Kamis, 06 Desember 2007

MEMAKNAI HUBUNGAN AL-MUTANABBY DAN TIGA PENGUASA ABBASIYAH

Muhammad Walidin[1]


ABSTRACT
A research entitled on “Reading al-Mutanabbi> and Its relation to the Three Caliphs of Abbasid: A Semiotic Analysis” aims to describe semiotically a relation between al-Mutanabbi> and the three Caliphs of Abbasid. The relation shows the role and succes of al-Mutanabbi> as an outstanding Arabian poet. The research results in showing the relation between al-Mutanabbi> and the three caliphs of Abbasid determined by some factors, namely the character of al-Mutanabbi>, i.e. loyal, stiff, helpful, smart, polite, and arrogant; the characteristics of the poetries, i.e. diplomatic, contradictive, hyperbola, pars pro toto; and the pattern of the relation created, i.e. patronage, friendship, and mutual relation. Although the character is an important element to maintain the quality of the relation, the special characteristic of the al-Mutanabbi>‘s poetries is the most significant element to create the good relation with the three caliphs. In addition, the characteristics of al-Mutanabbi>‘s poetries are needed by the caliphs to increase their image in front of their public and enemies.

Key word: al-Mutanabbi>, semiotic, hermeneutic, matrix, hypogram.


PENGANTAR

1. Latar Belakang Masalah
Hubungan yang terjalin antara Indonesia dengan negara-negara Arab telah terjalin sejak lama. L.W.C. van den Berg (via al-Gadri, 1988: 56) mengatakan bahwa orang Arab yang pertama datang ke Indonesia berasal dari pantai Teluk Persia dan pantai laut Merah. Hubungan antar kepulauan ini mencapai puncaknya pada zaman Kerajaan Abbasiyah di Mesopotamia dengan ibu kota Baghdad (sekitar tahun 800-1300) yang menjadi pusat ilmu, kebudayaan, dan perdagangan Dunia Islam. Dari daerah inilah asal sebagian besar orang Arab pertama yang sampai di Indonesia dan melakukan asimilasi kebudayaan dengan penduduk setempat.
Pengaruh Arab di Indonesia tampak pada beberapa hal, seperti kekuatan politik (berdirinya kesultanan di seluruh nusantara) pendidikan (berdirinya lembaga pendidikan), bahasa (absorbsi bahasa Arab ke dalam Bahasa Indonesia), dan juga kesusasteraan (adopsi syair atau hikmah untuk justifikasi ajaran agama atau lainnya ).
Salah satu penyair Abbasiyah yang karyanya juga dikenal di Indonesia adalah al-Mutanabbi>. Penggalan puisinya tertulis pada dinding perpustakaan nasional di Jakarta. Al-Mutanabbi> (915-965 M) adalah penyair Arab yang hidup pada periode Abbasiyah ketiga (Hamori dalam Ashtiany, 1990: 300). Ia dikenal sebagai penyair handal dalam bidang puisi penegiris (madh, panegyric), satu ragam puisi pujian yang digunakan untuk menyanjung sesuatu atau seseorang. Dengan kemampuannya tersebut, ia mencari perlindungan pada para penguasa Abbasiyah dan mendapatkan penghidupan yang layak dari profesinya sebagai penyair istana. Kesuksesannya mendampingi para penguasa tersebut ditentukan oleh karakter dan karakteristik puisinya sehingga ia tetap dipertahankan sebagai penyair istana oleh para penguasa yang menjadi pelindungnya.
Hamori (1990:300) menyebutkan bahwa hubungan yang dibangun antara para penguasa dan al-Mutanabbi> tidaklah mudah bahkan sangat rentan pecah. Ia memiliki karakter arogan, peka, dan ambisius, sementara pelindungnya adalah raja yang sedianya selalu dilayani dan tidak memerlukan orang dengan karakter negatif seperti al-Mutanabbi>. Lalu, bagaimana Ia mampu membangun hubungan yang baik dengan tiga penguasa Abbasiyah bila karakternya justru menjadi ancaman bagi dirinya dan orang lain. Barangkali terdapat faktor lain atau ‘hal lain’ yang mempengaruhi hubungan baik mereka di samping permasalahan personalitas tersebut.
Penomena di atas menggugah keingintahuan penulis untuk membaca al-Mutanabbi> secara komprehensif, tidak saja berdasarkan biografi melainkan juga berdasarkan puisi yang ia hasilkan. Pertimbangan tersebut didasarkan pada pendapat Courthope (via Hudson, 1960: 65) bahwa puisi merupakan ekspresi pikiran imajinatif dan ‘perasaan’ dalam bahasa metris. Perasaan yang tertuang dalam bait-bait puisi dapat menggambarkan banyak hal, termasuk karakter penyairnya atau kekuatan puisi melalui gugusan tanda yang melingkupinya. Dengan pembacaan secara semiotis, dapat diketahui faktor-faktor yang mampu menciptakan hubungan baik antara al-Mutanabbi> dan tiga penguasa tersebut.

2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka masalah yang diangkat adalah karakter al-Mutanabbi>, karakteristik puisinya, dan Pola hubungan yang diciptakan. Dengan tiga hal di atas, dapat diketahui hubungan al-Mutanabbi> dengan tiga penguasa Abbasiyah.

3. Tujuan Penelitian
Secara teoritis, penelitian ini dilakukan untuk tujuan pengembangan ilmu sastra khususnya teori semiotik, yaitu mencoba memberikan sumbangan pemikiran bagi kepentingan penerapan teori semiotik terhadap puisi al-Mutanabbi>.
Secara praktis, penelitian ini memberi dasar dalam mengapresiasi puisi al-Mutanabbi> sehingga meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menghargai dan memahami karya sastra Arab. Dari penelitian ini pula diharapkan dapat ditemukan nilai-nilai yang berguna bagi masyarakat sehingga nilai-nilai tersebut mampu menambah wawasan dan penghargaan masyarakat dan peminat sastra Arab di Indonesia terhadap karya dan pribadi al-Mutanabbi> sebagai penyair besar Abbasiyah.

4. Tinjauan Pustaka
Usaha para peneliti untuk lebih memahami puisi Al-Mutanabbi> sudah dimulai dengan memberikan penjelasan (syarah) terhadap antologinya. Tercatat dua buah penjelasan yang penulis temukan selama penelitian ini, yaitu karya Mustofa Subaity> > (Beirut: 1986) dan karya Abdul Wahab Azzam (Cairo, 1944). Walaupun penjelasan tersebut dapat dikatakan sebagai karya ilmiah tapi sebenarnya ia hanya mendeskripsikan arti perbait dari setiap puisi, terutama pada kosa kata yang sulit dengan memberi padanan katanya. Dengan demikian, pemaknaan yang ditawarkan para penjelas (pensyarah) tidaklah melalui suatu metode tertentu.
Penelitian dengan mencari konsep dalam puisi-puisi al-Mutanabbi> telah dilakukan oleh beberapa peneliti, seperti Abdullah (1996) yang mencari nilai-nilai humanisme dalam puisi-puisi al-Mutanabbi>. Demikian pula Nurain (2004) yang fokus kepada nilai-nilai pendidikan.
Selain buku penjelasan (Syarah) dan penelitian, Al-Mutanabbi> juga dibicarakan di dalam berbagai buku, seperti A. Hamori (1990), al-Hasyim (1966), dan Husein (t.t.). Bila penjelasan (syarah) yang dilakukan oleh para penulis terdahulu menghadirkan puisi Al-Mutanabbi> apa adanya tanpa sentuhan metode sebagai cara memandang sebuah karya sastra, maka penelitian terkini terhadap puisi Al-Mutanabbi> tidak pernah lengkap mengambil satu episode puisi. Bait-bait puisi dipenggal secara paksa dan diambil seperlunya untuk mencari konsep-konsep tertentu. Hal ini tentu mengurangi makna puisi sebagai sebuah keseluruhan (wholeness) yang unsur-unsurnya saling berjalin erat (Hawkess, 1978: 18).
Penelitian ini kemudian menjadi berbeda dan penting karena berusaha melengkapi apresiasi karya Al-Mutanabbi> dengan sebuah metode ilmiah untuk memaknai satu episode puisi secara penuh.
5. Landasan Teori
Teori semiotik yang gunakan dalam menganalisi puisi al-Mutanabbi> ini adalah teori semiotik yang dikemukakan oleh Riffaterre (1978) dalam bukunya Semiotik of Poetry. Ia mengemukakan metode pemaknaan yang khusus terhadap tanda-tanda dalam puisi untuk memproduksi makna tanda-tanda.
Riffaterre (1978), dalam bukunya, mengemukakan empat pokok yang harus diperhatikan untuk memproduksi arti (makna) puisi, yaitu (1) ketaklangsungan ekspresi puisi, (2) pembacaan heuristik dan hermeneutik atau retroaktif, (3) matriks, model, varian, dan (4) hipogram.
Menurut Riffaterre puisi merupakan aktivitas bahasa. Ciri khas puisi adalah mengekspresikan konsep-konsep dan benda-benda secara tak langsung yang disebabkan oleh pergeseran arti (displacing of meaning), penyimpangan (distorting of meaning), dan penciptaan arti baru (creating of meaning).
Rifaterre menyatakan bahwa dalam tindak pembacaan sebuah puisi atau proses dialektika semiosis itu, pembaca akan melewati dua tahap pembacaan. Tahap pertama pembacaan heuristik. Pada tahap ini, pembaca akan menemukan ‘arti’ biasa. Pembaca akan menemukan ‘makna’ pada proses pembacaan tahap kedua, yakni tahap pembacaan dalam tataran semiotik, yang disebut pembacaan retroaktif atau pembacaan hermeneutic.
Sampai pada tahap pembacaan kedua, pembaca sekaligus diarahkan pada pemahaman bahwa teks berawal dari adanya matriks (Riffaterre, 1978: 13) atau disebut juga dengan kernel word (Riffaterre, 1978: 104). Matriks ini memberi makna kesatuan sebuah puisi. Suatu matriks tidak terdapat di dalam teks, tetapi diaktualisasikan lewat model. Model dapat berupa satu kata atau kalimat tertentu. Model inilah yang akan menentukan bentuk-bentuk varian (pengembangan) sehingga menurunkan teks secara keseluruhan.
Di samping matriks, model, dan varian, yang harus diperhatikan dalam memahami makna puisi adalah hipogram (Riffaterre 1978: 23). Hipogram adalah teks yang menjadi latar penciptaan sebuah teks baru, baik berupa dunia semesta (Teeuw, 1983: 65). Hipogram merupakan landasan bagi penciptaan karya yang baru, mungkin dipatuhi, tapi mungkin juga disimpangi oleh pengarang.

CARA PENELITIAN
Metode yang dimanfaatkan dalam penelitian ini tersusun dalam tiga langkah. Langkah pertama adalah pembacaan heuristik dan hermeneutik terhadap tiga puisi panegiris al-Mutanabbi> yang didedikasikan kepada tiga penguasa Abbasiyah. Heuristik merupakan pembacaan tahap pertama yang bermula dari awal hingga akhir teks. Pembacaan dengan model ini baru menghasilkan ‘arti’ dan belum memberikan ‘makna’ puisi sebenarnya. Untuk merebut ‘makna’ tersebut dilakukan pembacaan tingkat kedua, yaitu hermeneutik, sebuah pembacaan berdasarkan sistem sastra. Pembaca melakukan peninjauan dan perbandingan ke arah belakang. Dengan cara itu, pembaca akan mampu memperlihatkan hal-hal yang semula terlihat sebagai ungramatikalitas menjadi himpunan kata-kata yang ekuivalen.
Langkah kedua, pengidentifikasian matriks, model, dan varian dalam tiga puisi yang diteliti. Penentuan matriks ini memberi makna kesatuan sebuah puisi (Riffaterre, 1978: 19). Oleh karena matriks tidak terdapat di dalam teks, maka dicari aktualisasinya lewat model yang diturunkan dan menjadi visible dengan varian sehingga menurunkan inti teks secara keseluruhan.
Langkah terakhir adalah mencari hubungan intertekstual puisi yang diteliti dengan teks lain. Hal ini diperlukan untuk mengetahui konteks dan background sebuah puisi ditransformasikan sehingga makna ketiga puisi ini akan dipahami secara penuh dan optimal.

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Puisi yang menjadi objek penelitian, masing-masing berjumlah lebih dari 40 bait. Dalam sastra Arab puisi ini dikenal dengan nama Qasidah; yaitu jenis puisi yang berjumlah 7-100 bait. Mengingat keterbatasan ruang, maka penulis tidak akan menyertakan teks asli maupun terjemahannya. Dengan demikian, pembahasan yang ditampilkan dalam tulisan ini hanya merupakan hasil analisis saja.
1. Pembacaan Heuristik Puisi Sam’an li Amri Ami>r al-’Arab , Wa Khairu Jali>sin fiz-Zama>ni Kita>bu , dan Laqad Ka>nat Khala’iquhum ‘Ida>ka>

Dalam puisi Sam’an li Amri Ami>r al-’Arab (Mustofa Subaity>, 1986: 150), terbangun adanya citra seseorang (si aku lirik) yang menghindar dari perintah atasannya. Secara diplomatis, tokoh aku menyebutkan argumentasi yang kuat agar penolakan tersebut tidak menyinggung perasaan rajanya. Di antara alasan tersebut adalah: (1) Ketakutannya pada penghasut, (2) Raja tersebut sangat agung dan kuat sehingga tidak memerlukan bantuannya dalam peperangan, dan (3) kekuatan musuh sangat kecil sehingga mereka pasti menang. Dengan alasan tersebut, tokoh aku pergi meninggalkan rajanya menuju perlindungan raja lain.
Dalam puisi Wa Khairu Jali>sin fiz-Zama>ni Kita>bu (Mustofa Subaity>, 1986: 170), terbangun suasana kekecewaan yang dialami oleh seseorang (si aku lirik)> karena perbedaan antara harapan dan kenyataan yang ditemui dalam kehidupan. Tokoh aku mengharapkan ‘sesuatu seperti rambut putih’ atau mahkota, simbol kekuasaan terhadap suatu wilayah. Akan tetapi, harapannya tidak sesuai dengan kenyataan karena seseorang yang menjanjikan wilayah tersebut (si engkau) tidak kunjung memenuhi janjinya. Akhirnya, tokoh aku meninggalkan si engkau menuju perlidungan raja yang lain pula.
Dalam puisi Laqad Ka>nat Khala’iquhum ‘Ida>ka> (Mustofa Subaity>, 1986: 211), tergambar suasana berat hati dan kesedihan seseorang (aku lirik) ketika harus berpisah dengan kekasihnya. Kesedihan tersebut membuat tokoh aku menanggung rindu yang tak tertahankan bahkan selalu berharap agar ia bertemu kembali dengan kekasihnya.
Pembacaan heuristik ini hanya mampu mendeskripsikan makna kebahasaan. Makna sepenuhnya akan didapat setelah melalui proses pembacaan hermeneutik.
2. Pembacaan Hermeneutik Puisi Sam’an li Amri Ami>r al-’Arab , Wa Khairu Jali>sin fiz-Zama>ni Kita>bu , dan Laqad Ka>nat Khala’iquhum ‘Ida>ka> .

Berdasarkan pembacaan tahap kedua pada puisi Sam’an li Amri Ami>r al-’Arab, Wa Khairu Jali>sin fiz-Zama>ni Kita>bu, dan Laqad Ka>nat Khala’iquhum ‘Ida>ka> , ditemukan bahwa tokoh aku dalam puisi-puisi tersebut merujuk pada penyairnya sendiri, yaitu al-Mutanabbi>. Sementara tokoh engkau menunjukkan pelindungnya, yaitu Saif ad-Daulah, Ka>fu>r, dan ‘Ad}ud ad-Daulah.
Untuk mengetahui hubungan yang terjalin antara al-Mutanabbi> dengan para pelindungnya, maka perlu dilihat karakter al-Mutanabbi> sebagai faktor yang mampu mempengaruhi hubungan interpersonal. Pada ketiga puisi tersebut ditemukan karakter-karakter positif dan negatif al-Mutanabbi>. Karakter positif tersebut berupa, berpendirian teguh, suka menolong, bersikap hati-hati, dan setia, cerdas, santun, dan pandai berterima kasih. Adapun karakter negatif yang muncul dalam puisi ini adalah pamrih dan arogan.
Karakter positif al-Mutanabbi> yang dominan dalam puisi Sam’an li Amri Ami>r al-’Arab merupakan potensi yang besar baginya untuk membangun hubungan baik dengan Saif ad-Daulah , terutama karakternya yang setia dan suka menolong menjadikan ia dihargai dan dibutuhkan oleh Saif ad-Daulah sebagai penyair istana. Karakter al-Mutanabbi> yang muncul pada puisi Wa Khairu Jali>sin fiz-Zama>ni Kita>bu secara kontradiktif muncul bersamaan, yaitu santun dan arogan. Kesantunannya terlihat dalam caranya mengungkapkan harapan terhadap janji-janji Ka>fu>r yang telah diberikan kepadanya. Ia memilih sikap pasif sehingga ia tidak berhasil mendapatkan harapannya sebagaimana tergambar dalam matriks puisi ini. Pada bagian lain, ia memuncukan sikap arogan untuk memberi kesan bahwa ia tidak kecewa dengan harapan yang tidak tercapai tersebut. Dalam puisi Laqad Ka>nat Khala’iquhum ‘Ida>ka> tidak ditemukan sama sekali karakter negatif al-Mutanabbi>. Justru yang muncul adalah kepandaiannya dalam mensyukuri kebaikan pelindungnya, ‘Ad}ud ad-Daulah, tanpa tendensi apapun.
Berdasarkan pembacaan tingkat kedua pada tiga puisi ini, karakter positif al-Mutanabbi> lebih dominan dari pada karakter negatif sehingga menjadikan hubungannya dengan tiga penguasa berjalan dengan baik. Kekhawatiran tentang karakter negatifnya pada awal pembicaraan ini yang mungkin dapat merusak hubungannya dengan tiga penguasa dapat ditutupi dengan kontribusinya yang tergambar dalam karakter-karakter positif.
Berdasarkan pembacaan hermeneutik pada ketiga puisi ini, ditemukan pula bahwa karakteristik puisi al-Mutanabbi> mengandung unsur diplomasi yang kuat serta menggunakan bahasa kiasan, seperti kontradiksi, pars pro toto, dan hiperbola.
Karakteristik puisi seperti ini memberikan kontribusi yang penting bagi hubungan keduanya. Kemampuannya berdiplomasi dalam menghadapi masalah seringkali menjadi faktor yang mampu menyelamatkan dirinya dari kesan-kesan negatif yang mungkin dialamatkan kepadanya. Gaya bahasa kiasan yang digunakan dalam puisi ini, seperti kontradiksi dan hiperbola menjadikan puisinya memiliki nilai estetika yang tinggi. Ketika ia membandingkan tiga penguasa tersebut dengan raja-raja lainnya akan tampak perbandingan yang sangat kontradiktif, apalagi dengan dukungan gaya bahasa hiperbola yang bersifat menyangatkan objek yang sedang menjadi pembicaraannya. Karakteristik puisi seperti ini sangat dibutuhkan oleh para penguasa-penguasa Abbasiyah karena berfungsi meningkatkan citra diri mereka baik di depan rakyat, lawan politik, ataupun raja-raja lain yang menjadi seterunya. Akibatnya, para penguasa tersebut berusaha mempertahankan hubungan baik dengan al-Mutanabbi> dengan pola yang terbangun, yaitu pola pelindungan, pola simbiosis mutualisme, dan persahabatan.

3. Matriks, Model, Varian Puisi Sam’an li Amri Ami>r al-’Arab , Wa Khairu Jali>sin fiz-Zama>ni Kita>bu , dan Laqad Ka>nat Khala’iquhum ‘Ida>ka>

Matriks atau inti puisi tidak tertulis secara eksplisit di dalam teks puisi. Oleh karena itu, identifikasi matriks dicari melalui aktualisasinya pada model dan visibilitasnya di dalam varian-varian.
Model dalam puisi Sam’an li Amri Ami>r al-’Arab adalah ‘Sekalipun pekerjaan itu lebih pendek dari seharusnya’. Baris puisi ini menjadi model karena sifatnya yang puitis dan hipogramatik. Artinya, segala tindakan penolakan si aku bersumber dari baris puisi ini.
Model di atas ditransformasikan ke dalam wujud varian-varian yang menyebar ke seluruh puisi, yaitu (1) ‘Tidak ada yang menghalangi kecuali penghasut’, (2) ‘Ia adalah besi dan yang lainya adalah kayu’, (3), ‘Wahai pedang tuhan, bukan pedang makhluqnya’, dan (4) “Perkataan musuh memperdayai Dumasytuq bahwa Ali adalah berat dan kronis’, dan (5) ‘Seandainya engkau menghukum dengan benci dan cinta’.
Pencarian model dan varian-varian puisi Sam’an li Amri Ami>r al-’Arab di atas merupakan jalan untuk menentukan matriks puisi ini. Adapun matriks puisi ini adalah upaya melepaskan diri oleh seseorang (tokoh aku atau al-Mutanabbi>) dari perintah sang raja Arab (atau Saif ad-Daulah) karena rasa kecewa yang pernah dialami ketika bersamanya.
Baris puisi yang memiliki nilai puitis, bersifat hipogramatik, dan monumental pada puisi Wa Khairu Jali>sin fiz-Zama>ni Kita>bu adalah ‘Dalam jiwaku ada kebutuhan dan dalam dirimu terdapat kecerdasan’. Baris ini menjadi model karena segala kekecewaan si aku (al-Mutanabbi>) bersumber dari ‘kebutuhan’nya yang tidak dipenuhi oleh si engkau (Ka>fu>r) yang memiliki ‘kecerdasan’ untuk membaca ‘kebutuhan’ si aku.
Model di atas ditransformasikan ke dalam wujud varian-varian yang menyebar ke seluruh puisi, yaitu (1) ‘Aku pernah bercita-cita’, (2) ‘Diriku bagaikan bintang’, (3) ‘Teman yang paling baik di dunia adalah buku’, dan (4) ‘Sedang antara yang kuharap dan yang engkau berikan terdapat penghalang’.
Setelah diketahui model dan varian-variannya, matriks puisi ini dapat ditentukan, yaitu ‘perasaan seseorang (tokoh aku) yang kecewa karena harapannya tidak sesuai dengan kenyataan’. Matriks tersebut merupakan gambaran kekecewaan al-Mutanabbi> terhadap janji Ka>fu>r untuk memberikannya sebuah wilayah kekuasaan.
Baris puisi yang puitis dan monumental dalam puisi Laqad Ka>nat Khala’iquhum ‘Ida>ka> dan menjadi model adalah ‘Aku akan pergi dan telah engkau stempel hatiku dengan cintamu’. Baris puisi ini, selain puitis juga karena ia menjadi hipogram bagi keseluruhan bait-baitnya. Artinya, segala kesedihan si aku diakibatkan oleh perpisahannya dengan si engkau yang telah mencintai si aku dengan sungguh yang diibaratkan seperti ‘stempel’.
Model ‘Aku akan pergi dan telah engkau stempel hatiku dengan cintamu’ diekspansi ke dalam wujud varian-varian yang menyebar ke seluruh puisi, yaitu (1) ‘Semoga ada korban untukmu siapa yang melalaikan panggilanmu’, (2) ‘Engkau telah membebaniku dengan perasaan terima kasih yang panjang dan berat’, (3) ‘Andaikan si tidur membicarakan tentang kemurahanmu’, dan (4) ‘Engkau di antara kekasihku begitu istimewa dengan rindu tak tertanggung’.
Setelah diketahui model dan varian-variannya, diketahui pula matriks puisi ini, yaitu penderitaan seseorang akibat perpisahan yang memutuskan hubungannya dengan sang kekasih. Matriks ini merupakan gambaran hubungan mesra antara al-Mutanabbi> dengan ‘Ad}ud al-Daulah.
4. Hubungan Intertekstual Puisi al-Mutanabbi> dengan teks lain
Memahami hubungan al-Mutanabbi> dengan ketiga penguasa dalam puisi gubahan terakhir ternyata akan mendapatkan maknanya yang penuh setelah dihubungkan dengan teks-teks lain. Hubungan yang terjalin dengan Saif ad-Daulah pada puisi Sam’an li Amri Ami>r al-’Arab berhipogram kepada puisi Wafa>‘ukuma> ka ar-Rab’i. Dari unsur-unsur yang ditransformasikan dapat diketahui bahwa hubungan yang baik tetap ingin dipertahankan oleh al-Mutanabbi> walaupun mereka tidak bersama lagi. Hubungan al-Mutanabbi> dengan Ka>fu>r tidak bertahan lama setelah diketahui transformasi unsur-unsur puisi Kafa> bika da>‘an ke dalam puisi Wa Khairu Jali>sin fiz-Zama>ni Kita>bu. Sementara itu, hubungannya dengan ‘Ad}ud ad-Daulah berjalan sangat baik sehingga ia mengalami kesedihan luar biasa ketika akan berpisah. Ekspresi kesedihan tersebut ditransformasikan dari unsur-unsur yang terdapat pada puisi Asafi> ‘Ala> at-Taudi>‘.
Dengan sifat intertekstualitas teks-teks di atas diketahui bahwa teks transformasi biasanya berfungsi sebagai penegasan terhadap suatu masalah yang terdapat dalam teks hipogramnya. Dengan cara memahami intertekstualitas teks, hubungan yang terjalin antara al-Mutanabbi> dengan tiga penguasa Abbasiyah dapat dilihat secara holistik dan komprehensif.

KESIMPULAN
Pembacaan terhadap tiga puisi panegiris al-Mutanabbi> yang didedikasikan kepada tiga penguasa Abbasiyah secara semiotis menunjukkan bahwa hubungan yang terjalin antara al-Mutanabbi> dengan tiga penguasa Abbasiyah ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu karakter al-Mutanabbi> (setia, teguh pendirian, suka menolong, cerdas, sopan, dan juga arogan), karakteristik puisi (diplomasi, kontradiksi, hiperbola, pars pro toto), dan pola hubungan yang diciptakan (perlindungan, persahabatan, simbiosis-mutualsime). Walaupun karakter al-Mutanabbi> merupakan unsur penting dalam menjaga kualitas hubungan, tetapi karakteristik puisinya yang istimewa merupakan unsur yang paling signifikan dalam menciptakan hubungan baik dengan para penguasa tersebut. Karakteristik puisi al-Mutanabbi> diperlukan oleh para penguasa untuk meningkatkan citra mereka di depan rakyat dan musuhnya. Dalam interaksinya dengan ketiga penguasa tersebut, al-Mutanabbi> melakukan pola hubungan dalam bentuk perlindungan, persahabatan, dan simbiosis-mutualisme. Ketiga faktor di atas dapat menjelaskan hubungan yang terjalin antara al-Mutanabbi> dengan para pelindungnya dalam suatu waktu tertentu sekaligus menunjukkan peran, fungsi, dan keberhasilan al-Mutanabbi> sebagai penyair Arab yang besar.


DAFTAR PUSTAKA
Ashtiany, Julia. 1990. Abbasid Belles-Lettres. USA: Cambridge University Press

Azam, Abdul Wahhab. 1944. Di>wa>n Abi> at-T}ayyib al-Mutanabbi>. Cairo: Lajnah at-Ta’li>f wa at-Tarjamah wa an-Nasyr.

Cahmamah, Siti. 1994. “Keberadaan Bahasa Arab dalam Bahasa Indonesia: Tinjauan atas Sumbangannya bagi Perkembangan Bahasa Indonesia”. Makalah Seminar untuk Seminar Pekan Budaya Arab. Yogyakarta: IMABA UGM.

Al-Gadri, Hamid. 1988. Islam dan Keturunan Arab Dalam Pemberontakan Melawan Belanda. Bandung: Mizan

Hawkes, Terence. 1977. New Accents Strukturalism and Semiotics. Methuen & Co Ltd.

Al-Hasyim, Yosep. 1966. Abu> T}ayib al-Mutanabbi> Dira>sah wa Nusu>s. tt. Al-Maktab at-Tija>ry al-Tiba>’y wa at-Tauzi>’

Husen, Thoha. t.t. Ma’a al-Mutanabbi>. Kairo: Dar al-Ma’arif.

Hudson. 1965. An Introduction To The Study of Literature. London: George G. Harrap & Co. Ltd.

Pradopo, Rahmat Djoko. 1997. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Riffaterre, Michel. 1978. Semiotiks of Poetry. Bloomingtoon: Indiana University Press

Subaiti, Mustofa. 1986. Syarah Di>wa>n Abi> T}ayyib al-Mutanabbi>, Juz II, Beirut: Da>r al-Kutub al-‘ilmiyyah

Syamsul Hadi. 2003. Kata-Kata Serapan Dari Bahasa Arab yang Terdapat Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Desertasi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada

Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia

[1] Fakultas Adab Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tidak ada komentar: