Senin, 10 Desember 2007

Cinta Erich Fromm Kepada Rabiah al-Adawiyah

( Pendekatan Psikologi Sastra)*
Oleh: Muhammad Walidin, M. Hum.


A. Pendahuluan
Cinta sudah berumur ribuan tahun setua umur manusia itu sendiri. Manusia mencari cinta karena ia merasa terpisah dalam kesendiriannya dan berhasrat ingin mencapai kebersatuan dengan yang lainnya. Maka, Kisah-kisah cinta anak manusia, hingga kini terpahat pada dinding dinding legenda sejarah manusia; Romeo dan Juliet di Barat, Qais dan Laila di Timur, Galuh dan Ratna di Indonesia, bahkan Roro Mendut dan Pronocitro di pulau Jawa, mencerminkan bahwa cinta bukanlah perkara parsial seorang anggota bangsa, tetapi perkara universal yang selalu dirasa oleh individu setiap benua.
Sejalan dengan perasaan cinta yang menggelora, ada pula anak manusia yang mengabadikan cintanya khusus untuk sang Khaliq. Orang-orang seperti ini dalam Islam dikenal dengan nama sufi, dalam agama Hindu konsep ini ditemukan pada ajaran Vedanta, pada komunitas Kristen dikenal dengan nama asketisme Kristen. Mereka yang terlibat dalam masalah ini, secara total hanya mencintai sang Khaliqnya saja tanpa menyisakan sedikitpun ruang untuk mencintai hal lainnya.
Apakah ada hubungan percintaan antara Rabi’ah al-Adawiyah dan Erich Fromm seperti tertera pada judul di atas? Tentu saja tidak, Rabi’ah al-Adawiyah merupakan mistika wanita sufi produk mistisme dunia Timur. Ia sufi pertama yang memperkenalkan dan mempraktekkan konsep cinta (mahabbah) hanya kepada satu sang Kekasihnya. Ia dilahirkan di pusat kebudayaan Islam, kota Basrah pada tahun 713 Masehi. Sementara itu, Erich Fromm adalah produk rasionalisme dunia Barat, yang dilahirkan tahun 1800 di Frankfurt Jerman. Ia adalah psikolog yang bekerja berlandaskan sintesa teori Freud dan Marx.[1] Bentangan lokus dan tempus yang begitu jauh membuat kedua insan ini tidak mungkin bertemu. Tapi mereka dipertemukan dalam satu hal; yaitu kesinambungan masalah cinta walau dalam dua lapangan yang berbeda. Yang satu aplikan cinta, sementara yang lain teoritikus cinta.
Berangkat dari asumsi bahwa pecinta, baik itu kepada sesama manusia atau kepada Tuhan, memiliki unsur psikologi manusiawi yang sama, maka tulisan ini bertendensi untuk meyelidiki perasaan cinta Rabi’ah al-Adawiyah kepada Tuhannya dengan meminjam teori psikologi Erich Fromm.

B. Di balik Seni Mencintai Erich Fromm
Membaca buku The Art of Loving[2] karya psikolog bermazhab Frankfurt Erich Fromm, menambah keyakinan kita bahwa cinta adalah unsur inherensial dari mahluk yang bernama manusia. Artinya, secara dini manusia dalam kehidupannya sudah dibekali dengan sebongkah embrio cinta yang ia rasakan semenjak ia lahir hingga ia tumbuh dewasa.
Cinta pertama yang diperoleh oleh manusia adalah cinta alturistik sesorang ibu. Si ibu memberikan cintanya kepada anak karena ia adalah anaknya tanpa membutuhkan penilaian lebih lanjut apakah sang anak patut dicintai atau tidak. Setiap anak akan mendapatkan cinta ibu karena baginya anak adalah hal yang terpenting. Sikap alturistik (memandang bahwa orang lain lebih penting dari dirinya sendiri) didapatkan manusia dari ibu dengan sangat mudah bahkan tanpa syarat.
Segera setelah lepas dari masa bayi, manusia akan berkenalan dengan cinta ayah yang tidak lagi bersifat alturistik tapi lebih pada rasa simbiotik. Sang ayah akan memberikan cintanya karena ada hal-hal lain yang harus dicintai. Bila sang anak berhasil memenuhi harapan ayahnya (seperti prestasi dll), maka sang ayah akan memberikan cintanya. Dengan demikian cinta ayah didapat dengan diperjuangkan dan diusahakan. Hal itu berarti cinta ayah adalah cinta bersyarat yang harus dipenuhi syarat-syaratnya bila ingin meraihnya.
Bertolak dari pengalaman manusia berjuang untuk memperoleh cinta ayah yang bersyarat, maka pada fase selanjutnya manusia harus selalu bersinggungan dengan syarat-syarat untuk mendapatkan cinta dari sesuatu/seseorang yang dicintainya, baik itu cinta orang tua dan anak, cinta persaudaraan, cinta erotik, dan cinta Tuhan.
Untuk memenuhi syarat-syarat mendapatkan cinta tersebut, Fromm-dengan kacamata psikologinya-mengajak kita untuk mengatahui cinta ditinjau dari aspek ontologisnya. Erich Fromm mendefiniskan cinta sebagai kekuatan aktif yang bersemayam dalam diri manusia; kekuatan yang mampu meleburkan tembok yang memisahkan manusia dengan sesamanya. Cinta mampu mengatasi problem keterpisahan dan isolasi manusia tanpa mengorbankan integritas serta keunikan diri masing-masing (nilai paradoksal cinta: become one yet remain two). Dari kata-kata; kekuatan aktif, mampu melebur, mampu mengatasi, dapat diketahui bahwa cinta adalah sesuatu aktivitas aktif dan bukan sesuatu yang pasif, maka dikatakan mencintai bila seseorang melakukan elemen-elemen cinta;
1. Cinta adalah memberi bukan menerima.
Perlu sedikit dibedakan beberapa arti memberi memberi, pertama, memberi sebagai tindakan eksploitatif dengan mengorbankan segala sesuatu untuk beberapa target. Kedua, memberi sebagai tindakan non-produktif yang dianggap sebagai tindak pemiskinan, dan ketiga, memberi sebagai tindakan produktif yang menimbulkan rasa bahagia luar biasa antara keduanya.
Berkaitan dengan sesuatu yang diberikan bahwa memberi bukan hanya bersifat material belaka, tetapi juga kenyataan diri manusia itu sendiri, seperti kegembiraan, kesedihan, pemahaman, dan kejenakaan. Pemberian semacam ini mempu memperkaya orang lain lewat pengingkatan perasaan hidup.
Memberi ibarat meniupkan secercah kehidupan kepada orang lain yang memancar kembali padanya. Memberi sejati akan menghasilkan yang diberi berlaku sebagi pemberi pula, artinya memberi bukan transaksi antara subjek dengan objek, tetapi antara subjek dengan subjek. Demikian pula dengan cinta, ketika cinta diberikan kepada orang lain, maka ia menghasilkan cinta serupa yang membuat anda dicintai pula. Bila hal itu tidak terjadi, maka perlu ditanyakan mungkin cinta itu impoten.

2. Cinta adalah perhatian dan tanggung jawab
Seorang ibu mencintai anak dengan perhatiannya yang tak pernah putus selama 24 jam. Seorang Gardener memiliki perhatian yang besar pada bunga yang ditanamnya. Ia sanggup menunggu bunga yang mekar pada jam 12 malam karena bunga itu hanya mekar setahun sekali pada jam 12 malam. Seorang peternak juga memperhatikan binatang ternaknya, karena mereka mencintai. Dengan demikian, mencintai seseorang adalah memberikan perhatian dan bukan menuntut perhatian. Clara Ortega (lahir 1955) menulis surat pada kekasihnya “Semua yang kusukai, setengah kenikmatannya akan hilang apabila engkau tidak ada di sana untuk menikmatinya bersamaku”. [3]

3. Cinta adalah penghargaan
Tanpa rasa menghargai, cinta akan berubah menjadi dominasi. Menghargai seseorang berarti tidak memaksakan agar ia menjadi anda, biarkan ia tumbuh apa adanya dengan mempelihatkan cara-cara tumbuh yang benar.
4. Cinta adalah pemahaman
Banyak orang yang karena keegoisannya ingin agar orang lain memahami dirinya. Kalau itu yang terjadi, maka ada beberapa cara agar orang lain itu mau memahami dirinya. Pertama; memaksa agar orang lain mengenal kita, merasakan yang kita rasa, berfikir dengan pola fikir. Dalam bahasa Freud, hal seperti ini disebut narsisme dimana terjadi pengalihan libido pada diri sendiri. Orientasi narsistik merupakan orientasi di mana seseorang hanya menganggap riil, benar dan nyata apa yang ada dalam dirinya sendiri, sementara fenomena-fenomena yang ada di luar dirinya dianggap tidak mempunyai realitas, melainkan dialami hanya sejauh berguna atau berbahaya buatnya.
Akan tetapi, cara seperti ini masih cukup halus dari pada cara kedua, Sadisme; yang dengan paksa agar orang memberi tahu apa yang kita inginkan. Hal ini terjadi dalam dunia intelejen dan ilmu pengetahuan. Tetapi ada cara yang lebih elegan, yakni dengan cara ketiga, cinta; sebuah penetrasi aktif ke dalam diri orang lain, dimana keinginan kita untuk mengetahui diserap oleh kebersatuan. Untuk mengetahui Tuhan, orang Barat selalu bertanya tentang keberadaan Tuhan, dan mereka tidak akan mengetahui Tuhan. Tuhan hanya akan dapat lebih diketahui dengan tradisi Timur; union with god. Dengan demikian, berfikir dengan cara pandang orang lain, dan merasakan seperti apa yang dialami orang lain dalam bentuk kebersatuan adalah sebuah cara untuk memahami orang lain dan mencintainya.

Kontribusi penting Fromm setelah membahas cinta dari aspek ontologis, adalah mengurai langkah epistemologis tentang bagaimana meraih cinta itu. Seperti telah diketahui bahwa cinta bukanlah sesuatu yang take for granted. Keberadaannya haruslah dipelajari, dimengerti, diusahakan dan diperjuangkan. Maka Fromm memandang bahwa mencintai sebenarnya adalah sebuah seni. Sebagai seni, mencinta juga harus tunduk pada konsep-konsep seni. Secara umum konsep seni terdiri dari 1) disiplin dalam setiap sendi kehidupan, 2) konsentrasi, 3) sabar, dan penuh perhatian. Meraih cinta, haruslah dengan bertumpu pada ketiga konsep ini.
Dengan demikian mempelajari cinta, sama dengan mempelajari seni lukis, seni patung, seni pahat dan sebagainya. Dalam pelajaran seni tersebut ada dua komponen yang harus dipelajari; teori dan praktek. Olah rasa atas kedua komponen tersebut akan menumbuhkan intuisi yang merupakan pangkal segala penguasaan atas seni. Untuk mencapai penguasaan itu, maka unsur terpenting adalah disiplin, sabar, dan perhatian atas objeknya, dalam hal ini apakah seni mencintai itu. Orang-orang yang gagal dalam berhubungan disebabkan mereka tidak concern/fokus pada cinta, tetapi pada instrumen lain di seputar cinta, seperti, uang, kekuasaan, dan prestisius.

C. Cinta dalam Tradisi Tasawuf
Dalam bahasa Arab, cinta bersinonim dengan kata al-hubb. Al-Qusyairi[4] mengumpulkan beberapa pendapat tentang cinta (al-hubb) sebagai berikut:
1. Cinta/al-Hubb berasal dari kalimat habba-hubban-hibban yang berarti waddahu, mempunyai makna kasih atau mengasihi,
2. Al-hubb berakar dari kata habab al-Maa’, adalah air bah,
3. Cinta dinamakan mahabbah sebab ia kepedulian yang paling besar dari cinta hati,
4. Cinta juga sering dianggap berasa dari kata habb (biji) yang jama’nya habbat, dan habbat al-qalb adalah sesuatu yang menjadi penopangnya. Dengan demikian, cinta dinamai al-hubb sebab ia tersimpan di dalam kalbu.
5. Ada pula yang menyebutkan bahwa kata al-hubb berasal dari kata hibbah, yang berarti biji-bijian dari padang pasir. Cinta dinamai al-hubb dimaksudkan sebagai lubuk kehidupan sebagaimana hubb sebagai benih tumbuh-tumbuhan.
6. Namun, ada pula yang mengatakan bahwa cinta berasal dari kata hibb, yakni tempat yang di dalamnya ada air, dan manakala ia penuh maka tidak ada tempat bagi lainnya. Demikian pula dengan hati saat diluapi cinta oleh cinta, tak ada tempat lagi dihatinya selain bagai kekasih.

Beberapa definisi di atas meneguhkan kita akan makna cinta. Kiranya makna tersebut sejalan pula dengan pengertian-pengertian lain. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,[5] cinta diartikan sebagai suka sekali, sayang benar, kasih sekali, terpikat, ingin sekali, berharap sekali, atau khawatir. Sementara itu, dalam Kamus Psikologi[6] cinta merupakan perasaan khusus yang menyangkut kesenangan terhadap atau melekat pada objek; cinta bernuansa emosional jika muncul dalam pikiran dan dapat membangkitkan keseluruhan emosi primer sesuai dengan emosi di mana objek itu berada.
Dalam Islam, orang-orang yang ingin mencintai Allah[7] secara total dengan cara mementingkan kebersihan kehidupan batiniah dikenal dengan sebutan sufi. Demi mencapai cintanya terhadap Tuhan, kaum sufi menyisihkan diri dari orang banyak dengan maksud membersihkan hati agar menjadi bening seperti kaca di hadapan Tuhannya.
Ilmu yang mempelajari tentang kesufian dinamai tasawuf. Menurut Ibnu Khaldun di antara pafa sufi menulis sikap rendah hati dan instropeksi tentang apa yang perlu ditinggalkan dan dilakukan, maka ilmu tasawuf pun menjadi ilmu yang tersusun dimana sebelumnya hanya merupakan upaya manusia.[8] Menurut al-Taftazani tasawuf dalam Islam melewati berbagai fase dan kondisi. Meskipun begitu, ada satu asas tasawuf yang tidak pernah diperselisihkan, yaitu moralitas; moralitas berdasarkan Islam.[9] Senada dengan pendapat di atas, al-Junaid melontarkan pandangannya bahwa tasawuf adalah keluar dari budi perangai yang tercela dan masuk kepada budi perangai yang terpuji.[10]
Bila dinilai secara proporsional, tasawuf merupakan salah satu ekspresi nyata dari ajaran dasar Islam di samping Fiqh, Kalam, dan Filsafat. Tidak sulit menjumpai ayat-ayat al-Qur’an dan hadis yang mendorong umat Islam untuk menjalani hidup melalui tasawuf.[11] Maka tidak berlebihan bila ajaran-ajaran yang disampaikan oleh kaum sufi mengandung ajaran inti dari al-Qur’an, yakni mendekatkan diri kepada Allah. Ajaran ini mengarah kepada suatu perbuatan jiwa yang benar-benar suci sehingga memancar keluar dan mewujud sebagai perilaku kehidupan yang anggun.
Fazlurrahman dalam menganalisis perkembangan tasawuf menemukan kenyataan bahwa sejak abad ke-2 H tasawuf menjadi daya tarik istimewa di kalangan sebagaian kaum muslim. Tasawuf juga cukup mempengaruhi percepatan penyebaran Islam dan proses perkembangan pemikiran Islam.[12] Anggapan bahwa tasawuf sebagai penghambat kemajuan Islam perlu pengkajian secara lebih mendalam.
Dari literatur sejarah dijumpai sekian banyak ajaran tasawuf yang pernah dipraktekkan oleh para sufi, seperti Mahabbah (Rabi’ah al-Adawiyah 713-801 M), Ma’rifah (Zunnul Mishri, w. 860 M. dan Al-Ghazali, w 1111 M.), Wihdatul Wujud (Muhyiddin Ibn al-Arabi), Ittihad (Abu Yazid al-Bustani, w. 874 M), Insan Kamil (Abd al-Karim al-Jilli, w. 1365 M), dan lain sebagainya.[13]
Usaha menyingkap tirai yang membatasi diri dengan Allah memerlukan seperangkat sistem yang disusun oleh para ulama dalam tiga tingkat yang dinamakan dengan takhalli, tahalli, dan tajalli.[14] Prosesi ketiga hal tersebut dilalui dengan tahapan yang disebut maqamat, station, seperti muhasabah (introspeksi), taubat, qana’ah (ridla terhadap perolehan), zuhud (tidak bergembira dengan apa yang dimilikinya dan tidak berputus asa bila sesuatu hilang dari padanya), sabar, tawakkal, dan ma’rifat billah (tahap tajalli).[15]

D. Dari Rabi’ah al-Adawiyah Sampai ke Erich Fromm
Setiap kali memperbincangkan sufi, nama Rabia’ah al-Adawiyah akan sulit untuk ditinggalkan. Tokoh sufi kelahiran Basrah Irak[16] ini lahir dari keluarga miskin, menjadi yatim sejak kecil dan pernah dijadikan budak dengan harga enam dirham. Akan tetapi ia dibebaskan tuannya karena melihat Rabi’ah selalu bermunajat kepada Allah di tengah malam.[17] Rabi’ah merdeka dan pergi mengembara dengan bebas. Ada sumber yang menyebutkan bahwa Rabi’ah kemudian mencari nafkah dengan bermain musik seruling, karena konon Rabi’ah pandai bermain seruling. Rabi’ah tidak pernah berpikir untuk berumah tangga. Bahkan akhirnya memilih hidup zuhud, menyendiri, dan beribadah kepada Allah. Ia tidak pernah menikah karena perkawinan baginya adalah rintangan untuk selalu dekat pada Allah. Ia pernah memanjatkan do’a: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari segala perkara yang menyibukkanku untuk menyembah-Mu, dan dari segala penghalang yang merenggangkan hubunganku dengan-Mu”.[18]
Menurut Javad Nurbakhsh, Rabi’ah termasuk sufi yang hidup pada periode akhir kedua dalam sejarah perkembangan tasawuf. Pada periode ini unsur-unsur Islam tasawuf agak berbeda dengan kecenderungan pada periode sebelumnya. Pada periode pertama para sufi mengajarkan untuk takut kepada Allah dengan takut atas siksaannya dengan mengharap kebahagiaan surga. kecenderungan ini berkembang menjadi gerkakan yang mengarah kepada “lari dari dunia”, kehidupan yang asketis.[19] Pada periode kedua para sufi secara filosofis beralih kepada unsur isyq atau kerinduan dan mahabbah atau cinta kepada Allah ditambah dengan asketisme dan praktek zuhud yang luar biasa.[20]
Perasaan yang disuarakan para sufi pada periode kedua adalah ibadah yang bukan disebabkan oleh takut pada siksa neraka dan berharap memperoleh ganjaran surga, melainkan semata-mata lantaran cinta dan ibadah yang memang berhak diperoleh Allah. Konsep cinta ini merupakan pendekatan terhadap Tuhan dengan cara yang lebih merdeka.
Dengan penuh gelora Rabi’ah mengaku “Aku bersumpah demi keagungan-Mu bahwa aku beribadah kepada-Mu bukan lantaran mengharap surga atau takut siksa neraka. Aku beribadah kepada-Mu semata demi keluhuran-Mu”.
Margareth Smith menyitir syair Rabi’ah: “Tuhanku, jika aku menyembah-Mu lantaran takut api neraka, bakarlah aku di dalamnya. Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga, jauhkanlah aku daripadanya. Akan tetapi jika aku menyembah-Mu lantaran Dirimu, jangan Engkau sembunyikan dari keindahan-Mu yang abadi.[21]
Perasaan cinta yang meresap ke dalam lubuh hati Rabi’ah menyebabkan ia memberikan hidupnya semata-mata untuk beribadah kepada Allah. Hati Rabi’ah telah dipenuhi oleh perasaan cinta kepada Allah, sehingga tidak menyisakan sedikitpun untuk mencintai yang lain termasuk nabi Muhammad. Cinta Rabi’ah kepada Allah merupakan cinta suci dan murni lagi sempurna seperti tertuang dalam syairnya:
Aku mencintaimu dengan dua cinta, cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu.
Cinta karena diriku, adalah keadaanku senantiasa mengingat-Mu.
Cinta karena diri-Mu, adalah lantran keadaan-Mu menyingkap tabir
Hingga Engkau kulihat
Baik untuk ini untuk itu bukanlah bagiku
Tapi bagimulah segenap pujian
Buah hatiku, hanyalah Engkau yang kukasihi
Taburi ampunan pada pembuat dosa yang datang kehadirat-Mu
Engkaulah harapanku, kebahagiaanku, dan kesenanganku
Hatiku enggan mencintai selain Engkau.[22]

Dari syair di atas, dapat diketahui bahwa Rabi’ah merupakan pelopor yang memperkenalkan cita ajaran mistik dalam Islam, yakni terbukanya tabir penyekat alam ghaib sehingga sang sufi dapat mengalami, menyaksikan, dan berhubungan langsung dengan Tuhan. Perasaan mistik bersatu dengan Tuhan merupakan emosi yang sangat personal, tak tergambar dan konatif.[23] Oleh karena itu, para sufi (termasuk Rabi’ah) membahasakan pengalaman personalnya dengan bahasa puisi agar lebih universal dan dapat dimengerti orang lain.
Cita-cita watak sufisme serta tujuan utamanya yang menjadi inti ideal ajaran tasawuf memang telah diungkapkan oleh Rabi’ah. Bahkan ruh utama pendorong kehidupan batin para sufi juga telah digelar secara indah dan jitu oleh Rabi’ah, yaitu cinta rindu pendorong kegandrungan untuk bertemu muka atau bahkan bersatu dengan Tuhan. Cinta rindu atau syauq yang menimbulkan kegelisahan hati antara takut dan harap yang memuncak dalam penghayatan sakar (mabuk cinta) adalah ruh kehiudpan batin para sufi. Mahabbah pada Tuhan dan bentuknya yang murni dan bahkan ekstrim emosional ini tentu memandang kecil dan bahkan merendahkan terhadap apa saja selain Allah. Inilah hal mahabbah dalam ajaran Rabi’ah.[24]
Menurut Abd al-Hakim Hasan sebagai dikutip Simuh, Rabi’ah telah memulai membukakan konsep cinta kepada Allah menurut ajaran tasawuf yang sesungguhnya. Konsep ini belum pernah ada pada tasawuf yang sesungguhnya sebelum masa Rabi’ah.[25] Dengan kata lain, Rabi’ah mencari jalan lain untuk mengatasi kesendirian (dalam bahasa Fromm; rasa keterpisahan) dengan cara yang belum pernah dilakukan oleh pencari Tuhan sebelumnya, yaitu dengan Mahabbah.
Menurut Fromm, dasar kebutuhan manusia akan cinta terletak dalam pengalaman keterpisahan serta kebutuhan untuk mengatasi ketakutan yang disebabkan oleh kesendirian. Bentuk relegius dari cinta yang disebut dengan cinta Tuhan secara psikologis tidaklah berbeda. Cinta Tuhan ini juga berasal dari kebutuhan untuk mengatasi keterpisahan serta kebutuhan untuk meraih kesatuan.[26]
Secara primitif, manusia telah belajar mengatasi keterpisahan dirinya dari surga (ketika Adam dikeluarkan darinya). Selanjutnya mereka mengatasinya dengan cara mencari sembah-sembahan dari alam. Setelah mampu berfikir lebih tinggi, manusia mengolah apa yang disediakan alam ke tahap antropomorfis. Mereka menciptakan totem-totem untuk disembah. Dalam tahap penyembahan Tuhan secara antropomorfis ini, ditemukan suatu perkembangan dalam dua dimensi. Dimensi pertama adalah berkenaan dengan karakter kelelakian atau keperempuanan pada Tuhan, sementara dimensi kedua berkenaan dengan tingkat kematangan yang telah dicapai manusia dan yang menentukan karakter Tuhannya serta karakter cinta yang ia curahkan kepadanya.
Menurut penelitian penting Bachofen dan Morgan pada pertengahan abad ke-19, ada suatu tahap matriarkhal dalam agama yang mendahului tahap patriarkhal. Dalam tahap matriarkhal, makhluk tertinggi adalah ibu. Ibu merupakan Dewi dan sekaligus otoritas dalam keluarga dan masyarkat. Konsep cinta ibu adalah cinta tanpa syarat, melindungi dan menghubungkan. Karena tak bersyarat, maka ia tidak dapat diatur dan kontrol. Kehadiran cinta ibu memberikan kebahagiaan pada pribadi yang dicintai dan ketiadaannya menghadirkan rasa kehilangan dan putus-asa yang mendalam. Seorang ibu akan mencintai anak-anaknya karena mereka adalah anak-anaknya dan bukan karena mereka baik, taat untuk memenuhi perintah-perintahnya, maka berarti cinta ibu mendasarkan diri pada prinsip kesamaan.[27]
Tahap berikutnya dalam evolusi kemanusiaan adalah tahap patriarkhal. Dalam fase ini, ibu diturunkan dari kedudukannya dan ayah menggantikannya sebagai makhluk tertinggi. Aspek patriarkhal dalam agama membuat cinta Tuhan seperti cinta ayah. Cinta ayah adalah cinta bersyarat, ia mencintai anak-anaknya karena ia patuh pada perintahnya. Dalam konteks ini, Tuhan itu adil dan tegas, Dia memberi hukuman dan pahala. Dia berhak memilih bangsa yang Ia sukai, Ia mengusir Adam, membuat banjir pada kaum Nuh, dan meminta Ibrahim menyembelih Ismail. Baik kebudayaan Indian, Mesir, Yunani maupun agama Kristen, Yahudi dan Islam, semuanya merupakan representasi dari dunia patriarkhal dengan Dewa-Tuhan lelakinya.[28]
Dalam rangka itulah, cinta Tuhan harus direngkuh, dipahami, dan perjuangkan agar Ia menjatuhkan pilihannya pada pribadi yang berusaha untuk mendapatkannya. Tradisi tasawuf dalam mencari Tuhan sebenarnya adalah seni mencintai Tuhan yang adiluhung. Proses takhally, tahally, dan tajally merupakan teori mencintai yang semakna bahkan lebih dahsyat dari apa yang diungkapkan oleh Fromm.
Diakui bahwa revolusi rohaniah kaum muslimin terhadap kondisi sosio-politik yang ada merupakan sebagain faktor eksternal dari kemunculan tasawuf.[29] Mereka tidak puas dengan kehidupan saat itu yang lebih berorientasi pada dunia. Para sufi, dalam hal ini Rabi’ah, mengalihkan potensi cintanya pada dunia ke cinta terhadap Tuhan.
Dalam kondisi yang demikian, Rabi’ah bertekad memutuskan tali hubungannya dengan dunia. Hal ini ia lakukan dengan prinsip seni yang pertama, yaitu kedisiplinan. Setiap usaha tidak akan mencapai hasil yang sempurna tanpa disiplin. Sungguh kedisiplinan ini tidak mudah dijalankan. Rabia’ah telah menjalankan kedisiplinannya dalam mencintai Tuhan dari masa kecil hingga ia meninggal. Dalam malam ia berdoa sampai terdengar oleh tuannya, “Ya. Allah, Engkau tahu bahwa hasratku adalah untuk dapat mematuhi perintah-Mu dan mengabdi kepada-Mu. Tetapi Engkau telah menyerahkan diriku ke bawah kekuasaan seorang hamba-Mu”.[30] Menjelang matinya, Rabi’ah menolak didampingi siapapun, sekalipun orang yang berkeinginan mendampinginya adalah orang yang saleh. Rabi’ah berkata kepada mereka: “Bangunlah dan keluarlah! Lapangkanlah jalan untuk utusan Allah (malaikat) yang akan datang menjemputku”.[31]
Tidak ada satupun alasan yang dapat mengubah kedisiplinan Rabi’ah untuk mencintai Tuhan. Tidak kemiskinan, tidak kesenangan dan tidak pula pertolongan orang lain. Ia hanya menginginkan keberduaannya dengan Tuhan sampai maut menjemputnya.
Konsentrasi atau pemusatan perhatian merupakan syarat yang diperlukan dalam mempelajari suatu seni. Kebudayaan sekarang membawa manusia pada pola kehidupan yang berantakan, sehingga konsentrasi jarang sekali ditemukan di zaman sekarang ini. Di zaman ini orang melakukan banyak hal sekaligus; membaca, mendengar radio, merokok, makan ,dan minum.[32]
Syair Rabi’ah seperti yang disitir Hamka menunjukkan bahwa ia hanya berfikir dan konsentrasi tentang kekasih-Nya. Ia bersyukur sekali karena ia punya dua cinta. Cinta pada dirinya karena dengan dirinya ia selalu mengingat kekasih-Nya, dan cinta kepada kekasih-Nya yang telah menyingkap tabir keindahan tak terperikan. Akan sulit menemukan orang yang tidak mencintai hal lain selain Allah. Banyak hal lain dalam hidup ini yang perlu dicintai, tetapi bagi Rabi’ah hanya satu yang patut dicintai. Bahkan ketika ia mengatakan bahwa ia cinta dirinya, hal itu tidak lain karena dirinya itu mempunyai kemampuan untuk mencintai Tuhannya.
Syarat lain untuk mempelajari seni adalah penuh perhatian (supreme concern).[33] Orang-orang yang gagal dalam berhubungan disebabkan mereka tidak concern pada cinta, tetapi pada instrumen lain di seputar cinta, seperti uang, kekuasaan, dan prestisius.
Membicarakan masalah perhatian, harus dikembalikan lagi pada pembicaraan awal tentang elemen-elemen cinta, yaitu cinta adalah memberi bukan menerima, dengan demikian cinta adalah aktifitas aktif tidak pasif. Apa yang diberikan Rabi’ah untuk menunjukkan kwalitas perhatiannya kepada Tuhan? Ia telah memberikan kenyataan dirinya sebagai manusia itu sendiri, berupa kebahagiaan, kesedihan, dan pemahaman akan objek yang dicintainya. “Bagimulah segala puji-puji. Buah hatiku, Engkaulah yang kukasihi. Engkaulah harapanku, kebahagiaanku, dan kesenanganku. Hatiku enggan mencintai selain Engkau”.
Di samping itu, Rabi’ah tak pernah tertarik terhadap instrumen-instrumen di sekitar cinta terhadap Tuhan seperti sebaliknya banyak didambakan orang. “Aku bersumpah demi keagungan-Mu bahwa bahwa aku beribadah kepada-Mu bukan lantaran mengharap surga atau takut siksa neraka. Aku beribadah kepda-Mu semata demi keluhuran dan keagungan-Mu”.
Bahkan dalam syair yang tekenal dan selalu banyak dikutip orang, cinta tanpa pamrih Rabi’ah lebih jelas tergambar. “Tuhanku, jika aku menyembah-Mu lantaran takut api neraka, bakarlah aku di dalamnya. Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga, jauhkanlah aku daripadanya. Akan tetapi jika aku menyembah-Mu lantaran Dirimu, jangan Engkau sembunyikan dari keindahan-Mu yang abadi.[34]
Sebuah hikayat menerangkan bahwa Rabi’ah suatu hari memegang obor di tangan kanan dan kendi di tangan kiri. Di tengah orang-orang yang sedang berkerumun dia datang sambil berteriak lantang: “Mana surga! Biar aku bakar surga dengan obor ini lalu musnah, dan kusiram neraka dengan kendi ini lalu padam. Lalu apakah bila surga dan neraka tidak ada, Tuhan tidak layak disembah?”[35]
Mencinta, bagi Rabi’ah adalah memahami bahwa Tuhan yang dicintainya adalah memang patut untuk dicinta, karena Tuhan telah menamakan dirinya sendiri dengan al-wadud (Yang Maha Cinta) dan al-rahman al-rahim (Yang Maha Sayang dan Kasih). Ia tidak bertendensi apa-apa ketika mencintai Tuhannya. Yang terpenting adalah dalam proses mencintai itu ada aktifitas aktif dan bukan aktifitas pasif. Aktifitas aktif itu ditunjukkan dengan perilaku-perilaku konkret dari elemen-elemen cinta, seperti memberi, memahami, dan bertanggung jawab. Rabi’ah mendedikasikan dirinya secara total untuk mencintai Tuhan karena cinta Tuhan harus diraih, diperjuangkan, dipahami, dan didapat.
Dalam pandangan Fromm, tampaknya usaha-usaha yang dilakukan Rabi’ah adalah dalam rangka mencapai cinta Tuhan yang patriarkhal. Dengan usaha dan prestasi yang dilakukan, Tuhan akan memberikan cintanya dan memilihnya untuk menjadi kekasih-Nya. Rabi’ah membuktikan bahwa orientasi cinta adalah cinta itu sendiri dan bukan instrumen lain. Rabi’ah memberikan cintanya pada Tuhannya bagai meniupkan secercah kehidupan kepada orang lain yang memancar kembali kepadanya. Hal ini membuktikan bahwa mencintai sebagai aktifitas aktif menjadikan antara pecinta dan yang dicintai sebagai subjek, bukan salah satunya bertindak sebagai objek. Cinta Rabi’ah pada Tuhannya adalah cinta yang berhasil, potent, dan ia hidup dalam cahaya cinta sang Kekasihnya.

C. Penutup
Menurut Fromm, bentuk relegius dari cinta yang disebut dengan cinta Tuhan secara psikologis tidaklah berbeda. Satu hal yang pasti adalah bahwa hakekat cinta kepada Tuhan itu setaraf dengan hakekat cinta kepada manusia. Cinta antarsesama manusiapun sejalan dengan perkembangan cinta manusia terhadap Tuhan. Cinta kepada Tuhan dimulai dari masa manusia belum mengenal apa-apa dan masih tergantung pada unsur atau kekuatan di luarnya. Kemudian manusia mengenal cinta Tuhan yang matriarkhal yang disebut dengan Dewi-Dewi. Prinsip cinta matriarkhal ini adalah kesamaan. Semua makhluq akan mendapatkan cinta tanpa syarat karena mereka adalah anak-anak-Nya.
Segera setelah menginjak besar, manusia harus mendapatkan cinta Tuhan yang patriarkhal dengan perjuangan. Inilah yang dilakukan oleh para sufi, dalam hal ini Rabi’ah al-Adawiyah. Ia berusaha memahami bagaimana mencintai Tuhan dan bukan bagaimana agar dicintai. Ia mempersembahkan dirinya secara total dalam mencintai dengan potensi cinta yang aktif. Baginya cinta adalah cinta, tidak perlu teologi dosa dan pahala, tak perlu surga atau neraka untuk dapat mencintai.
Rabi’ah berhasil menampilkan konsep cinta yang telah membawanya bersatu dengan Tuhan. Dengan potensi cinta yang ada, ia berhasil mengatasi keterpisahan dan memenuhi kebutuhan untuk meraih kesatuan.











Biblografi
Ahmad, Jamil, Seratus Muslim Terkemuka, terjemahan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994).

Asfari. MS dan Otto Soekanto, Mahabbah Cinta Rabi’ah al-Adawiyah, (Jogjakarta: Bentang, 2002)

Ayyub AR, “Perkembangan Pemikiran Tasawuf Rabi’ah al-Adawiyah”, dalam Adabiyya, (Banda Aceh: Fak. Adab, 2002).

Exley, Helen, (ed.), To My Very Special Love, (Jakarta: Gramedia, 1995)

Fromm, Erich, The Art of Loving, terj. Syafi’ Alaelha, (Jakarta: Fesh Book, 2002).

Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemikiran, ( 1990).

Khaldun, Ibnu, Muqaddimah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986).

Madjid, Nurcholis, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1995).

Nata, Abudin, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Press, 1993).

Nurbakhsh, Javad, Wanita-Wanita Sufi, (Bandung: Mizan, 1996).

Qandil, Abdul Mun’im, Figur Wanita Sufi, terj. M. Royhan Hasbullah dan M. Sofyan Amrullah, (Surabaya: Progressif, 1993).

Qammah, Khadijah Abdul Fattah, Syahidah al-isyq al-Ilahy, Rabi’ah al-Adawiyah, (Cairo: Dar al-Wafa’, tt).

Quzwain, M. Chotib, Mengenal Allah, Suatu Studi Mengenai Ajaran Tasawuf Saikh Abd. Al-Samad al-Palinbani, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985).

Rahman, Fazlur, Islam, terj. , (Jakarta: Bulan Bintang, 19..).

Rafi’ie, Abd. Halim, Cinta Ilahi Menurut al-Ghazali dan Rabi’ah al-Adawiyah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997).

Al-Taftazani, Abu al-Wafa’ al-Ghanimi, Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad Rofi’ Ustmani, (Bandung: Pustaka, 1997).

Smith, Margareth, Reading from the Mystics of Islam, (London: Mountan, 1950).

Simuh, Tasawuf dn Perkembangan dalam Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1996),

Surur, Thaha Abdul Baqir, Rabi’ah al-Adawiyah, (Kairo: Dar al-Fikr al-Araby, 1957).
Syukur, Amin, Menggugat Tasawuf, (Jogjakarta, Pustaka Pelajar, 1999).






Biodata Penulis
Penulis adalah dosen tetap pada Fakultas Adab Jurusan Bahasa dan Sastra Arab IAIN Sunan kalijaga Jogjakarta. Menyelesaikan jenjang S-1 pada fakultas yang sama, dan sedang melanjutkan pendidikan jenjang S-2 di Fakultas Ilmu Budaya, Program studi Ilmu Sastra Universitas Gadjah Mada Jogjakarta. Umur 28 tahun masih lajang.
* Disampaikan pada diskusi ilmiah civitas akademika UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 11-12-2005 di Gedung Rektorat UIN Sunan Kalijaga.
[1] http/www. Erich Fromm. Com.
[2] Erich Fromm, The Art of Loving, terj. Syafi’ Alaelha, (Jakarta: Fesh Book, 2002).
[3] Helen Exley (ed.), To My Very Special Love, (Jakarta: Gramedia, 1995)

[4] Asfari MS dan Otto Soekanto, Mahabbah Cinta Rabi’ah al-Adawiyah, (Jogjakarta: Bentang, 2002), hlm. 49-50. Al-Qusyairi adalah tokoh sufi utama abad V H, karyanya Risalah al-Qusyairiyah menjadi rujukan karena lengkap secara teoritis dan praktis. Ia terkenal dengan pembela theologi ahlussunah wal jama’ah yang mampu mengkompromikan syari’ah dan hikmah. ia berusaha mengembalikan tasawuf pada landasannya al-Qur’an dan al-Hadis. Lihat: Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 1999)
[5] 1989: 168
[6] 1988: 263 Terj. Dari The Pinguin Dictionary of Psikology
[7] QS 2; 165, 3; 31, 5; 54
[8] Ibnu Khaldun, Muqaddimah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), hlm. 136.
[9] Al-Taftazani, Abu al-Wafa’ al-Ghanimi, Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad Rofi’ Ustmani, (Bandung: Pustaka, 1997), hlm. 10.
[10] Dalam Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemikiran, ( 1990), hlm. 13.
[11] QS 1: 115, 2: 31, 8: 17, 24: 34, dan 64:40-41.
[12] Fazlurrahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1984), hlm. 204.
[13] Ayyub AR, “Perkembangan Pemikiran Tasawuf Rabi’ah al-Adawiyah”, dalam Adabiyya, (Banda Aceh: Fak. Adab, 2002), 154.
[14] Takhalli ialah membersihkan diri dari sifat tercela. Sifat inilah yang menjadi penghalang utama manusia dalam berhubungan dengan Allah. Tahalli adalah mengisi jiwa dengan berbagai sifat terpuji. Prosesi ini dilakukan setelah membersihkan diri dari sifat tercela yang mengotori jiwanya. Tajalli mempunyai arti merasakan rasa ketuhanan yang sampai mencapai kenyataan Tuhan, yaitu merasa dekat denganAllah tanpa ada pemisah, karena telah meninggalkan sifat-sifat kemanusiaan. Lebih dari itu ahli sufi dapat merasakan bersatu dengan Allah (Baca: .
[15] Urutan-urutan maqam ini sering sekali berbeda. Al-Ghazali, misalnya, dalam al-Arba’in Fi Ushul al-Din membuat urutan sebagai berikut: taubat, takut dan harap, zuhud, sabar, sykur, ikhlas, tawakkal, cinta, ridha, dan ingat mati (Baca secara detil dalam Dr. M. Chotib Quzwain, Mengenal Allah, Suatu Studi Mengenai Ajaran Tasawuf Saikh Abd. Al-Samad al-palinbani, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), hlm78-113). Lihat pula: Abu Bakar M. Kalabadzi, Ajaran-Ajaran Sufi, (Bandung: Pustaka, 1985) dan Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973) , hlm. 63.
[16] Abudin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Press, 1993), hlm. 17.
[17] Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka, terjemahan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 72.
[18] Abdul Mun’im Qandil, Figur Wanita Sufi, terj. M. Royhan Hasbullah dan M. Sofyan Amrullah, (Surabaya: Progressif, 1993), hlm. 7.
[19] Bahkan Hasan Basri, guru spiritual Rabi’ah, yang hidup pada abad I paruh ke II (lahir di Madinah 642 M menginggal di Basrah 782 M) masih mengembangkan pendekatan takut (khauf) dan harap (raja’) dalam kesufiannya. Setelah masa Rabi’ah, yakni abad ke III-IV H, tasawuf bercorak kefana’an (ekstase), kesatuan hamba dan khaliq, seperti ma’rifah, wihdatul wujud, dan ittihad.
[20] Javad Nurbakhsh, Wanita-Wanita Sufi, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 2-3.
[21] Margareth Smith, Reading from the Mystics of Islam, (London: Mountan, 1950), hlm. 12.
[22] Mustafa Kamil as-Syaibi, As-Silah Bain at-Tasawuf wa al-Tasayyu, (Kairo: Dar al-Ma’arif, t.t.), hlm. 300. Syair ini merupakan syair yang paling sering dikutip oleh peneliti dan pengamat tasawuf. Dari syair inilah Rabi’ah ditempatkan sebagai pencetus konsep mahabbah dalam tasawuf..
[23] Menurut Ludwig Wittgenstein, pengalaman relegius bersifat konatif, yakni pengalaman yang dialami secara langsung antara subjek dengan objek, berlangsung dalam taraf tak sadar, dan karenanya berlangsung tanpa bahasa. Tetapi, saat subjek membahasakan pengalaman relegiusnya, maka aspek konatif itu masuk ke aspek reflektif, yakni pengalaman relegius yang telah terabstraksi ke pola inderawi. Perpindahan ini dalam bahasa relegius berlangsung dengan jalan analogi. (baca: Abdul Wachid B.S., Relegiusitas alam: dari Surealisme ke Spiritualisme D. Zawawi Imron, (Jogjakarta: Gama Media, 2002), hlm. 172.
[24] Simuh, Tasawuf dn Perkembanga dalam Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1996), hlm. 32.
[25] Ibid., hlm. 36.
[26] Fromm, The Art…, hlm. 107.
[27] Ibid., hlm. 110.
[28] Walaupun demikian, karena kerinduan akan cinta ibu tidak dapat dilenyapkan dari kehidupan manusia, maka gambaran cinta ibu yang penuh kasih tidak pernah dapat dibuang sepenuhnya dari bangunan keagamaan yang patriarkhal tersebut. Dalam agama Yahudi, unsur ibu dimasukkan, khususnya dalam berbagai aliran mistik. Dalam agama Katolik, ibu dilambangkan dengan perawan suci Maria. Dalam Islam, keseimbangan sifat maskulin dan feminin dalam diri Tuhan tergambar dalam asma al-husna (nama-nama Tuhan) yang 99 buah.
[29] Amin, Menggugat Tasawuf…hlm. 27.
[30] Jamil, Seratus Muslim…., hlm. 51.
[31] Qandil, Figur Wanita …., hlm. 7
[32] Fromm, The Art…, hlm. 178.
[33] Idem., hlm. 179.
[34] Smith, Reading from…, hlm. 12.

[35] Thaha Abd al-Baqir Surur, Rabi’ah al-Adawiyah, (Kairo: Dar al-Fikr al-Araby, 1957), hlm. 66.

1 komentar:

shafa firdausi mengatakan...

saya senang dengan puisi apalagi yang berbau religi