai, orientasi, dan perilaku seksual tokoh Cok. Tokoh ini terusir dari kelompok persahabatan karena satu hal: kondom. Orang tuanya mendapati kondom di tasnya dan oleh karenanya mereka menjadi marah besar. Tokoh ini dipindahkan oleh orang tuanya ke Bali agar mendapat pergaulan yang lebih bagus. Akan tetapi, orientasi dan perilaku seksual tokoh ini semakin bertambah parah. Ia berpacaran dan tidur dengan beberapa lelaki dalam sehari.
Tidak berbeda dengan tokoh Cok, tokoh Shakuntala juga merupakan tokoh pemberontak terhadap nilai-nilai yang mapan. Ia tidak menyukai penisbahan namanya dengan nama ayahnya. Dia sangat membenci pria yang telah menjadikannya ada ke dunia. Dia juga menantang main stream tentang sebuah sakralnya selaput dara. Tokoh Shakuntala, sejak kecil tidak pernah menghargai dirinya sebagai wanita dalam perspektif ketimuran dan agama. Ia memiliki nilai tersendiri tentang seksualitas. Tokoh ini digambarkan sebagai tokoh penganut paham kebebasan sex. Orientasi seksualnya berbentuk heteroseksual sekaligus homoseksual. Waktu berumur 9 tahun ia sudah tidak perawan lagi. Ketidakberhargaan keperawanan bagi tokoh Shakuntala, bahkan digambarkan dengan diberikannya darah keperawanan tersebut kepada Anjing. Bahkan ketika mengunjak remaja (kelas 2 SMA), ia tidak hanya tidur dengan seorang lelaki dan perempuan.
Kempat tokoh wanita di atas, dalam batasan nilai-nilai agama dan ketimuran telah melanggar tabu. Mereka berusaha melakukan hubungan seksual dengan tidak terikat pernikahan atau melakukannya di luar pernikahan yang sah. Demikian pula tokoh laki-laki, Sihar dan Saman, mereka juga memiliki nilai tersendiri dalam memaknai hubungan seksual di luar jalur yang legal.
Di samping penggambaran nilai, orientasi, dan perilaku seksual para tokoh. Dalam novel ini juga digambarkan perilaku seksual yang ‘mungkin’ bisa diacu kepada tokoh Adam dan Hawa sebagai manusia pertama yang melakukan hubungan seksual. Setting tentang taman Firdaus, penciptaan pasangan wanita dari tulang rusuk lelaki, dan term tentang buah terlarang merupakan indikator bahwa cerita ini diambil dari cerita Adam dan Hawa. Akan tetapi, penggambarannya yang imajinatif dan keluar dari alur yang seharusnya membuat cerita ini multiinterpretatif sehingga tidak dapat digugat kebenarannya. Bila pada cerita-cerita yang bersumber pada ajaran agama, hubungan seksual antara Adam dan Hawa terjadi setelah keluar dari surga, tetapi di dalam novel ini hubungan seksual itu terjadi di taman surga dengan cara oral seks. Lihat fragmen berikut:
Ia (perempuan;mungkin hawa) bersimpuh tanpa membantah, sampai kedua ujung dadanya menyentuh kedua ibu jari kaki sang lelaki (Adam). Disekanya telapak itu dengan rambutnya. Kemudia ia tengadah, dengan setitik air di mata kirinya, setitik darah di mata kanannya. Lalu perlahan ia merambat ke atas, sepanjang tungkai lelaki tadi. Wajahnya berhenti di pangkalnya yang rimbun seperti pepohonan. Ia merintih: “kasihanilah, aku Cuma haus., buah yang ini bukan terlarang, kan?”
Sang lelaki diam, tak menemukan jawabnya dalam angin. Perempuan itu membasuh tunas jantan yang menjulur dengan air matanya. Lalu mengecupnya dengan air liurnya. Lelaki itu menggeliat. Pokok itu ranum, dan urat-uratnya menjadi matang dalam himpitan lidah dan langit-langit yang basah. Lalu terdengar geram lelaki itu mengoyak awan ketika benihnya yang metah menyembur (hal. 192).

Lebih dari itu, dalam novel ini terdapat berbagai macam diksi yang vulgar, seperti masturbasi, perkosa, ejakulasi, dan orgasme. Pengarang juga menggunakan kata-kata kontol, klentit, zakar, penis dengan penggunaan yang sangat terbuka. Lebih parah lagi, kata-kata kotor tersebut muncul dari mulut laki-laki yang penggambarannya mirip seperti Adam dengan bisikan Tuhan, seorang Nabi bagi agama samawi. Lihat fragmen di bawah ini.
“Lelaki itu telah mencambuk dada dan punggung perempuan itu, tetapi ia menemukan di selengkangannya sebuah liang yang harum birahi. “Engkau dinamai perempuan karena diambil dari rusuk lelaki.” Begitu kata bisikan tuhan yang tiba-tiba datang kembali. “Dan aku menamai keduanya puting karena merupakan ujung busung dadamu. Dan aku menaminya klentit karena serupa kontol yang kecil.” Namun liang itu tidak diberinya nama. Melainkan dengan ujung jarinya ia merogoh. Dan dengan penisnya ia menembus.” (hal. 193).

Kedua, seksualitas dalam Supernova. Bila Ayu utami, dalam pandangan banyak orang dinilai terlalu vulgar dalam mengekspos tubuh perempuan dan mengungkapkan hubungan heteroseksual yang wajar, maka Dewi Lestari dalam Supernova, mengungkapkan secara implisit kecenderungan homoseksual (pasangan gay) tokoh Dhimas dan Ruben.
Kedua tokoh yang bertemu kala mereka sekolah di Amerika ini memiliki ketertarikan sama, yaitu tentang sains di samping juga tertarik secara seksual antarkeduanya. Mereka adalah profesional dan telah hidup berpasangan selama sepuluh tahun. Penggambaran orientasi seksual mereka tampak secara eksplisit, tetapi perilaku seksual mereka hanya tampak secara implisit. Lihat fragmen berikut ini:
Uniknya, sekalipun sudah sekian lama mereka resmi menjadi pasangan. Ruben dan Dimas tidak pernah tinggal seatap sebagaimana biasanya pasangan gay lain. Kalau ditanya, jawabannya supaya bisa tetap kangen. Tetap dibutuhkan usaha bila ingin bertemu (hal. 10).


Novel Supernova ditulis dalam bingkai multi disipliner dengan fokus pada teori fisika. Oleh karena itu, dalam novel ini tidak akan ditemukan penggambaran seksualitas pasangan tersebut sebagaimana gaya penceritaan Ayu Utami. Hubungan antara pasangan gay dan perilaku seksualnya tidak digambarkan secara eksplisit karena fokus utama dalam novel ini adalah ketertarikan keduanya pada sains.
Ketiga, seksualitas dalam Garis Tepi Seorang Lesbian. Seksualitas dalam novel ini dibalut dengan bahasa yang halus sehingga tidak menimbulkan kontroversi. Di samping itu, pemakaian tameng bahasa-bahasa agama memuluskan novel ini dalam memperkenalkan seksualitas abnormal; pasangan lesbian. Bagi Pengarangnya, issu lesbian tidak perlu disembunyikan lagi. Cinta sejenis dua orang wanita (Paria dan Rei) digambarkan melalui teknik dramatik, pengarang membiarkan tokoh menerangkan jati dirinya sediri.
Cinta Paria kepada Rei mengalir deras sejak awal penceritaan hingga akhir. Percintaan keduanya telah tersemai sejak awal jumpa di Paris. Mereka menikah di gereja Blashpeme dengan pemberkatan dari seorang pendeta (hal. 103). Mereka hidup bersama sebagaimana suami istri yang disebut Butchie dan femme (hal. 89) dan melakukan aktivitas seksual. Seperti adegan berikut ini:
“Rindu kaca-kaca kamarku menjadi buram oleh proses persenggamaan antaraku dan kau. Malam malam dingin yang menjadi hangat oleh sentuhanmu. Malam-malam hening yang mengalunkan irama erotis oleh desahanku. Ketika jemari tanganmu dengan lembut menyentuh dan merabia setiap inci pori-poriku. Irama erotis yang naik turun olehmu, yang menjadikanmu semakin resap pada kedalamanku. Sebuah persetubuhan yang menjadikan kita sakau” (hal. 15).

Tokoh Paria, sebagai manusia biasa juga pernah tertarik untuk melakukan adegan seksual dengan wanita-wanita lain. Sejak SMA, ia telah ditaksir oleh rekan wanita satu sekolahan (hal. 74). Ketika menjadi mahasiwipun ia jatuh cinta pada mahasiswi bernama Yuanita Arsilia (hal. 75) dan Avista Chairunnisa (hal. 89). Di Paris ia juga bermain sex dengan wanita resepsionis hotel de Ville (hal. 24). Dan setelah kembali ke Indonesia, ia juga sempat bersenggama dengan seorang aktivis mahasiswi; bernama Devi (hal. 163).
Kehidupan seksual tokoh Paria tidak saja digambarkan dengan pasangan sesama jenisnya, tetapi juga dengan lawan jenis, yaitu Mahendra (hal. 202). Ia merupakan lelaki yang akan dijadikan suami karena tuntutan keluarga dan juga karena tokoh Rei tidak kembali kepadanya. Walaupun akhirnya hubungan seksual terjadi antara kedua insan berlainan jenis tersebut, namun tokoh Paria tidak dapat menikmati hubungan tersebut. Ia hanya bisa menikmatinya dengan kekasih wanitanya: Rei.
Dari kutipan dan uraian di atas, dapat diketahui bahwa unsur-unsur seksualitas dalam ketiga novel di atas tampak dalam bahasa, simbol-simbol, orientasi seksual, dan juga perilaku seksual yang dilakukan oleh para tokoh. Seksualitas tersebut ditampilkan secara vulgar dalam Saman, implisit dalam Supernova, dan halus dalam Garis Tepi Seorang Lesbian.
2. Tanggapan Pembaca Terhadap Seksualitas dalam Tiga Novel

Pada bagian ini akan ditampilkan tanggapan-tanggapan para pembaca tentang seksualitas dalam tiga novel, baik dari kalangan Pembaca peneliti maupun pembaca umum sebagai bagian dari real reader (Chamamah, 1994: 210). Tanggapan tersebut akan dibagi menjadi dua bagian, yaitu tanggapan positif dan tanggapan negatif.
a. Tanggapan Negatif
Secara umum, Meidy Lukito, seorang penyair dan pengajar Universitas Muhammadiya Malang (www. Sinar Harapan.co. id, 2003) menilai bahwa saat ini banyak sekali buku-buku, baik secara visual maupun content, menggarap masalah seksualitas yang sebenarnya masih tabu bagi nilai-nilai ketimuran untuk diekspose ke hadapan publik. Bila dicermati, buku-buku jenis di atas tampak masih dianggap saru oleh sebagian besar masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi bahasa ketimuran yang santun. Sehingga buku-buku yang nyerempet ke arah pornografis akan menuai banyak kritik sebagai karya ”kacangan”, dan penulisnya sendiri harus ikhlas dihujat habis-habisan.
Yusmarni Djalius, seorang pemerhati sastra dari Sumatra Barat yang kebetulan juga seorang praktisi pendidikan, mengungkapkan harapan supaya para penulis wanita yang telah mengundang pelecehan bagi wanita secara umum tersebut dapat lebih arif meminimalisasi penggunaan diksi-diksi vulgar yang dirasa kurang perlu untuk keutuhan sebuah karya sastra. Moralitas dan etika adalah bagian penting dari muatan sebuah karya sastra yang harus tetap diperhatikan.
Menurut Meidy Lukito, karya-karya yang ditanggapi secara negatif di atas telah menghawatirkan para sastrawan dan pekerja pendidikan di Indonesia. Karya, bukanlah sebuah produksi semata, tetapi juga berhubungan dengan nasionalisme. Menurutnya, patut dipikirkan bersama, akan ke manakah bangsa ini diarahkan jika karya sastra tidak lagi punya muatan pengajaran moral dan intelektual yang benar, dan keadaan di mana segi-segi fisikal serta komersial lebih dipentingkan. Mengapa karya semacam ini disebut sebagai karya yang hebat?
2. Tanggapan Positif
Apsanti Djokosujanto dalam Seksualitas dalam Larung (2002), mengulas bagaimana sisi seksualitas diungkap dalam novel 'Larung' karya Ayu Utami. Menurutnya, novel ini merupakan antitesis terhadap masalah seksualitas yang pernah diexpose dalam novel para pengarang generasi 45 yang serba tersamar dalam permainan metapor, dalam ungkapan malu-malu, dan selalu hanya muncul secukupnya sebagai suatu kepentingan naratif. Kekaguman Apsanti dimulai dari apresiasi Ayu Utami terhadap konsep tubuh, terutama tubuh wanita. Dari sinilah pengalaman dan harapan seksualitas itu muncul dan menemukan dirinya dalam kerangka fikir Freud. Sekali lagi, Apsanti menilai bahwa Ayu telah menyumbangkan suatu wacana mengenai keunggulan wanita dalam hal seksualitas yang telah mulai diungkapkannya dalam Saman (1998). Tidak heran bila ia dianggap sebagai pembaharu sehingga layak diberi penghargaan seperti karya Ayu Utami (pemenang Sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998 dan meraih Prince Clausa Award 2000).
Santiaji, seorang penulis dan cerpenis, dalam Perempuan dan Kelamin (www.sinarharapan.com, 2003) menyatakan bahwa setelah Saman muncul, berbondong-bondong kaum perempuan yang sebelumnya terkekang menyatakan pemberontakan dalam karya-karya mereka, termasuk yang menggarap seksualitas sebagai tema, seperti Dinar Rahayu dan Djenar Maesa Ayu. Masyarakat yang tidak siap menyaksikan ”sesuatu yang baru” gelagapan. Banyak reaksi yang terjadi justru tak lebih dari serangan terhadap kehidupan pribadi penulisnya, bukan diskusi yang bernas dan memperkaya tentang karya mereka. Kalimat-kalimat mereka dipotong dari konteksnya hanya untuk membuktikan betapa para perempuan ini telah mengumbar kecabulan dalam karya mereka.
Di akhir tulisannya, Santiaji menggugat kegagapan masyarakat sastra Indonesia. “Mengapakah kita begitu terganggu ketika para perempuan menulis tentang kelamin dan perkelaminan? Begitu burukkah ketika seorang perempuan menulis dengan jujur tentang seksualitas dari kacamata perempuan sendiri? Ketika para perempuan bangkit dan meneriakkan gugatannya secara terbuka, mengapa kita harus ”takut”.
Mengenai Supernova, ia mendapatkan sambutan positif dari kalangan homoseksual. Hal tersebut dapat ditemui dalam mailing List Gaya Nusantara.com. beberapa kutipan di bawah ini merupakan representasi kaum gay dalam rangka menyambut Supernova.
Pada dasarnya saya setuju, Supernova adalah sebuah novel yang bagus. Saya juga senang dengan penggambaran pasangan gay dalam novel tersebut yang tidak terjebak dalam stereotip. Namun kalau boleh saya tambahkan, representasi kaum gay dalam novel itu tidak terlalu signifikan, dalam arti, identitas gay mereka tidak menjadi bagian penting dari cerita. Maksudnya, ya kehadiran mereka di situ nggak memberikan gambaran atau pemahaman tentang gay culture. Jadinya, nggak akan make much of a difference kalau karakter mereka diganti menjadi pasangan straight, lesbian, atau lainnya.
Tapi ya itu bukan salah penulisnya, sebab mereka kan bukan menjadi fokus dari novel tersebut. Kalau karakter mereka diperluas lagi, itu justru akan merusak fokus dari novel tersebut. Saya sih udah cukup senang dengan the fact bahwa kaum gay tidak direpresentasikan secara negatif atau buat lucu-lucuan.

Dari beberapa komentar, tergambar dukungan positif dari kalangan kaum gay terhadap munculnya supernova, bahkan lebih jauh lagi (dan ironis), dengan hanya berlandaskan pada karya fiksi imajiner ini mereka berniat menuntut untuk diterimanya kelompok ini di tangah masyarakat Indonesia. Sebagian mengharapkan ada sekolompok sastrawan yang muncul dari kalangan gay. Sebagian yang lain mengharapkan agar tema-tema gay harus lebih banyak diangkat dalam karya sastra oleh sastrawan heteroseksual manapun.
Walaupun kelompok ini bukanlah kritikus sastra, tetapi mereka merupakan pembaca yang memiliki horizon harapan terhadap sebuah karya. Jadi, apapun tanggapan mereka, sudah dapat dijadikan representasi bagi real reader.
Sementara itu, Garis Tepi Seorang Lesbian mendapatkan aprsesiai dari seorang filosof dan pengamat sastra J.A. Yak. Menurutnya, novel ini memiliki empat keunggulan. Pertama, Herlinateins tidak hendak bercerita tentang fenomena dunia lesbi, tapi justru hendak mengungkapkan baik filosofi seorang lesbi maupun lesbianisme. Kedua, adanya kesadaran dari tokoh utama, Paria, seorang lesbian terhadap konteks di mana dia hidup. Ketiga, ada banyak ungkapan yang mampu menerabas keterbatasan bahasa. Bahasanya luar biasa indah. Dan keempat, karya ini merupakan genre sastra yang bersifat perenungan.
c. Analisis Resepsi Sastra Terhadap Seksualitas dalam Novel Indonesia Kontemporer
1. Analisis seksualitas dan pragmatisme pengarang
Sebagaimana telah diterangkan oleh Foucault (1990: 3) bahwa sexuality dipakai dalam hubungannya dengan penomena-penomena lain, seperti pengembangan berbagai macam bidang pengetahuan (termasuk mekanisme produksi biologis dan juga berbagai macam perilaku individual dan sosial) berkaitan dengan keajegan seperangkat peraturan dan norma dalam masyarakat tradisional, dan pada masyarakat modern, hal tersebut telah mendapat dukungan dalam agama, hukum, pendidikan dan institusi medis.
Termasuk pula dalam term seksualitas ini adalah perubahan-perubahan dalam cara berbagai individu memberikan makna dan nilai terhadap arahan, beban, kesenangan, perasaan dan sensasi, dan mimpi-mimpi mereka. Pendek kata, seksualitas adalah sebuah sudut pandang bagaimana setiap individu mengenal dirinya sendiri sebagai subjek dari seksualitas tersebut (Foucault, 1990: 3-4). Sementara itu, Yulfita Raharjo (Wahid, 1996: 221) memaknai seksualitas sebagai konstruksi sosial atas konsep tentang nilai, orintasi, dan perilaku yang berkaitan dengan masalah seks.
Berdasarkan konstruksi sosial sebagaimana pendapat Yulfita, permasalahan seksualitas dalam budaya timur lebih berorientasi kepada ranah privat dari pada ranah publik. Hal ini sangat wajar karena orang-orang Timur, khususnya Indonesia memiliki sistem nilai tersendiri tentang seksualitas yang berasal dari agama dan budaya yang mereka anut. Baik itu agama samawi dan agama ardi yang dianut oleh bangsa Indonesia sama-sama meletakkan masalah seksualitas pada ranah privat.
Berdasarkan nilai dan norma yang dianut oleh masyarakat Indonesia, maka mengekspose permasalahan seksualitas tidak pada tempatnya adalah sebuah anomalitas dari norma-norma yang berlaku. Ekspos tersebut biasanya terjadi dalam berbagai media, seperti majalah, film, dan karya sastra. Puncak dari penolakan masyarakat Indonesia terhadap ekspose seksualitas yang tidak pada tempatnya melahirkan keputusan Majelis Ulama Indonesia tentang pornografi dan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi tahun 2005.
Ketika karya sastra sebagai tulisan yang mengandung unsur estetika yang dominan (Abrams: 1981: 21) dimasuki oleh seksualitas yang anomalis tersebut, maka hal ini akan menimbulkan resepsi pembaca sastra yang beragam, sebagian menolak dan selebihnya menerima. Hal ini telah diprediksi Segers (1978: 132) dengan menentukan faktor yang melatar belakangi perbedaan tersebut berdasarkan pengalaman dan pengetahuan pembaca sebelum membaca teks tersebut. Demikian pula dengan kemampuan pembaca untuk memahami baik horizon 'sempit' dari harapan-harapan sastra maupun horizon 'luas' dari pengetahuannya tentang kehidupan atau yang biasa disebut dengan pertentangan antara karya sebagai fiksi atau sebuah kenyataan yang pasti. Perbedaan pengalaman dan pengetahuan serta cara pemahaman tersebut membuka cakrawala harapan yang berbeda pula serta menimbulkan 'ruang terbuka' yang membuka banyak penafsiran.
Dengan memahami kondisi budaya dan agama serta nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat Indonesia, para pengarang ini memanfaatkan ‘ruang terbuka’ itu untuk melakukan rekonstruksi makna seksualitas, utamanya dalam masyarakat sastra Indonesia.
Menurut asumsi penulis, para pengarang perempuan ini memiliki nilai sendiri mengenai seksualitas. Seksualitas dalam Saman diangkat oleh Ayu Utami dengan cara yang eksplisit, halus, sekaligus vulgar. Ada beberapa hal yang diberontak oleh Ayu Utami tentang ketertutupan seksualitas di Indonesia. Ia secara terbuka mendobrak nilai-nilai sakralitas perkawinan dengan menghiasinya dengan perselingkuhan. Ia merekonstruksi makna virginitas yang dijaga dengan perilaku yang permissif, baik dengan cara masturbasi atau memberikannya kepada siapa saja sebelum terjadi pernikahan. Ia juga menyentuh dunia selibat pastur dengan perzinahan yang dinikmati dan diagungkan. Ia juga mengubah cerita Adam dan Hawa yang dalam literatur agama tidak melakukan adegan seksual di surga dengan eksploitasi adegan keduanya di halaman surga firdaus dengan cara yang aneh dan bahasa-bahasa yang vulgar yang dinisbahkan kepada Tuhan.
Hal-hal diatas sebenarnya atau mungkin norma seksualitas yang diyakini oleh pengarang, baik Ayu sebagai aktivis feminis yang ‘sementara ini’ menolak untuk kawin, atau Herlinatiens yang diindakasikan sama dengan tokoh Paria dalam hal orientasi seksual, atau Dewi Lestari sebagai artis yang banyak bergaul dengan kalangan homoseksual (hal. 218). Pragmatisme hidup di atas membuat setiap pengarang berusaha membela nilai seksualitas yang dianut agar mereka sendiri tidak jenuh disodori oleh nilai seksualitas yang baku.
Berdasarkan asumsi-asumsi di atas, dalam novel ini terkandung pragmatisme pengarang berkaitan dengan perjuangan untuk merubah cara berbagai individu dalam memberikan makna dan nilai terhadap arahan, beban, kesenangan, perasaan dan sensasi, dan mimpi-mimpi seksualitas mereka sebagaimana yang telah dikatakan Foucault ( 1990: 3-4).

2. Analisis resepsi sastra
Dalam pendekatan pragmatik, karya sastra dipandang sebagai sarana mencapai tujuan pada pembaca. Kriteria yang dikenakan adalah tercapainya tujuan tersebut. Peran pembaca menjadi sangat besar karena dari waktu ke waktu, karya sastra selalu mendapat tanggapan dan penilaian. Karya itu memang tetap, tetapi tanggapan terhadapnya bisa berbeda-beda (Wellek dalam Pradopo, 1995: 8). Perbedaan tanggapan itu disebabkan oleh horison atau cakrawala harapan, yaitu konsep-konsep yang dimiliki oleh masing-masing pembaca karena pendidikan, pengalaman hidup, norma yang dianut, dan lain-lain. Horison itu ditentukan oleh tiga kriteria. Pertama, ditentukan oleh norma-norma yang terpancar pada teks-teks yang dibaca. Kedua, ditentukan oleh pengetahuan dan pengalaman atas karya sastra yang telah dibaca. Ketiga, ditentukan oleh kemampuan pembaca dalam memahami kehidupan (Segers dalam Pradopo, 1995: 9, 116).
Tanggapan pembaca yang telah ditampilkan di atas telah menggambarkan tiga aspek penting dalam bidang pragmatik sebagaimana yang ditekankan oleh Abram. Sejak terbitnya Saman karya Ayu Utami pada tahun 1998--terdapat semacam kecenderungan untuk dengan eksesif mendobrak semua tabu dan nilai moral (terutama yang berhubungan dengan seksualitas) yang sampai sekarang tetap dianggap berlaku dalam masyarakat Indonesia. Hal itu biasanya dilakukan dengan nada “memberontak”. Seakan-akan para pengarangnya dengan sengaja mencari-cari tema dan cara penyampaian yang dapat mengejutkan atau “menantang” para pembacanya. Di antara para tokoh perempuan dalam novel Saman dan Larung Ayu Utami, misalnya, ada yang biseksual, ada yang sado-masokis, ada yang berselingkuh dengan suami orang, ada yang berganti-ganti pasangan, dan ada yang memurtadkan seorang romo Katolik. Pendek kata, segala macam perbuatan yang dapat dianggap “skandal” disertakan dalam novel tersebut. Keinginan serupa untuk dengan sengaja menimbulkan skandal pun terasa antara lain pada novel dan pada novel Herlinatiens Garis Tepi Seorang Lesbian (2003) yang bahkan diberi sticker “Khusus Bacaan Dewasa”.
Pembicaraan tentang nilai atau norma yang dianut oleh pembaca memang sangat subjektif sekali bila dikaitkan dengan masalah seksualitas. Setiap orang memiliki norma yang berbeda tergantung dengan latar belakang kehidupannya. Oleh karena itu, agar persepsi kita tentang norma tersebut menjadi relatif lebih sama, maka ada baiknya parameter norma tersebut diukur berdasarkan kualitas karya.
Menurut Arief Hakim (www.cybersastra.com), buku yang berkualitas adalah buku yang mampu ”mempertanyakan” dan ”menggempur” nilai dan alam kesadaran manusia yang selama ini dianggap mapan. Buku yang demikian itu akan menggugah eksotisme dan kenikmatan yang luar biasa pada diri pembaca. Menurutnya, pendobrakan yang paling mengena bukanlah pemberontakan ala Ayu Utami yang dengan blak-blakan mengekspos apa yang dianggap “terlarang” sambil sekaligus makin “menskandalkannya”. Pendobrakan yang sesungguhnya baru dapat terjadi kalau sebuah karya berhasil membuat pembaca mempertanyakan nilai-nilai moral yang dipegangnya, atau menyadari betapa nilai-nilai tersebut tidak memadai.
Menurut hemat penulis, buku yang bermutu adalah yang mengandung nilai, makna, dan kebenaran, selain kejujuran penulisnya sendiri. Inilah kira-kira standar untuk memilah dan memilih buku bermutu, termasuk di antaranya buku-buku yang oleh sebagian orang dilirik sebagai buku berporos pada masalah seksualitas. Bila ukurannya telah jelas, maka novel-novel yang ditulis oleh para pengarang perempuan di atas dinilai menyesatkan dan tidak mendidik, sedangkan para pembela novel-novel tersebut berargumentasi bahwa pendobrakan nilai-nilai lama sangat diperlukan.
Berdasarkan standar kualitas karya tersebut, maka sangat wajar bila beberapa orang rekan pendidik, baik yang bekerja di institusi pendidikan formal maupun yang bekerja secara sosial di sektor pendidikan informal, secara terus terang pernah mengemukakan kekhawatiran mereka tentang marak dan makin berkembangnya penulisan sastra berbasis seksualitas yang cenderung pornografis. Meskipun tidak menampakkan suatu kepanikan, para pekerja pendidikan itu sempat bertanya, “Konon kata sastrawan, bangsa ini rabun sastra. Jadi, guru harus aktif mengobati rabun itu supaya tidak menjadi kebutaan. Sekarang setelah kami mencanangkan giat membaca bagi semua murid, eh lha kok bacaan yang disediakan yang kurang mendidik.” (Lukito, www.sinar harapan.com, 2003).
Terlepas dari kemajuan zaman atau permintaan pembeli, adalah lebih baik apabila penulis wanita dapat memberikan kontribusi yang lebih tinggi kepada negara, dengan menyumbangkan pemikiran-pemikiran intelektual atau saran-saran moral melalui tulisan yang sewajarnya. Muatan bersifat fisikal tidak dapat menimbulkan tumbuhnya persamaan gender, tetapi justru makin mempertajam perbedaan antargender itu. Sebagaimana dikatakan seorang penulis pria, bahwa dengan menulis adegan seks dengan sangat vulgar dan kuat, tidak membuat penulis-penulisnya menjadi terlihat pintar atau berani.
Wolfgang Iser, tokoh resepsi sastra, mengatakan bahwa sastra harus dinilai bukan hanya berdasarkan bentukan tulisan itu semata, melainkan juga harus diperhatikan pengaruhnya bagi konsumen; idealnya para pelaku sastra Indonesia bisa lebih arif melihat kondisi bangsanya sendiri
Dalam kasus tanggapan pembaca ketiga novel ini, terlalu banyak pembaca yang merasa risih dan menilai negatif anomalitas Saman sebagai karya sastra serius yang bertabur diksi, orientasi, adegan dan perilaku seksual yang permissif serta bertolak belakang dengan budaya ketimuran. Demikian juga dengan kedua novel yang mengangkat homoseksual (Gay) dalam novel Supernova dan (lesbian) dalam novel Garis Tepi Seorang Lesbian.
Sementara itu, tidak sedikit pula kalangan yang mendukung secara positif tentang tema seksualitas yang diekspos ke ranah publik dalam khazanah sastra Indonesia kontemporer. Tanggapan dari beberapa kritikus sastra (pembaca peneliti) dan beberapa pembaca umum sebagaimana telah diurai pada bab sebelumnya menunjukkan bahwa telah terjadi pemahaman yang luas terhadap dinamika seksualitas manusia. Sehingga beberapa anomali perlu diberikan ruang yang terbuka dan dihargai karena mereka juga memiliki hak untuk mengekpresikan nilai, orientasi, dan perilaku seksualnya. Kelompok ini memiliki toleransi yang tinggi dalam menghadapi berbagai fenomena baru yang bagi kelompok selain mereka sangat meresahkan.
Terdapatnya dua dimensi dalam resepsi sastra berkaitan dengan penolakan dan penerimaan seksualitas dalam karya sastra Indonesia kontemporer di atas, yang menggambarkan partisipasi pembaca dalam mengungkapkan ciptaan sastra dimungkinkan karena, pada hakikatnya, kondisi teks sastra yang tersaji tersebut terdapat tempat kosong yang menjadi tempat pembaca berpartisipasi dalam proses komunikasi. Kondisi teks demikianlah yang membuat teks mampu muncul dalam pembacaan yang beraneka ragam (Chamamah, 1994: 208).

D. SIMPULAN
Hasil dari penelitan ini menunjukkan terdapat polarisasi tanggapan terhadap seksualitas dalam tiga novel Indonesia kontemporer. Beberapa pembaca penelit dan pembaca umum memandang bahwa isu tentang keterbukaan seksualitas karya sastra perlu didukung, sementara sebagian yang lain menganggap hal tersebut tidak bermanfaat dan dapat merusak budaya ketimuran. Terdapatnya dua tanggapan atau resepsi yang beroposisi tersebut tidak terlepas dari fungsi karya sastra yang menyediakan ruang kosong bagi para pembacanya untuk memberikan makna sesuai dengan horizon harapan masing-masing. Secara historis, tanggapan yang muncul; negatif dan positif tidak bisa diambil salah satunya. Keduanya menjadi nilai komunal bagi pembaca masa ini.

E. KEPUSTAKAAN

Pradopo, Rahmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode, Kritik, dan Penerapannya. Jogjakarta: Pustaka Pelajar
Segers, Rien T. 1978. Studies in Semiotics: The Evaluation of Literary Text. Lisse: The Peter de Rider Press
Kratz, E. Ulrich. 2000. Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Chamamah, Siti. "Penelitian Sastra dan Problematikanya", dalam Jabrahim (ed). 1994. Teori Penelitian Sastra. Yogyakarta: Masyarakat Poetika Indonesia.
Djokosujatno dkk. 2002. Seksualitas dalam Karya Sastra. Jakarta: kumpulan makalah tidak diterbitkan
Junus, Umar. 1985. Resepsi Sastra Sebuah Pengantar.Jakarta: Gramedia
www.cyber sastra.com
www.sinar harapan.co.id
www. Supernova.com


F. BIODATA PENULIS

Muhammad Walidin, S. Ag. M. Hum, dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga

Tidak ada komentar: